Indonesia memiliki sejarah panjang dalam eksploitasi dan konservasi alam, bahkan sebelum kedatangan bangsa Barat, konsep konservasi sudah dikenal masyarakat.
Meskipun praktik kolonialisme Barat sering dikaitkan dengan eksploitasi alam, hal itu juga berkontribusi terhadap berbagai bentuk praktik pelestarian alam di Indonesia, yang beberapa di antaranya masih dilakukan hingga saat ini.
Penetapan peraturan yang mengatur konservasi alam pada masa kolonial menggarisbawahi keseriusan upaya mereka dalam hal ini. Upaya konservasi yang dilakukan masa kolonial ini seringkali dilakukan hanya untuk kepentingan ekonomi pemerintah kolonial itu sendiri.
Berbagai upaya pelestarian alam yang dilakukan pada masa sebelum dan saat penjajahan bangsa asing merupakan cerminan perjalanan perlakuan manusia terhadap alam.
Menjadi pertanyaan kita hari ini, bagaimana menyatukan kembali komitmen yang berakar dari kearifan lokal dengan regulasi yang kuat untuk menjawab tantangan sumber daya alam masa kini?
Deforestasi Sumber Daya Alam Indonesia dalam Catatan Sejarah
Indonesia yang dikenal sebagai paru-paru dunia karena memiliki kawasan hutan yang luas, kini menghadapi masalah penyempitan hutan secara masif.Â
Hilangnya hutan disebabkan oleh berbagai aktivitas, seperti eksplorasi tambang, eksploitasi kayu, pembukaan lahan untuk perkebunan dan permukiman, hingga kebakaran hutan dan penebangan liar.
Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan dan satwa yang kehilangan habitat, namun juga menjadi isu global yang bahkan dapat memicu wabah penyakit.
Akar permasalahan deforestasi ini tidak terlepas dari cara pandang manusia terhadap alam, serta ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan kebijakan.
Hal ini terlihat dari adanya izin pembukaan lahan yang terus dikeluarkan, padahal hal tersebut bertentangan dengan kebijakan pembatasan deforestasi dan konservasi yang sudah ada.
Kerusakan lingkungan di Indonesia telah berlangsung lama, bahkan sejak masa sebelum kemerdekaan, salah satunya karena sistem pertanian tradisional ladang berpindah. Namun, eksploitasi dan deforestasi meningkat drastis pada pertengahan abad ke-19 di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Jawa.
Eksploitasi besar-besaran ini terjadi pada hutan kayu jati Nganjuk untuk pembuatan kapal, serta pembukaan lahan di lereng gunung untuk perkebunan kopi yang sering kali gagal dan merusak vegetasi, seperti di lereng Gunung Sewu.
Puncaknya, pada masa cultuurstelsel atau tanam paksa, hutan-hutan semakin banyak dibuka untuk pertanian ekspor dan penebangan jati demi Batig Slot (Saldo Untung).
Selain itu, perburuan satwa seperti harimau Jawa dan komersialisasi bulu cendrawasih juga menjadi permasalahan serius yang disoroti oleh aktivis lingkungan pada era 1920-an.
Alam dan Kearifan Masyarakat Tradisional Indonesia
Pada masyarakat tradisional Indonesia, eksploitasi alam memiliki dua sisi, hutan umumnya terjaga karena pemanfaatan yang terbatas untuk kebutuhan hidup, namun ada juga praktik merusak seperti ladang berpindah dan tradisi Rampokan Macan.
Meski demikian, eksploitasi ini tidak didorong oleh kepentingan komersial, sebuah fakta yang baru disadari oleh pemerintah kolonial. Di sisi lain, konservasi alam secara efektif dilakukan melalui kombinasi konsep sakral dan pengetahuan praktis.
Konsep sakral mencakup kearifan lokal seperti menyakralkan hutan karena dipercaya sebagai asal-usul leluhur, serta pandangan sosio-religius yang menganggap alam dan hewan sebagai sesuatu yang suci.
Aspek ini diperkuat oleh pengetahuan lokal yang bersifat praktis, seperti teknik pertanian Sabuk Gunung, sistem penanggalan Wongso, dan sistem irigasi Subak di Bali.
Perpaduan antara kepercayaan dan pengetahuan praktis inilah yang menjadi kunci utama dalam menjaga kelestarian sumber daya alam secara efektif, bahkan tanpa instruksi dari penguasa.
