Mohon tunggu...
Wedy Prahoro
Wedy Prahoro Mohon Tunggu... Akademisi

Pendidikan hadir untuk memberikan Kehidupan, Makna, dan Kemuliaan.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Pembelajaran Mendalam di Keluarga: Fondasi Karakter Generasi Digital

24 Juni 2025   07:15 Diperbarui: 24 Juni 2025   06:44 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Koleksi Pribadi

Di tengah pusaran informasi yang tak henti, anak-anak kita (baik itu Generasi Z yang tumbuh bersama internet, maupun Generasi Alfa yang lahir di tengah gawai dan kecerdasan buatan) menghadapi tantangan unik. Mereka adalah digital native sejati, fasih dengan teknologi, namun tak jarang terperangkap dalam labirin digital yang menjanjikan koneksi namun juga menyimpan potensi jebakan. Kita sering melihat manifestasi kenakalan remaja yang kini mengambil wujud digital seperti "cyberbullying" yang merenggut rasa aman di balik layar, kecanduan gawai yang menggerus waktu berkualitas untuk interaksi tatap muka, hingga penyebaran hoaks yang mengikis fondasi kebenaran dan nalar kritis (Livingstone, 2008). Ini bukan sekadar anekdot; ini adalah alarm bagi kita semua, para orang tua, untuk merumuskan kembali cara kita membimbing mereka di rumah.

Fenomena ini sejatinya adalah cerminan dari kegelisahan mendalam yang dirasakan banyak orang tua. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa anak-anak kita tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan menjadi individu yang berdaya di era yang serba cepat dan tak terduga ini? Mereka butuh lebih dari sekadar pelajaran di kelas yang terkadang terasa jauh dari realitas mereka, mereka butuh kompas moral yang kokoh, peta jalan menuju pemahaman yang mendalam tentang diri, sesama, dan dunia di sekeliling mereka. Kebutuhan ini semakin mendesak ketika kita menyadari bahwa nilai-nilai fundamental, seperti empati, ketahanan mental, dan kemampuan beradaptasi, tak bisa diunduh semudah mengunduh aplikasi. Mereka harus ditanam, dirawat, dan dibentuk melalui pengalaman nyata dan bimbingan yang tulus, dan semua itu berawal di lingkungan keluarga.

Berangkat dari kegelisahan ini, kita melihat adanya inisiatif signifikan dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Dengan tetap berpegang pada semangat Kurikulum Merdeka yang berfokus pada pengembangan potensi individu, kini digagas sebuah pendekatan yang lebih esensial dan mendalam yaitu "Deep Learning". Ini bukan sekadar tren, ini adalah filosofi pendidikan yang berakar pada pemahaman yang utuh dan menyeluruh, bukan sekadar hafalan. Lebih jauh lagi, konsep Profil Pelajar Pancasila yang kini telah berevolusi menjadi 8 Dimensi Profil Lulusan menjadi penanda bahwa pendidikan kita bergerak menuju pembentukan manusia seutuhnya, bukan hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga berkarakter dan berjiwa Pancasila yang tangguh. Pertanyaan fundamentalnya adalah: bagaimana kita bisa menerjemahkan konsep-konsep "tinggi" dan idealis ini menjadi praktik nyata yang mudah dicerna dan diterapkan dalam hiruk pikuk kehidupan sehari-hari di rumah, tempat di mana karakter sejati seorang anak dibentuk?

Peran Keluarga: Katalis Pembelajaran Mendalam dan Pembentukan Karakter

Lingkungan keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi anak (Bronfenbrenner, 1979). Peran orang tua, baik sebelum maupun sesudah anak berangkat sekolah, sangatlah krusial dalam membentuk cara anak memandang dan memahami dunia. Ini bukan hanya tentang menyiapkan bekal atau bertanya "bagaimana sekolahmu?", melainkan sebuah keterlibatan aktif yang terintegrasi dengan prinsip Deep Learning yang kini dicanangkan Kemendikdasmen.

Kualitas Interaksi Sebelum Berangkat Sekolah

Momen sebelum sekolah adalah kesempatan emas untuk menyiapkan mental dan emosional anak. Lebih dari sekadar sarapan dan seragam, ini adalah waktu untuk menstimulasi pikiran mereka agar siap menyerap pembelajaran mendalam.

  • Stimulasi Kognitif dan Afektif Awal. Daripada membiarkan anak terpaku pada gawai, mulailah hari dengan stimulasi sederhana. Diskusi singkat tentang rencana hari itu, atau pertanyaan "Apa yang paling ingin kamu pelajari hari ini di sekolah?" dapat memicu rasa ingin tahu. Jika ada berita sederhana yang relevan dengan anak (misal: tentang fenomena alam), diskusikan secara singkat dampaknya. Ini membangun keterampilan komunikasi dan penalaran kritis sejak dini (Bloom, 1956).
  • Membentuk Kebiasaan Disiplin dan Kemandirian. Ajarkan kemandirian melalui tugas-tugas kecil yang konsisten, seperti merapikan tempat tidur atau menyiapkan buku pelajaran. Ini bukan sekadar membantu pekerjaan rumah; ini menanamkan tanggung jawab dan kemandirian, yang merupakan bagian penting dari dimensi Kesehatan (disiplin diri) dan Kemandirian dalam 8 Dimensi Profil Lulusan. Anak belajar bahwa mereka adalah agen dalam hidup mereka sendiri.
  • Penguatan Emosional dan Spiritual. Berikan pelukan hangat, kata-kata penyemangat, atau ajakan berdoa bersama sesuai keyakinan keluarga. Ini adalah fondasi Keimanan dan Ketakwaan terhadap Tuhan YME dan Berakhlak Mulia, serta membangun kesehatan mental anak agar mereka siap menghadapi hari dengan positif. Seperti yang dijelaskan oleh Daniel Goleman dalam bukunya "Emotional Intelligence" (1995), kecerdasan emosional adalah kunci keberhasilan, dan pengasuhan di rumah adalah laboratorium utamanya.

Optimalisasi Waktu Sepulang Sekolah

Kedatangan anak sepulang sekolah adalah kesempatan untuk mengintegrasikan pengalaman mereka di sekolah dengan pembelajaran mendalam yang berkesinambungan di rumah. Hindari pertanyaan yang hanya berorientasi pada hasil akademis ("Dapat nilai berapa?"), tapi fokus pada proses dan pemahaman.

  • Dialog Bermakna dan Reflektif (Deep Conversations). Alih-alih menanyakan detail ujian, fokus pada konsep yang mereka pelajari. "Ceritakan padaku tentang proyek sainsmu hari ini, apa yang paling menarik dan apa yang kamu pelajari dari kegagalan?" atau "Bagaimana caramu menyelesaikan masalah matematika itu? Apa ide utamamu dan mengapa itu berhasil?" Pertanyaan terbuka semacam ini mendorong anak untuk merefleeksikan, mengartikulasikan pemahaman mereka, dan membangun koneksi antaride, bukan sekadar mengulang hafalan (Dewey, 1938). Ini adalah inti dari Deep Learning dan melatih komunikasi serta penalaran kritis.
  • Mendorong Eksplorasi Lebih Lanjut dan Inisiatif: Jika anak menunjukkan minat pada topik tertentu, dorong mereka untuk mencari tahu lebih banyak di rumah, baik melalui buku, eksperimen sederhana, atau video edukasi yang relevan. Misalnya, jika mereka belajar tentang gunung berapi, ajak membuat model gunung berapi dengan soda kue dan cuka, lalu diskusikan prinsip kimianya. Ini memupuk kreativitas dan rasa ingin tahu, mengubah pembelajaran pasif menjadi eksplorasi aktif dan mandiri.
  • Penerapan Konsep dalam Kehidupan Nyata: Kaitkan apa yang mereka pelajari di sekolah dengan aktivitas sehari-hari. Jika mereka belajar tentang ekonomi sederhana, ajak mereka menghitung biaya belanja mingguan atau merencanakan anggaran liburan keluarga. Ini membuat konsep abstrak menjadi nyata dan relevan, memperkuat dimensi Kewargaan (tanggung jawab ekonomi) dan Kemandirian dalam konteks praktis.
  • Kolaborasi dalam Tugas Rumah Tangga: Libatkan anak dalam tugas rumah tangga sebagai bentuk proyek kolaboratif. Misal, menyiapkan makan malam bersama (memecahkan telur, mengiris sayur), atau merapikan rumah. Ini melatih kolaborasi, pembagian tugas, dan menghargai peran setiap anggota keluarga, membangun rasa kebersamaan dan tanggung jawab kolektif.

Orang Tua Sibuk Tanpa Mengorbankan Perkembangan: Kualitas di Atas Kuantitas

Banyak orang tua bergulat dengan tuntutan pekerjaan yang tinggi, merasa waktu mereka terbatas untuk mendampingi anak. Namun, kunci suksesnya bukanlah kuantitas waktu yang tak terbatas, melainkan kualitas interaksi dan efektivitas pendampingan (Garbarino, 1995). Kita bisa menjadi orang tua yang sibuk namun tetap mendukung perkembangan anak secara optimal agar selaras dengan Deep Learning di sekolah.

"Golden Moments" yang Terkurasi: Sisihkan waktu khusus, meski hanya 15-30 menit per hari, yang didedikasikan sepenuhnya untuk anak tanpa gangguan gawai atau pekerjaan. Gunakan waktu ini untuk:

  • Membaca buku bersama: Pilih buku yang memicu diskusi tentang karakter, plot, atau nilai-nilai moral. Ini melatih penalaran kritis dan empati.
  • Bermain permainan edukatif: Papan permainan atau permainan kreatif dapat melatih kolaborasi, strategi, dan komunikasi.
  • Mendengar cerita anak: Dengarkan dengan penuh perhatian apa yang ingin diceritakan anak, bahkan hal-hal kecil sekalipun. Ini menunjukkan bahwa Anda peduli dan melatih mereka berkomunikasi secara efektif dan merasa dihargai.
  • Seperti yang ditegaskan oleh Daniel J. Siegel dan Tina Payne Bryson dalam buku "The Whole-Brain Child" (2011), koneksi emosional yang kuat dan momen "hadir sepenuhnya" sangat vital untuk perkembangan otak dan emosi anak, terutama dalam membangun resiliensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun