Momen paling destruktif bagi sebuah etika kepemimpinan adalah saat tim dipastikan gagal. Kluivert dan stafnya menolak untuk menghampiri suporter di stadion, meninggalkan momen pertanggungjawaban emosional tersebut jadi beban para pemain.
Tindakan ini disorot publik sebagai pengabaian dan ketiadaan rasa hormat (respect) terhadap dukungan dan perhormatan publik sebagai representasi sebuah bangsa.
Saat Kinerja dan Etika Sama Buruk
Sebuah profesionalisme kepemimpinan adalah sebuah paket mutlak yang menuntut kinerja (kompetensi) dan etika (karakter/moral) berjalan beriringan.Â
Saat kinerja kepemimpinan menunjukkan kemunduran dan hasil buruk, dan pada saat yang sama, etika-nya runtuh karena pengabaian dan sikap yang buruk, maka yang tersisa hanyalah kekosongan, tidak ada nilai yang didapat.
Dalam situasi kegagalan ganda ini, tidak ada satu pun elemen yang dapat dipertahankan atau diapresiasi. Kredibilitas figur kepemimpinan pun hilang tak bersisa.
Tanggungjawab Moral Institusi
Kegagalan ini harus dilihat sebagai cermin bagi fihak yang merekrut kepemimpinan seperti ini, bagaiman ini bisa terjadi, apakah tidak ada refrensi yang memadai saat ini diputuskan, ataukah ada faktor eksternal lain yang memaksa agar figur kepemimpinan ini masuk.
Sebuah institusi sering terjebak pada profesionalisme transaksional, hanya fokus pada apa yang tertulis di kontrak (gaji dan target klausul tertentu) dan reputasi.
Padahal, yang dibutuhkan adalah profesionalisme transformasional, di mana figur kepemimpinan harus memiliki karakter dan integritas yang kuat agar mampu membangun ikatan moral. Karakter ini terwujud dalam attitude yang bertanggung jawab, rendah hati, dan berempati.
Penunjukan figur kepemimpinan dengan rekam jejak etika yang meragukan bisa dikatakan sebagai sebuah keputusan destruktif fatal. Bukan hanya karena memilih fihur yang gagal secara teknis, tetapi karena memilih pemimpin yang gagal secara moral.