Eksploitasi dan Konservasi di Era Kolonial
1. Eksploitasi Alam Masa VOC
Pada masa VOC, pemanfaatan hutan berubah secara drastis menjadi sangat eksploitatif. VOC memandang hutan, terutama hutan jati, bukan dari fungsinya melainkan dari nilai ekonominya yang sangat tinggi.
Pemanfaatan kayu jati ini tidak hanya untuk diperjualbelikan, namun juga digunakan sebagai bahan utama pembangunan infrastruktur VOC seperti loji, gudang, dan benteng, yang menjadi simbol kekuasaan mereka.
VOC menerapkan kontrol ketat dengan membatasi hak penebangan bagi masyarakat, hanya mengizinkan segelintir orang (Boswolkeren) untuk kepentingan mereka dan mengenakan pajak 10% atas kayu yang ditebang.
Bahkan, eksploitasi ini begitu masif hingga VOC memaksa masyarakat Rembang untuk menebang hutan di Blora setelah hutan di wilayah mereka sendiri habis.
Selain itu, VOC juga membabat hutan untuk keperluan membuka lahan perkebunan. Kegiatan ini umumnya dilakukan di wilayah dataran tinggi seperti lereng gunung. Priangan jadi salah satu contoh bagaimana hutan yang diubah menjadi perkebunan kopi dan nila.
Hal serupa juga pernah dicoba di Gunung Sewu, meskipun pada akhirnya gagal karena kondisi wilayahnya tidak cocok.
Pemanfaatan hutan yang didorong oleh pandangan nilai ekonomi yang tinggi ini menunjukkan bahwa VOC menggunakan hutan secara sistematis untuk keuntungan dagang mereka, mengubah fungsi hutan dari sekadar sumber kehidupan menjadi komoditas.
Pada masa kekuasaan VOC, eksploitasi hutan terjadi secara besar-besaran, baik untuk penebangan maupun pembukaan lahan perkebunan. Namun, di tengah kondisi tersebut, muncul beberapa upaya konservasi alam yang diprakarsai oleh individu, bukan oleh VOC secara institusional.
Salah satunya adalah Nicolaas Engelhard, Gubernur VOC di wilayah Cirebon hingga Gresik. Ia memperkenalkan sistem tebang pilih dan reboisasi di hutan jati Rembang dan Blora.
Upaya ini ia lakukan bukan atas dasar kesadaran lingkungan, melainkan untuk menjaga keutuhan hutan agar dapat terus dieksploitasi dalam jangka panjang demi keuntungan kas VOC yang menjadi tanggung jawabnya.
Upaya konservasi yang dianggap sebagai bentuk perlindungan alam pertama di Hindia Belanda justru dilakukan oleh Cornelis Chastelein, mantan direktur VOC. Ia mewariskan sebidang tanah seluas 6 hektar di Depok kepada para pekerjanya untuk dijadikan kawasan perlindungan alam (Natuur Reservat).
Chastelein meminta agar wilayah tersebut ditanami pohon akasia dan dilarang ditebang tanpa ada penggantinya. Tujuannya adalah untuk menjaga keberadaan sumber air di sekitarnya, yang juga penting untuk perkebunan yang ia wariskan. Engelhard telah melakukan tindakan pelestarian, upaya Chastelein dianggap lebih murni dan menjadi tonggak awal perlindungan alam.
3. Eksploitasi Masif Hindia Belanda
Pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, eksploitasi alam menjadi jauh lebih terstruktur dan intensif. Aktivitas ini dimulai dengan pengalihan manajemen hutan, seperti di wilayah Madiun dan Gunung Kidul, dari kekuasaan raja-raja Jawa ke tangan pemerintah kolonial.
Eksploitasi hutan semakin meningkat pesat pada masa tanam paksa (cultuurstelsel), terutama untuk pembukaan lahan perkebunan dan pembangunan infrastruktur seperti rel kereta api.
Pemerintah kolonial juga mulai memperkenalkan manajemen hutan yang lebih sistematis, termasuk memetakan hutan dan memberikan hak konsesi kepada pihak swasta (hak pemborong hutan), yang orientasinya lebih pada keuntungan ekonomi.
Hal ini terlihat dari perbandingan jumlah hutan eksploitasi yang jauh lebih besar daripada hutan lindung yang baru mereka susun pada tahun 1937.
Selain hutan, perburuan satwa liar juga meningkat tajam dan menjadi lebih terorganisasi. Terdapat tiga penyebab utama: pertama, pembukaan lahan perkebunan memaksa satwa liar masuk ke permukiman dan merusak tanaman; kedua, perburuan menjadi sarana hiburan yang meluas; dan ketiga, beberapa satwa langka memiliki nilai ekonomis tinggi.
