Majelis Diktilitbang Muhammadiyah lewat siaran persnya pada 8 November menilai ada kecacatan formil dan materiil pada beleid itu. Salah satu yang dipermasalahkan menurut Sekretaris Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sayuti adalah kalimat dalam Pasal 5 ayat (2).
Dalam Pasal 5 ayat (2) ada frasa "tanpa persetujuan korban" yang menurut Sayuti mengandung makna bahwa kegiatan seksual dapat dibenarkan apabila ada "persetujuan korban (consent)". Atau dengan kata lain, Permendikbud Nomor 30 mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Alasan inilah yang mendorong Diklitbang PP Muhammadiyah menolak pengesahan Permendikbud Nomor 30 dan meminta pemerintah untuk segera mencabut dan memperbaikinya.
"Kalimat, frasa 'tanpa persetujuan' korban itu menurut kami mendegradasi Permen itu sendiri bahwa menjadi bisa dibenarkan apabila ada persetujuan korban. Itu yang menjadi penting untuk kami catat," kata Sayuti dikutip laman resmi Muhammadiyah.
Menghadapi tantangan ini, dan melihat kejadian di sekolah-sekolah, seharusnya Nadiem memperluas aturan tersebut ke semua perguruan tinggi, sekolah hingga TK.Â
Kita harus berhenti menutupi keterlibatan kita sendiri dan kelambanan kita sebagai bangsa dalam mencegah kekerasan seksual menyebar dan tumbuh dalam frekuensi. Negara dan masyarakat juga harus disalahkan karena tidak ada di sana ketika gadis-gadis itu meminta perlindungan untuk merawat mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI