Dengan sedikit heran kuraih pintu rumah dengan satu tanganku. Pintu tak terkunci. Begitu kubuka aku langsung mendapati muka Hahna yang nampak pucat dan tubuhnya yang langsung menghambur ke arahku.
"A..Ada apa Hanna?" gagapku menyambut isakkannya.
Hanna tak menjawab, hanya isaknya yang terdengar semakin keras di dadaku.
"Han, kenapa?"  kuguncang  tubuhnya perlahan.
"Ayah Bang," jawab Hanna disela isaknya yang semakin menjadi.
"Yaa,  ayah kenapa?" tanyaku dengan dada bergemuruh. Kucoba bersikap tenang dan membawa Hanna duduk di sofa  ruang tamu kami. Kuusap air mata dan punggungnya agar dia bisa sedikit tenang.
"Ayah sudah pergi  Bang. barusan Lila adikmu menelepon, ayah meninggal, Lila tak sanggup menelponmu,"  tutur Hanna beruntun dengan suara lirih.
Suara lirih yang bagaikan sebuah hantaman palu kepalaku. Tubuhku lunglai seketika. Kutatap Hanna dengan pandangan tak percaya.
Mungkin aku salah dengar, atau Hanna salah ucap, batinku berharap.
"Ayah meninggal  sambil memeluk nisan ibu,  beliau mengunjungi makam setelah shalat  dzuhur siang ini,"  suara Hanna sayup-sayup masuk  ke telingaku.
Aku tak mampu berkata-kata. Pandanganku nanar menatap kantung berisi kotak sarung buat ayah yang tergetak di lantai. Duniaku terasa ambruk seketika.