Ini terjadi pada perburuan masif Burung Cenderawasih untuk ekspor bulunya ke Eropa, Badak Jawa yang diburu culanya, dan Harimau Jawa yang diburu untuk hiburan, termasuk dalam tradisi Rampokan Macan.
Peningkatan perburuan ini menunjukkan bahwa orientasi terhadap keuntungan ekonomi dan hiburan jauh lebih mendominasi dibandingkan dengan kebutuhan hidup yang terbatas seperti pada masyarakat tradisional.
4. Kebijakan Konservasi Hindia Belanda
Upaya konservasi di masa kolonial Hindia Belanda dilakukan secara komprehensif, dimulai dari konservasi kehutanan yang dipelopori oleh Gubernur Jenderal Daendels dan Raffles.
Mereka membentuk Jawatan Kehutanan dan mempertegas status hutan sebagai aset negara melalui berbagai peraturan, seperti Boschordonantie, yang terus direvisi dan diterapkan di seluruh wilayah.
Selain kehutanan, pemerintah juga melakukan konservasi cagar alam, dipimpin oleh tokoh seperti Dr. Treub dan Dr. Koorders, yang berpuncak pada penetapan 55 kawasan melalui Undang-Undang Cagar Alam 1916.
Perlindungan satwa liar juga diatur melalui serangkaian undang-undang yang dimulai sejak 1910 untuk mengendalikan perburuan.
Dalam periode ini, pihak swasta juga memiliki peran ganda; mereka diberikan hak kelola hutan namun juga berinisiatif dalam konservasi, seperti pembentukan Yayasan Perlindungan Hewan pada tahun 1896 oleh G.A. Scherer.
Masa Jepang
Selama masa pendudukan Jepang (1942--1945), pengelolaan hutan di Indonesia ditempatkan di bawah lembaga industri bernama Zangyobuu. Kebijakan ini merupakan bentuk nyata dari politik eksploitasi kekayaan alam untuk kepentingan militer Jepang.
Dalam pelaksanaannya, pembagian kawasan hutan yang telah dibuat sebelumnya oleh Belanda diabaikan. Eksploitasi ini diperparah dengan penerapan sistem kerja paksa atau Romusha, di mana masyarakat dipaksa bekerja tanpa upah dan dilarang untuk menikmati hasil hutan.
Seiring meningkatnya kebutuhan kayu untuk Perang Asia Timur Raya, pengelolaan hutan juga melibatkan lembaga lain seperti Zoosen Kyou Ku (Departemen Perkapalan) dan Gonzyuseizanbu (Departemen Produksi Kebutuhan Perang), yang menunjukkan bahwa hutan sepenuhnya difungsikan sebagai alat pendukung logistik militer.
Akibatnya, banyak kawasan hutan yang dibabat habis untuk dialihfungsikan menjadi perkebunan dan pertanian. Dapat disimpulkan bahwa pada masa pendudukan Jepang, tidak ada upaya konservasi alam sama sekali. Lembaga-lembaga yang sebelumnya dibentuk untuk mengelola hutan justru dialihfungsikan menjadi alat eksploitasi semata.
Tantangan dan Harapan Hari Ini
Jejak historis dan pengalaman bangsa Indonesia dalam hal konservasi alam dapat menjadi pelajaran dan evaluasi terhadap kebijakan konservasi alam saat ini.Â
Sejak masa prakolonial, masyarakat telah memiliki kearifan lokal untuk melindungi kekayaan flora dan fauna. Sedangkan pada masa kolonial, pemerintah telah menetapkan aturan resmi dan mengikat terkait perlindungan hutan dan satwa.
Dengan memahami bahwa tantangan pelestarian sumber daya alam hari ini adalah warisan dari pola pikir masa lalu, kita dapat menemukan harapan besar. Bukan lagi tentang terus-menerus menyalahkan sejarah, melainkan tentang keberanian untuk merumuskan ulang masa depan.
Harapan itu terletak pada kemampuan kita untuk kembali pada kearifan lokal, menciptakan kebijakan yang berpihak pada kelestarian, dan mengubah mentalitas eksploitatif menjadi kolaborasi yang harmonis dengan alam.
Upaya konservasi adalah sebuah pilihan sadar untuk meninggalkan jejak kebaikan, bukan lagi jejak kerusakan.
Ref: Jurnal Sejarah Citra Lekha, 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI