Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bulan Sembilan Tanggal Sembilan

10 Maret 2019   20:50 Diperbarui: 12 Maret 2019   19:34 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Berjanjilah! jika memang Ayah sayang Bunda, berjanjilah pada Bunda, Ayah tidak akan pernah menyusul dan mencari tahu keberadaan Bunda di kota ini." 

Tiga tahun yang lalu, di tanggal dan bulan yang sama dengan malam ini. Dia memintaku untuk datang menemui orang tuanya di kampung halamannya. Aku ingat, malam itu sebelum berpisah denganku, di tempat ini, dia memberikan secarik kertas yang berisi alamat rumahnya, seraya berpesan padaku, "Jika memang Ayah serius ingin menikahi Bunda, Bunda tunggu tanggal sembilan bulan sembilan di kampung halaman Bunda. Bunda sudah kangen pada bapak, emak, dan adek Bunda di kampung sana, nanti kita ketemu dan memulai hidup baru dari sana."

Saat itu, di bawah temaram lampu jalanan ibu kota, kutatap kepergian gadis cantik berambut panjang sebahu yang terus berjalan meninggalkanku. Kutatap punggung gadis cantik yang perlahan mulai menghilang di antara keramaian kota.

Kutatap kepergian gadis cantik yang kukenal dengan segala keterbatasannya mencoba untuk terus bertahan dari semua rasa sakit yang menderanya. Rasa sakit yang teramat pedih dikhianati oleh orang yang dia percaya sebelumnya atas nama cinta.

Tiga tahun sudah berlalu, tapi masih terasa seperti baru kemarin aku di sini bersamanya. Gadis cantik rambut panjang sebahu yang di awal mula perkenalanku dengannya itu tanpa sengaja kujumpai tengah menangis sesegukan di tempat ini.

Kutatap trotoar jalanan, tempat di mana gadis cantik rambut panjang sebahu itu dulu sering duduk di atasnya. Kutatap trotoar tempat pertama kali aku mengenalnya. Hingga hari demi hari kami selalu janjian bertemu dan berbincang di tempat ini.


Dari awal hingga akhir petemuanku dengannya tidak sekali pun dia mau aku mengantarkannya pulang ke tempat kediamannya.

Sambil membakar sebatang rokok di tanganku, kuhisap dalam-dalam, lalu kuhembuskan asapnya pelan-pelan. Kutatap bulan purnama yang perlahan mulai menghilang tertutupi awan hitam. Mendung datang, pertanda sebentar lagi akan hujan.

Di antara derasnya air hujan, perlahan kutinggalkan pisau belati yang masih berlumuran darah di pinggir trotoar jalanan. Di antara keremangan lampu jalanan, aku terus berjalan meninggalkan trotoar penuh kenangan di pinggir jalanan  kota impian.

Selamat malam, Dunia. Selamat malam, Bunda. Aku tahu saat ini engkau sedang menangis pilu menatap kehitamanku. Maafkan aku. Rasa cintaku padamu telah menghitamkan hati dan pikiranku. Jika yang aku lakukan ini adalah perbuatan dosa, biarlah dosa ini menjadi tanggung jawabku sendiri kelak di hadapan-Nya.

Aku telah memberlakukan Qisas pada mereka yang membunuhmu. Hari ini, tanggal Sembilan bulan Sembilan, di trotoar jalanan, di tempatku dulu pernah berdiri sambil memelukmu yang sedang menangis pilu, pisau belati di trotoar itu menjadi saksi betapa tangismu dulu mampu membuat bibir ini tersenyum melihat Badri yang dulu begitu buas terhadapmu, malam tadi, menangis dengan meratap dan memohon ampun sambil menyebut namamu sebelum ujung belatiku ini pelan-pelan menyayat dan memutuskan urat leher mereka satu persatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun