Eksploitasi dan Konservasi di Era Kolonial
1. Eksploitasi Alam Masa VOC
Pada masa VOC, pemanfaatan hutan berubah secara drastis menjadi sangat eksploitatif. VOC memandang hutan, terutama hutan jati, bukan dari fungsinya melainkan dari nilai ekonominya yang sangat tinggi.
Pemanfaatan kayu jati ini tidak hanya untuk diperjualbelikan, namun juga digunakan sebagai bahan utama pembangunan infrastruktur VOC seperti loji, gudang, dan benteng, yang menjadi simbol kekuasaan mereka.
VOC menerapkan kontrol ketat dengan membatasi hak penebangan bagi masyarakat, hanya mengizinkan segelintir orang (Boswolkeren) untuk kepentingan mereka dan mengenakan pajak 10% atas kayu yang ditebang.
Bahkan, eksploitasi ini begitu masif hingga VOC memaksa masyarakat Rembang untuk menebang hutan di Blora setelah hutan di wilayah mereka sendiri habis.
Selain itu, VOC juga membabat hutan untuk keperluan membuka lahan perkebunan. Kegiatan ini umumnya dilakukan di wilayah dataran tinggi seperti lereng gunung. Priangan jadi salah satu contoh bagaimana hutan yang diubah menjadi perkebunan kopi dan nila.
Hal serupa juga pernah dicoba di Gunung Sewu, meskipun pada akhirnya gagal karena kondisi wilayahnya tidak cocok.
Pemanfaatan hutan yang didorong oleh pandangan nilai ekonomi yang tinggi ini menunjukkan bahwa VOC menggunakan hutan secara sistematis untuk keuntungan dagang mereka, mengubah fungsi hutan dari sekadar sumber kehidupan menjadi komoditas.
Pada masa kekuasaan VOC, eksploitasi hutan terjadi secara besar-besaran, baik untuk penebangan maupun pembukaan lahan perkebunan. Namun, di tengah kondisi tersebut, muncul beberapa upaya konservasi alam yang diprakarsai oleh individu, bukan oleh VOC secara institusional.