Mohon tunggu...
Weni Fitria
Weni Fitria Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

Memperkaya pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Cerpen | Sarung Buat Ayah

14 Mei 2020   19:41 Diperbarui: 14 Mei 2020   19:46 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Siang menjelang petang. Kulirik jam tangan kulit berwarna coklat tua yang melingkar di pergelangan tanganku. Waktu sudah menunjukkan pukul dua lebih. Sebentar lagi angkanya akan menyentuh pukul tiga.

Sudah hampir satu jam yang lalu aku meninggalkan kantor dan selanjutnya  bergerak menuju pusat perbelanjaan terbesar di kotaku. Sebuah Plaza yang letaknya hanya beberapa meter dari kantor. Plaza itu berdiri tepat di depan kantorku. Plaza tersebut baru dibuka lagi dua hari yang lalu, sejak wabah mulai memasuki kota ini.

Wabah itu pula yang membuat jam kantorku lebih longgar dari biasanya, sehingga aku bisa pulang lebih cepat ke rumah. Sebelum pulang, aku menyempatkan singgah di plaza ini. 

Ini adalah hari kedua aku kembali mendatangi plaza. Setelah hari kemarin misi untuk mendapatkan apa yang  aku cari tidak berhasil, maka hari ini aku kembali berada disini. Aku sudah bertekad harus mendapatkannya hari ini. Berhubung aku tidak ingin sering-sering berkeliaran di tempat umum, karena masih khawatir dengan kondisi wabah yang belum sepenuhnya berakhir.

Kurapikan ikatan masker dibagian belakang kepalaku yang sedikit melonggar. Kakiku masih mengintari jejeran pertokoan di lantai dua pusat perbelanjaan itu. Tak banyak toko yang buka. Sebagian toko yang buka, hanyalah diisi oleh barang dagangan berikut para pemilik maupun penjaga toko yang lebih banyak nampak bermenung.

"Ah, Benar-benar suasana yang jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya," batinku pada diri sendiri.

Ingatanku kembali pada waktu-waktu sebelum wabah terjadi. Semuanya terasa normal, berbeda dengan waktu sekarang.  Ingatan itu pula yang mengantarkan kenanganku pada sosok ayah.  Lelaki  berusia 60 tahun yang telah membesarkanku dan saudara perempuanku  satu-satunya.

Ibu kami meninggal karena sakit kanker ketika aku baru menginjak usia 10 tahun. Ketika itu adik perempuanku baru berumur 5 tahun. Sejak itu, ayahlah yang membesarkan kami seorang diri. Dia tidak mau menikah kembali.

Ketika aku menamatkan kuliah, aku pernah berseloroh pada ayah bahwa aku merindukan datangnya ibu baru. Hal itu di-iya kan oleh adikku. Sambil disertai argumen tentunya, bahwa ibu kami tak akan marah pada ayah, jika beliau menikah kembali. Toh kami sudah dewasa dan tidak terlalu membutuhkan pegasuhan ayah seperti sebelumnya.

Ketika itu ayah hanya menggeleng. Disertai senyum ia mengatakan tak punya keinginan untuk menikah lagi.

"Aku tak pernah kesepian, lagi pula ibu kalian terasa masih di sini bersamaku setiap waktu," katanya sembari mengusap foto ibu yang terpajang di pigura dekat meja kecil tempat ia duduk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun