"Silahkan mampir dulu Pak, barang  yang  Bapak cari ado kok," senyum manis wanita itu semakin mengembang.
Kuikuti pramuniaga itu ke dalam toko. Tangannya dengan sigap membuka lemari kaca di tepi dinding. Tak lama kemuadian dia sudah menjejerkan beberapa buah kotak kecil kain sarung.
"Abang butuh kain sarung yang seperti apa?" tanya pramuniaga masih disertai senyum manisnya.
Aku tercenung sesaat. Sungguh,  aku tak tahu persis sarung seperti apa yang  tengah kucari. Sejak kemarin aku belum satupun sarung yang mengena dihatiku. Yang jelas kali ini aku ingin membelikan ayah sebuah sarung yang istimewa. Pasalnya, lebaran kali ini bertepatan dengan renacana pernikahan adikku. Selain untuk lebaran, sarung itu akan dipakai ayah saat menikahkan adikku. Menurut adat kebiasaan kami, setiap ayah selalu memakaikain sarung saat menikahkan putrinya.
"Sebuah sarung istimewa," jawabku sekenanya pada pada sang pramuniaga.
Tiba-tiba seorang perempuan setengah baya yang kuyakini sebagai pemilik toka datang menghampiri kami. tangannya membawa sebuah kotak sarung dan kemudian membukanya di hadapanku.
Sehelai kain sarung  seketika terhampar di depan mataku. Bukan bermotif kotak-kotak sebagaimana biasanya sarung yang kupakai. Kali ini aku mendapati kain sarung polos berwarna coklat muda dengan sedikit motif garis-garis keemasan di bagian sisi atas dan bawahnya. Sangat istimewa , seketika aku jatuh cinta pada sarung  itu.
"Tapi sarung ini agak mahal dari merek yang biasa, karena ini unlimited" demikian pemilik toko memberitahukan harganya padaku.
Tanpa pikir panjang kusepakati saja harga kain sarung itu. Toh, aku sudah menemukan apa yang kucari. Aku yakin ayah akan senang dengan pilihanku itu. Selama ini dalam masalah selera, aku memiliki banyak kesamaan dengan ayah. Yakni kami cenderung menyukai barang-barang  dengan model dan corak yang tak biasa.
Langkahku terasa ringan saat menuju tangga eskalator sambil menjinjing  kantung berisi  sarung buat ayah. Setibanya di parkiran segera kuambil mobilku dan seterusnya melaju pulang.  Tak sabar rasanya memperagakan hasil buruanku  selama dua hari itu pada Hanna, istriku.
Setibanya di rumah, kuparkir mobilku di garasi kami yang terbuka di samping teras rumah. Tak kulihat Hanna yang biasanya selalu bergegas membuka pintu rumah setiap mendengar mobilku  memasuki pekarangaan rumah.