Kekalahan kemenangan adalah resiko pertandingan, namun juga menyangkut standar moral dari figur kepemimpinan terhadap penghormatan atas hasil dan dukungan. Saat kinerja dan etika sama-sama buruk, apa yang tersisa dari sebuah profesionalisme kepemimpinan yang layak dibanggakan?
Saat Kinerja Buruk Diterpa Kritik Tajam
Penunjukan Patrick Kluivert sebagai pelatih timnas oleh PSSI Januari lalu, didasarkan pada ekspektasi tinggi piala dunia. Kluivert yang berasal dari Belanda diharapkan dapat membangun kemistri dan komunikasi yang lebih baik lagi mengingat sebagian besar pemain timnas berdarah Belanda.
Namun, hasilnya kita sudah rasakan sangat mengecewakan. Kinerja Kluivert beserta tim menunjukkan rapor merah: kegagalan parah di Putaran 4 kualifikasi, mengubur mimpiIndonesia ke piala dunia.
Kritik terhadap kinerja teknis Kluivert diarahkan pada kegagalan taktis: racikan formasi ala Kluivert gagal menunjukkan performa tim yang dihuni pemain-pemain kelas eropa. Saat melawan Jepang dan Australia pada P-3 lalu, timnas kalah telak, kebobolan 11 gol dan hanya memasukkan 1 gol saja. Hanya mampu menang 1-0 saat lawan Bahrain dan China.
Regresi performa, secara keseluruhan, timnas dihuni materi pemain yang bisa bersaing di Asia, sebagaimana ditunjukkan era STY, disegani banyak tim, sehingga mampu lolos P-3 yang sangat tidak diprediksi sebelumnya oleh banyak kalangan.
Kluivert sejatinya tinggal meneruskan kerangka tim yang sudah baik, apalagi ditambah kekuatan tambahan, namun apa dinyana timnas seolah mengalami kemunduran fondasi yang telah dibangun STY, kinerja Kluivert yang dijanjikan malah berakhir cukup menyakitkan.
Etika dan Kegagalan Moral Figur Kepemimpinan
Dalam kajian normatif, profesionalisme kepemimpinan tidak hanya diukur dari kompetensi teknis, tetapi juga dari integritas moral, etika, dan kemampuan membangun ikatan emosional (engagement) dengan stakeholder lain (publik/suporter). Figur kepemimpinan Kluivert menunjukkan beberapa sikap yang dinilai publik dan pengamat sebagai kegagalan etika.
Kritik etika komunikasi (engagement): kepemimpinan ini menjadi kritikan saat attitude yang dingin dan low engagement tidak bersinergi dengan ekosistem sepak bola indonesia, kehilangan ikatan batin dan tanggung jawab profesional menyeluruh.
Sikap pasrah dan defensif, saat sebuah kegagaln dialami, respons kepemimpinan cenderung defensif. Meskipun ini realistis, namun ini tidak menunjukkan nilai kepemimpinan yang bertanggungjawab.