"Iya. Saat itu di bawah rintik hujan kita berteduh di pinggir jalan. Dan, malam itu, di depan toko itu engkau menciumku."
"Dan, kamu menamparku."
"Iya. Aku menampar adik yang nakal, yang tidak pernah mau mendengar omonganku, dan selalu membuatku jengkel, karena terus mencuri kesempatan untuk bisa menciumku."
"Kamu marah?"
"Mana ada perempuan yang tidak marah dicium paksa seperti itu?"
"Lalu, mengapa saat itu kamu selalu mengajakku ikut menemanimu?"
"Aku tidak tahu. Entah mengapa, saat itu aku menyayangimu. Namun, itu sebatas rasa sayang seperti kakak menyayangi adik laki-lakinya. Mungkin karena aku anak tunggal dan saat itu aku begitu ingin memiliki adik laki-laki sepertimu."
"Aku juga menyayangimu, bahkan sampai saat ini, rasa itu tidak berubah sedikit pun."
"Aku tidak lagi seperti yang engkau kenal dulu. Aku sudah memiliki dua orang anak sekarang. Yang sulung sudah kuliah masuk semester satu, sementara yang bungsu sudah masuk SLTP dua tahun yang lalu."
"Setelah sekian tahun berlalu, mengapa akhirnya kamu bersedia bertemu denganku? Dan, mengapa harus di tempat ini?"
"Jujur saja, aku ingin tahu kabarmu. Adik nakal yang dulu sering membuatku jengkel. Adik nakal yang bahkan sampai membuat aku memutuskan pacarku hanya karena dia meminta aku memilih untuk meninggalkan dia atau meninggalkan laki-laki itu."