"Seorang pemimpin sejati adalah disaat badai kegagalan menerpa, sanggup berdiri paling depan, memikul tanggung jawab moral, menunjukkan empati. Tanpa etika, kinerja hanya angka, saat kinerja nol, etika adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan martabat"
Saat Ma Ning wasit asal China meniup peluit kekalahan Timnas 0-1 atas Irak, menandai pupusnya harapan Indonesia ke Piala Dunia 2026. Seluruh suporter baik di tribun maupun didepan layar kaca harus tertunduk lesu.
Pasca pertandingan tersebut seluruh pemain menghampiri suporter di Stadion King Abdullah Sports City, Jeddah, Arab Saudi pada Minggu dini hari kemarin (12/10), tapi tidak dengan Patrick Kluivert dan para staf kepelatihannya, mereka tetap duduk di bench.
Situasi ini semakin menambah kegeraman suporter, sampai-sampai La Grande Indonesia "... setelah kalah melawan Irak pun anda tidak mampu untuk berjalan, menemui kami, para suporter yang sudah berdiri sejak pertama putaran"
Kritik tajam datang pula dari Penasihat Semen Padang sekaligus Anggota DPR RI, Andre Rosiade. Ia menyoroti rombongan pelatih Belanda ini hanya "diam menonton dari bangku cadangan" saat para pemain berinisiatif menghampiri dan menemui suporter di lapangan. Kecaman Rosiade ini diakhiri tuntutan tegas agar Kluivert segera mengundurkan diri" (Instagram @andre_rosiade).
Update terakhir disampaikan Manajer Timnas Indonesia Sumardji, bahwa Kluivert dan staf pelatihnya langsung terbang kembali ke Belanda usai kekalahan timnas (cnnindonesia, 13/10).
Kontras dengan Kluivert, Graham Arnold (Pelatih Irak) justru menerapkan kendali etika dalam timnya: memberi penghormatan pada timnas, ia melarang selebrasi berlebihan dan meminta pemainnya memberi penghormatan kepada suporter sebelum ke ruang ganti (Detik, 13/10)
Serangkaian sikap yang ditunjukkan Kluivert dan staf menjadi sesuatu yang mengusik nalar etika kita, apakah bisa diterima etika profesionalisme seperti ini? Tim kepelatihan yang sempat digembar-gemborkan sebagai "tim kepelatihan terbaik" dengan standar Eropa ini ternyata menunjukkan niretika profesional yang mendasar.
Seyogyanya, sebuah tim kepelatihan yang memegang titel profesionalisme, apalagi mewakili simbol dan harapan sebuah bangsa, wajib menunjukkan tanggung jawab moral dan attitude yang semestinya, tidak sekadar output kontrak semata.
Mungkin saja perilaku seperti ini sebuah hal yang biasa bagi mereka, ataukah kita yang terlalu berlebihan berharap mereka mengikuti budaya timur kita, bisa menjadi hal lain. Namun, seyogianya, profesionalisme seorang pemimpin yang bekerja mewakili simbol Negara/Bangsa menuntut etika dan adaptasi, di mana mereka wajib memahami dan menghormati kultur engagement tinggi Indonesia sebagai tempat bekerjanya.
Kegagalan menunjukkan empati dan memilih pulang ke ngerinya, menunjukkan bahwa figur kepemimpinan itu gagal membaca budaya lokal, sebuah hal yang kontradiktif dengan Shin Tae-young (Pelatih Timnas sebelumnya dari Korea) atau budaya hormat Ojigi Jepang ala Hajime Moriyasu.
Kekalahan kemenangan adalah resiko pertandingan, namun juga menyangkut standar moral dari figur kepemimpinan terhadap penghormatan atas hasil dan dukungan. Saat kinerja dan etika sama-sama buruk, apa yang tersisa dari sebuah profesionalisme kepemimpinan yang layak dibanggakan?
Saat Kinerja Buruk Diterpa Kritik Tajam
Penunjukan Patrick Kluivert sebagai pelatih timnas oleh PSSI Januari lalu, didasarkan pada ekspektasi tinggi piala dunia. Kluivert yang berasal dari Belanda diharapkan dapat membangun kemistri dan komunikasi yang lebih baik lagi mengingat sebagian besar pemain timnas berdarah Belanda.
Namun, hasilnya kita sudah rasakan sangat mengecewakan. Kinerja Kluivert beserta tim menunjukkan rapor merah: kegagalan parah di Putaran 4 kualifikasi, mengubur mimpiIndonesia ke piala dunia.
Kritik terhadap kinerja teknis Kluivert diarahkan pada kegagalan taktis: racikan formasi ala Kluivert gagal menunjukkan performa tim yang dihuni pemain-pemain kelas eropa. Saat melawan Jepang dan Australia pada P-3 lalu, timnas kalah telak, kebobolan 11 gol dan hanya memasukkan 1 gol saja. Hanya mampu menang 1-0 saat lawan Bahrain dan China.
Regresi performa, secara keseluruhan, timnas dihuni materi pemain yang bisa bersaing di Asia, sebagaimana ditunjukkan era STY, disegani banyak tim, sehingga mampu lolos P-3 yang sangat tidak diprediksi sebelumnya oleh banyak kalangan.
Kluivert sejatinya tinggal meneruskan kerangka tim yang sudah baik, apalagi ditambah kekuatan tambahan, namun apa dinyana timnas seolah mengalami kemunduran fondasi yang telah dibangun STY, kinerja Kluivert yang dijanjikan malah berakhir cukup menyakitkan.
Etika dan Kegagalan Moral Figur Kepemimpinan
Dalam kajian normatif, profesionalisme kepemimpinan tidak hanya diukur dari kompetensi teknis, tetapi juga dari integritas moral, etika, dan kemampuan membangun ikatan emosional (engagement) dengan stakeholder lain (publik/suporter). Figur kepemimpinan Kluivert menunjukkan beberapa sikap yang dinilai publik dan pengamat sebagai kegagalan etika.
Kritik etika komunikasi (engagement): kepemimpinan ini menjadi kritikan saat attitude yang dingin dan low engagement tidak bersinergi dengan ekosistem sepak bola indonesia, kehilangan ikatan batin dan tanggung jawab profesional menyeluruh.
Sikap pasrah dan defensif, saat sebuah kegagaln dialami, respons kepemimpinan cenderung defensif. Meskipun ini realistis, namun ini tidak menunjukkan nilai kepemimpinan yang bertanggungjawab.
Momen paling destruktif bagi sebuah etika kepemimpinan adalah saat tim dipastikan gagal. Kluivert dan stafnya menolak untuk menghampiri suporter di stadion, meninggalkan momen pertanggungjawaban emosional tersebut jadi beban para pemain.
Tindakan ini disorot publik sebagai pengabaian dan ketiadaan rasa hormat (respect) terhadap dukungan dan perhormatan publik sebagai representasi sebuah bangsa.
Saat Kinerja dan Etika Sama Buruk
Sebuah profesionalisme kepemimpinan adalah sebuah paket mutlak yang menuntut kinerja (kompetensi) dan etika (karakter/moral) berjalan beriringan.Â
Saat kinerja kepemimpinan menunjukkan kemunduran dan hasil buruk, dan pada saat yang sama, etika-nya runtuh karena pengabaian dan sikap yang buruk, maka yang tersisa hanyalah kekosongan, tidak ada nilai yang didapat.
Dalam situasi kegagalan ganda ini, tidak ada satu pun elemen yang dapat dipertahankan atau diapresiasi. Kredibilitas figur kepemimpinan pun hilang tak bersisa.
Tanggungjawab Moral Institusi
Kegagalan ini harus dilihat sebagai cermin bagi fihak yang merekrut kepemimpinan seperti ini, bagaiman ini bisa terjadi, apakah tidak ada refrensi yang memadai saat ini diputuskan, ataukah ada faktor eksternal lain yang memaksa agar figur kepemimpinan ini masuk.
Sebuah institusi sering terjebak pada profesionalisme transaksional, hanya fokus pada apa yang tertulis di kontrak (gaji dan target klausul tertentu) dan reputasi.
Padahal, yang dibutuhkan adalah profesionalisme transformasional, di mana figur kepemimpinan harus memiliki karakter dan integritas yang kuat agar mampu membangun ikatan moral. Karakter ini terwujud dalam attitude yang bertanggung jawab, rendah hati, dan berempati.
Penunjukan figur kepemimpinan dengan rekam jejak etika yang meragukan bisa dikatakan sebagai sebuah keputusan destruktif fatal. Bukan hanya karena memilih fihur yang gagal secara teknis, tetapi karena memilih pemimpin yang gagal secara moral.
Membangun Etika Kepemimpinan yang Bernilai
Apa yang tersisa dari sebuah profesionalisme kepemimpinan saat kinerja dan etika sama-sama buruk?Â
Hanya tuntutan untuk evaluasi total dan perombakan secara komprehensif. Marwah profesionalisme hanya dapat ditegakkan kembali jika kita mampu merekonsiliasi etika sebagai prasyarat mutlak dari profesionalisme. Menetapkan bahwa nilai etika menjadi pendamping utama sebuah kepemimpinan agar profesionalisme menjadi lebih bernilai.
Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang, saat badai kegagalan menerpa, sanggup berdiri di depan, memikul tanggung jawab moral, menunjukkan empati. Tanpa etika, kinerja hanyalah angka; dan saat kinerja itu nol, etika adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan martabat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI