Mohon tunggu...
Wesnina Nawimar
Wesnina Nawimar Mohon Tunggu... Dosen

Dosen dan praktisi desain fashion berbasis budaya, aktif dalam pengabdian kepada masyarakat dan riset inovatif berkelanjutan. Fokus pada pemanfaatan material lokal seperti jerami untuk eco-fashion, serta pemberdayaan perempuan dan pelajar melalui pelatihan kreatif. Percaya bahwa mode bukan hanya estetika, tapi juga alat transformasi sosial dan lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sarung Ayah dan Sandal Wudhu: Barang-Barang Biasa yang Paling Dirindukan

20 September 2025   15:25 Diperbarui: 20 September 2025   15:25 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sarung Ayah dan Sandal Wudhu: Barang-Barang Biasa yang Paling Dirindukan
Oleh Wesnina Nawimar

Ada benda-benda sederhana yang tak pernah kita kira bisa menjadi sumber rindu paling dalam. Di sudut rumah, ada sehelai sarung ayah yang tergantung seadanya, atau sepasang sandal wudhu yang sudah aus di teras mushalla. Barang-barang itu, meski tampak biasa, ternyata menyimpan jejak keintiman, kasih sayang, dan nilai kehidupan yang sulit tergantikan bahkan tidak dapat tergantikan.

Sarung: Kain Sederhana, Pelukan Hangat

Bagi banyak anak, sarung ayah bukan sekadar kain panjang. Ia adalah simbol kehangatan keluarga. Kita ingat bagaimana ayah mengenakan sarung di sore hari, ketika ia pulang kerja lalu duduk santai sambil meneguk teh. Sarung menjadi pakaian rumah, pakaian ibadah, bahkan selimut darurat ketika listrik padam.

Dalam kajian antropologi, kain sarung di Indonesia bukan hanya busana, tetapi juga identitas budaya yang melekat pada keseharian masyarakat. Sarung dipakai dari masjid hingga pasar, dari upacara adat hingga acara santai keluarga. Penelitian Edi Sedyawati menegaskan bahwa sarung merepresentasikan keterhubungan antara fungsi praktis dan simbolis dalam kehidupan masyarakat Nusantara (lihat Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, 2006).

Sarung juga hadir dalam momen kebersamaan keluarga. Kita mungkin pernah tidur di pangkuan ayah yang bersarung, atau diajak ke masjid bersamanya sambil digandeng tangan kecil kita. Kini, ketika ayah sudah tiada, sarung yang tergantung itu seolah menghadirkan kembali suaranya, nasihatnya, bahkan aroma tubuhnya. Ia menjelma relik pribadi, sebuah benda warisan yang tak ternilai harganya.

Sandal Wudhu: Jejak yang Selalu Basah oleh Doa

Sementara itu, sandal wudhu mungkin tak pernah kita pandang istimewa. Hanya alas kaki yang dipakai sebentar sebelum melangkah masuk ke mushalla atau masjid. Namun, ketika kita dewasa dan ayah sudah tiada, sandal itu menjadi saksi perjalanan spiritualnya.

Sandal wudhu berhubungan erat dengan konsep kesederhanaan dalam ibadah. Rasulullah SAW sendiri menganjurkan umatnya untuk menjaga kesucian kaki dalam setiap langkah menuju masjid (HR. Bukhari-Muslim). Dari sinilah, sandal menjadi simbol bahwa setiap langkah seorang ayah menuju sajadah adalah bagian dari ibadah yang diwariskan pada anak-anaknya.

Kerap kali kita merindukan suara sandal itu di teras, suara gesekan sederhana yang menandakan ayah siap menunaikan shalat. Kini, suara itu hanya hadir dalam ingatan, namun justru itulah yang mengajarkan arti kehadiran: bahwa doa ayah terus mengalir bersama langkah-langkahnya.

Benda Biasa, Kenangan Luar Biasa

Psikolog budaya menyebut fenomena ini sebagai object-based memory, di mana benda-benda sederhana dapat memicu ingatan emosional yang sangat kuat (Wagenaar, 1986 dalam Memory in Everyday Life). Kenangan itu bukan pada bendanya, melainkan pada pengalaman emosional yang dilekatkan.

Sarung ayah dan sandal wudhu menjadi pintu masuk untuk merasakan kembali suasana rumah yang mungkin kini telah berubah. Kita belajar bahwa cinta orang tua tidak hanya hadir lewat kata-kata, tetapi juga lewat benda-benda yang mereka tinggalkan dalam keseharian.

Menariknya, dalam banyak budaya, benda-benda biasa seperti pakaian atau alas kaki memang seringkali menjadi simbol ikatan generasi. Di Jawa, misalnya, kain batik warisan orang tua dianggap sebagai penghubung nilai kehidupan. Di Minangkabau, selendang atau kain adat yang diwariskan dari orang tua kepada anak perempuan menjadi tanda penerus tradisi. Semua ini menunjukkan bahwa benda-benda sederhana adalah pengikat memori kolektif keluarga dan budaya.

Pelajaran tentang Kesederhanaan

Di era modern yang serba cepat, kita sering lupa bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari sesuatu yang besar. Sarung dan sandal wudhu mengajarkan bahwa kesederhanaan adalah bentuk kebijaksanaan.

Budayawan Emha Ainun Nadjib pernah menulis bahwa sarung adalah lambang kesetaraan, karena siapa pun-pejabat atau rakyat biasa-akan terlihat sama ketika bersarung di masjid (Markesot Bertutur Lagi, 2017). Sedangkan sandal wudhu mengingatkan kita bahwa setiap langkah menuju ibadah adalah bentuk kerendahan hati di hadapan Tuhan.

Kita bisa membeli pakaian bermerek atau sepatu mewah, tetapi tidak ada yang bisa menggantikan nilai spiritual dari sandal sederhana yang setiap hari mengantar ayah ke mushalla. Kesederhanaan ini menjadi pelajaran bahwa hidup yang bermakna bukan soal seberapa mahal benda yang kita miliki, melainkan seberapa dalam nilai yang kita tanamkan dalam keseharian.

Rindu yang Menjadi Doa

Merindukan sarung ayah dan sandal wudhu pada akhirnya adalah merindukan kebersamaan yang penuh kasih. Rindu itu tak perlu ditangisi, tetapi bisa dialihwujudkan menjadi doa. Setiap kali melihat sarung tergantung atau sandal berjejer di masjid, kita diingatkan untuk meneruskan jejak kebaikan itu: melangkah ringan, hidup sederhana, dan beribadah dengan tulus.

Rindu pada benda-benda biasa itu justru membuat kita lebih menghargai waktu, keluarga, dan kehadiran orang yang kita cintai. Karena pada akhirnya, yang sederhana itulah yang paling membekas.

Referensi

  • Edi Sedyawati. (2006). Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Pers.
  • Wagenaar, W. A. (1986). Memory in Everyday Life. Amsterdam: Elsevier.
  • Emha Ainun Nadjib. (2017). Markesot Bertutur Lagi. Jakarta: Bentang.
  • HR. Bukhari-Muslim tentang kesucian kaki dan adab menuju masjid.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun