Saat ini publik kerap disuguhi banyak peristiwa khususnya dalam ranah sosial politik kita. Perilaku koruptif, transaksi politik, ketidakpercayaan publik pada politisi sebagai wakilnya, sehingga menimbulkan gelombang reaktif publik. Rentetan peristiwa ini memunculkan permasalahan serius tentang etika dan moralitas elit yang mengarah pada ancaman desentralisasi nilai.Â
Kondisi yang cukup mengkhawatirkan, norma moral kolektif kita terasa bias, kuat dalam slogan namun rentan dalam implementasinya, terlalu banyak pertarungan kepentingan. Kondisi ini bukan sekadar dinamika sosial biasa, melainkan sebuah ancaman serius bagi tatanan kehidupan berbangsa kita yang ber-Pancasila.
Perilaku-perilaku yang ditampilkan para elit ataupun politisi cenderung menampilkan sebagaimana Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik; merpati dan ular sehingga memicu krisis politik yang berujung pada erosi masif terhadap kepercayaan publik.
Ancaman Desentralisasi Nilai: Dilema Moralitas Politik di Parlemen
Krisis kepercayaan publik, saat politisi gagal bertindak secara etis dan moral, publik menjadi skeptis dan curiga terhadap semua institusi politik. Menurunnya tingkat kepercayaan yang merupakan dasar dari kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat bisa tak terhindarkan.
Desentralisasi nilai-nilai moral juga berpotensi pada keruntuhan sosial. Ketika nilai-nilai moral tidak lagi menjadi dasar dari tindakan politik, masyarakat menjadi terpolarisasi dan terfragmentasi. Kelompok-kelompok yang merasa tidak terwakili atau dieksploitasi oleh sistem politik yang tidak berfihak berpotensi pada tindakan ekstrem publik. Protes dan demonstrasi dapat berubah menjadi kekerasan, terancamya kohesi sosial.
Desentralisasi nilai-nilai moral juga dapat menyebabkan kekacauan dalam pembuatan kebijakan. Ketika politisi lebih fokus pada keuntungan pribadi daripada kebaikan bersama, kebijakan yang dibuat mungkin tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip etika dan moral, tetapi berdasarkan pada kepentingan pribadi atau ambisi kekuasaan yang dapat merugikan masyarakat.
Secara ideal, parlemen seharusnya menjadi institusi laksana Akademinya Plato, di mana para politikus, yang disebut negarawan, mengemban tugas mulia sebagai perumus kebijakan, pembuat undang-undang, dan penyambung lidah rakyat.
Dalam tugas-tugas konstitusionalnya, mereka diharapkan mampu melahirkan gagasan-gagasan brilian dan bertindak sesuai etika serta moralitas politik demi tercapainya keadilan sosial dan pencerahan bagi masyarakat.
Namun dalam realitasnya, implementasi etika legislatif sering dipertanyakan. Persoalan serius muncul karena sistem kerja parlemen yang bersifat kolegial, di mana kesuksesan atau kegagalan menjadi tanggung jawab bersama.
Kondisi ini sering kali dimanfaatkan oleh anggota dewan untuk bersembunyi di balik kolega, yang membuat fungsi kontrol menjadi tumpul dan mendorong praktik korupsi berjamaah.