Salah satunya adalah Nicolaas Engelhard, Gubernur VOC di wilayah Cirebon hingga Gresik. Ia memperkenalkan sistem tebang pilih dan reboisasi di hutan jati Rembang dan Blora.
Upaya ini ia lakukan bukan atas dasar kesadaran lingkungan, melainkan untuk menjaga keutuhan hutan agar dapat terus dieksploitasi dalam jangka panjang demi keuntungan kas VOC yang menjadi tanggung jawabnya.
Upaya konservasi yang dianggap sebagai bentuk perlindungan alam pertama di Hindia Belanda justru dilakukan oleh Cornelis Chastelein, mantan direktur VOC. Ia mewariskan sebidang tanah seluas 6 hektar di Depok kepada para pekerjanya untuk dijadikan kawasan perlindungan alam (Natuur Reservat).
Chastelein meminta agar wilayah tersebut ditanami pohon akasia dan dilarang ditebang tanpa ada penggantinya. Tujuannya adalah untuk menjaga keberadaan sumber air di sekitarnya, yang juga penting untuk perkebunan yang ia wariskan. Engelhard telah melakukan tindakan pelestarian, upaya Chastelein dianggap lebih murni dan menjadi tonggak awal perlindungan alam.
3. Eksploitasi Masif Hindia Belanda
Pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, eksploitasi alam menjadi jauh lebih terstruktur dan intensif. Aktivitas ini dimulai dengan pengalihan manajemen hutan, seperti di wilayah Madiun dan Gunung Kidul, dari kekuasaan raja-raja Jawa ke tangan pemerintah kolonial.
Eksploitasi hutan semakin meningkat pesat pada masa tanam paksa (cultuurstelsel), terutama untuk pembukaan lahan perkebunan dan pembangunan infrastruktur seperti rel kereta api.
Pemerintah kolonial juga mulai memperkenalkan manajemen hutan yang lebih sistematis, termasuk memetakan hutan dan memberikan hak konsesi kepada pihak swasta (hak pemborong hutan), yang orientasinya lebih pada keuntungan ekonomi.
Hal ini terlihat dari perbandingan jumlah hutan eksploitasi yang jauh lebih besar daripada hutan lindung yang baru mereka susun pada tahun 1937.
Selain hutan, perburuan satwa liar juga meningkat tajam dan menjadi lebih terorganisasi. Terdapat tiga penyebab utama: pertama, pembukaan lahan perkebunan memaksa satwa liar masuk ke permukiman dan merusak tanaman; kedua, perburuan menjadi sarana hiburan yang meluas; dan ketiga, beberapa satwa langka memiliki nilai ekonomis tinggi.
Ini terjadi pada perburuan masif Burung Cenderawasih untuk ekspor bulunya ke Eropa, Badak Jawa yang diburu culanya, dan Harimau Jawa yang diburu untuk hiburan, termasuk dalam tradisi Rampokan Macan.