Bahwa mereka lolos dari begitu banyak kasus-kasus pelecehan seksual untuk waktu yang lama menimbulkan pertanyaan, yang juga harus ada di benak para korban saat mereka menjalani cobaan berat: di mana kita saat mereka sangat membutuhkan kita? Di mana negara, polisi, dan pemerintah yang seharusnya melindungi mereka? Dimana orang tua, saudara, keluarga, tetangga dan masyarakat yang seharusnya menjaga mereka?Â
Gadis-gadis ini pasti merasa benar-benar ditinggalkan oleh negara dan masyarakat.
Predator seks akan selalu ada di sekitar menunggu kesempatan untuk menyerang. Sementara, negara dan masyarakat memberi mereka cukup ruang dan waktu untuk melakukan kejahatannya. Sebagai bangsa dan masyarakat, kita memiliki hukum untuk menghentikan kejahatan keji ini dan polisi untuk menegakkannya. Kita memiliki keluarga dan komunitas untuk menjaga gadis-gadis itu. Tetapi sistem ini cacat, dan orang-orang seperti mereka telah mengeksploitasinya. Kita tahu bahwa lebih banyak lagi kasus plecehan seksual, penyalahgunaan jabatan, penyelewengan kedudukan pada sesama dosen atau terhadap mahasiswa, yang tidak dilaporkan.
Eric Schwitzgebel, profesor filsafat Amerika menyebut fenomena ini sebagai "moral licensing". Ia menjelaskan bagaimana orang-orang yang menggeluti kajian etika justru melakukan banyak perbuatan tidak etis.
Schwitzgebel menunjukkan, misalnya, mengapa buku-buku yang paling sering dicuri dari perpustakaan kampus adalah buku-buku etika, atau mengapa pakar filsafat etika yang berkoar-koar bahwa makan daging adalah tindakan amoral justru menolak jadi seorang vegetarian.
Prinsip moral licensing kira-kira berlaku seperti ini: Karena saya telah melakukan hal-hal yang baik untuk sesama, maka tak masalah jika sekali-dua kali saya melanggar pantangan.
Moral licensing ini bisa menjelaskan mengapa seorang dosen yang cemerlang nan populer dapat melakukan pelecehan seksual. Namun, terlepas dari wilayah kajian si pengajar, ada kepercayaan umum yang sejak awal memungkinkan kejahatan seksual langgeng di kampus-kampus: mengajar adalah sebuah profesi yang sangat mulia dan bermanfaat bagi orang banyak---"pahlawan tanpa tanda jasa", dalam istilah populer di Indonesia.
Kegagalan bangsa kita untuk membuat undang-undang anti kekerasan seksual, tuntutan dari aktivis perempuan sembilan tahun terakhir, berbicara banyak tentang budaya pemerkosaan yang berlaku yang berakar pada masyarakat patriarki kita.Â
Rancangan undang-undang tersebut telah berlama-lama di DPR sejak 2016, sekitar waktu yang sama Herry Wirawan mulai menyerang gadis-gadis di sekolahnya. Para wakil rakyat yang terpilih terus menunda undang-undang dan bahkan memperlunak rancangan undang-undang, sehingga jika dan ketika undang-undang itu disahkan, mungkin tidak akan efektif untuk menghentikan kejahatan.
Banyak korban perkosaan yang tidak melapor ke polisi bukan hanya karena takut harus mengulang kembali pengalaman traumatisnya, ada juga kasus dimana korban menjadi pihak yang harus disalahkan. Contoh kasus adalah banyaknya mahasiswa yang dikeluarkan karena melaporkan dosennya atau sesama mahasiswa yang melakukan penyerangan.
Alih-alih menunggu RUU itu menjadi undang-undang, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, menyosialisasikan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai bagian program Merdeka Belajar Episode Keempat Belas: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual. Bahkan kemudian, dipertanyakan, karena di dalamnya mengandung frasa persetujuan hubungan seksual. Â Permendikbudristek Nomor 30 ini juga menuai kritik dari banyak pihak. Misalnya salah satu organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Muhammadiyah.Â