Kepercayaan adalah fondasi utama yang menyangga sebuah negara. Di atasnya, demokrasi dapat berfungsi, hukum dapat ditegakkan, kesejahteraan dapat diupayakan. Namun, ketika kepercayaan terganggu, maka seluruh sistem akan goyah yang berpotensi pada gejolak kekecewaan warganya.
Indonesia kini sedang mengalami situasi ini. Puncak kekecewaan ini terjadi dalam sepekan terakhir. Gelombang unjuk rasa yang masif dan meluas di Gedung DPR Senayan yang juga berlangsung di beberapa Gedung DPRD, menjadi sebuah alarm, tanda bahwa ada krisis mendalam yang sedang mengancam.
Pada minggu 31/08/2025 di Istana Negara, Presiden Prabowo Subianto yang didampingi para ketua umum dan elit Parpol telah membuat beberapa poin penting sebagai langkah preventif terhadap dinamika yang ada.
Beberap poin penting tersebut diantaranya bahwa Pimpinan DPR sepakat untuk mencabut tunjangan anggota DPR serta menonaktifkan beberapa anggota legislatifnya yang dianggap tidak representatif. Prabowo juga menjamin kebebasan rakyat dalam menyampaikan aspirasinya, namun beliau mengingatkan untuk tidak melakukan penjarahan dan merusak fasilitas umum, semua pelanggaran akan dilakukan tindakan tegas.
Tentunya apa yang dilakukan Prabowo adalah sebagai langkah awal untuk meredam gejolak publik ini. Tentu saja ini tidak akan berakhir begitu saja, harus ada upaya lanjutan secara komprehensip dalam mengatasi apa yang dikeluhkan publik.
Unjuk rasa bukanlah sekadar luapan emosi sesaat, melainkan manifestasi akumulatif dari kegagalan sistem dalam merespons permasalahan publik yang makin tajam. Masalah terjadi karena ada sesuatu yang salah.
Perlu dicermati langkah strategis apa untuk merekonstruksi demi memulihkan kembali kepercayaan publik pada semua elemen kekuasaan ini, baik legislatif, yudikatif maupun eksekutif.
Yang perlu kita cermati adalah apakah komponen kekuasaan ini mampu memulihkan kepercayaan publik pada koridornya, dan seberapa cepat kepercayaan ini dapat pulih?
Mengapa Kepercayaan Publik Retak?
1. Krisis Kepercayaan Publik