Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku dan Sang Waktu

26 Januari 2019   16:34 Diperbarui: 3 Februari 2019   21:33 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian Duapuluh 

 

Pilpres yang Berdarah

***


Sang Waktu memperlambat langkahnya, lalu berhenti sejenak sambil menatapku. Tak lama dia kembali melanjutkan langkahnya. Menyusuri jalanan panjang yang ujungnya entah dimana.

Kami memasuki bekas kota yang kulihat hanya ada sisa-sisa bangunan megah yang dulu sepertinya pernah ada. Saat ini cahaya matahari tidak begitu terlihat jelas di tempat yang sejauh mata memandang ini kulihat hanya ada tumpukan sampah dan bekas-bekas gedung yang sepertinya baru selesai di bakar itu.

Sang Waktu berhenti di antara kerumunan anak-anak muda yang kulihat sepertinya tengah bersembunyi di antara puing-puing bangunan seperti yang banyak kujumpai di sepanjang jalan ini.

Saat ini kami tengah berada di depan sekelompok anak muda yang masih terus siaga sambil memanggul senjata.

Sepertinya mereka tengah menanti musuh di depan sana dengan harap-harap cemas sambil terus melihat ke arah kepulan asap hitam yang tengah membumbung tinggi diangkasa.

Di antara suara pekikan dan juga bunyi letusan senjata api. Sekelompok anak muda yang terus bersiaga itu saling pandang antara satu dengan yang lainnya.

Mereka berpikir bisa saja suara pekik dan jerit tangis wanita dan anak-anak yang terdengar di ujung sana itu adalah suara dari orang tua, saudara, adik atau tetangga mereka yang yang saat ini bisa saja telah jatuh ke tangan musuh-musuh mereka.

"Kita sedang berada di mana?" tanyaku lagi. Tak sabar pada sang Waktu yang masih berdiri tegak di sampingku.

Sedari tadi, di sepanjang jalan, sang Waktu hanya diam melihat beberapa orang yang tadi kulihat tengah membunuh seorang lelaki dan anak kecil yang berada di dalam gendongannya. Melihat tanpa ekspresi ke arah rombongan orang yang tadi bersorak-sorak sambil menenteng kepala pria yang baru saja mereka penggal kepalanya.

Kutatap wajah datar tanpa rasa yang tadi sempat memintaku untuk tetap diam ketika melihat beberapa orang pria yang secara keji memperkosa secara bergiliran seorang wanita, lalu kemudian membunuhnya dengan cara memasukan tangkai cangkul ke dalam lubang kemaluannya.

Serta memintaku agar tetap diam di tempat ketika tadi melihat sekelompok orang yang menggunakan seragam yang sama sedang memerangi kelompok lainnya.

Serta memintaku agar tetap diam ketika melihat sekelompok orang membumi hanguskan bangunan apa saja yang mereka jumpai di sepanjang jalan yang kami lalui.

Masih jelas di dalam ingatanku, ketika bangunan sekolahan, rumah ibadah, serta gedung-gedung pemerintahan dan juga rumah-rumah masyarakat yang mereka bumi hanguskan tadi.

Perang ini kulihat bukan lagi peperangan untuk menguasai sumber daya alam semata. Perang yang timbul dari percikan api kebencian ini kulihat sudah pada tahap untuk memusnahkan lawan-lawannya.

Di sepanjang jalan, yang kulihat hanyalah pertikaian yang ada. Masing-masing pihak yang bertikai kulihat mulai berpikir jika kelompok Suku, Agama, Ras dan Golongan mereka ingin tetap ada. Maka tidak ada cara lain selain memusnahkan kelompok Suku, Agama, Ras dan Golongan yang menjadi lawan mereka.

Tidak ada tawanan perang di sini. Setiap daerah musuh yang telah berhasil mereka kuasai,akan mereka musnahkan seluruh bangunan beserta orang-orang yang berada di dalamnya.

"Di salah satu wilayah bekas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI." kata sang Waktu tanpa menoleh ke arahku.

Aku kaget mendengar jawaban sang Waktu barusan. Sebelum aku bertanya lebih jauh, sang Waktu kembali meneruskan ucapannya.

"Dulunya wilayah ini adalah salah satu bagian dari wilayah Republik Indonesia (RI) atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Atau lebih umum disebut Indonesia.

Salah satu negara di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa. Dahulunya negara besar itu berada di antara daratan benua Asia dan Australia, serta di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Negara besar itu dulunya memiliki kepulauan terbesar di dunia, dengan kurang lebih sekitar 17.504 pulau di dalamnya.

Negara yang menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai itu, pada awal mulanya adalah negara demokratis dengan populasi hampir 270.054.853 juta jiwa di tahun 2018 juga menjadi negara berpenduduk terbesar keempat di dunia. 

Dengan lebih dari 230 juta jiwa mayoritas agamanya adalah agama Islam. Atau sekitar 85,2% dari total jumlah penduduk Indonesia kala itu. Menjadikan negara itu menjadi negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia. 

Tapi sayangnya, negara yang memiliki semboyan, "Bhinneka tunggal ika" ("Berbeda-beda namun tetap satu") ini pada Pilpres 2019 yang lalu tidak berjalan mulus. 

Sebagai negara pengguna internet yang berada pada peringkat ke-8 di dunia pada saat itu, yang dari jumlah pengguna internet tersebut, 80 persen di antaranya adalah remaja yang berusia 15 sampai dengan 19 tahun.

Dengan pengguna internet sekitar 83,7 juta orang atau berada pada peringkat ke-6 di dunia.  Saat itu, negara besar itu tidak mampu bertahan akibat imbas dari perkembangan zaman teknologi informasi.

Kasus-kasus terkait ujaran kebencian (hate speech) dan hoaks (hoax) semakin meningkat di Indonesia paska Pilpres yang tidak berjalan mulus.

Ujaran kebencian yang di awalnya hanya ditujukan kepada orang per orang, pada Pilpres itu juga menyerang kelompok Suku, ras, agama dan golongan (SARA).

Dan sebagai negara majemuk dengan beragam suku, ras, agama dan golongan. Negara Indonesia adalah negara yang paling rawan terhadap konflik SARA. Perbedaan pandangan antar kelompok masyarakat di suatu wilayah menjadi pemicu pecahnya bentrok di antara mereka.

Kerusuhan hebat terjadi dimana-mana. Berawal dari rasa kurang puas yang di tujukan oleh para pengikut salah satu pasangan capres-cawapres yang tidak terima paska pemilihan Presiden kala itu. Lambat laun, isu yang menjadi liar itu berkembang menjadi bola panas yang terus mengegelinding tanpa mampu dicegah oleh semuanya.

Beberapa wilayah yang dahulunya memang sudah bergejolak pada saat negara ini masih menjadi negara kesatuan. Para elit dari kubu pemberontak, pada saat itu berhasil memanfaatkan situasi yang sedang memanas itu hingga pertikaian elit politik terjadi di tingkat pusat sana.

Selanjutnya para elit dari kubu pemberontak yang selama ini memang di bantu oleh negara-negara luar yang memang tidak ingin adanya negara kesatuan ini berhasil memainkan isu, lalu menjadikan isu itu menjadi penyebab timbulnya pertikaian dimana-mana.

Isu yang berawal dari rasa tidak puas akibat salah satu pasangan capres-cawapres jagoan mereka kalah pada pilpres 2019 yang lalu itu berubah menjadi isu yang lebih besar lagi. Dan pada akhirnya, kelompok-kelompok yang selama ini memang sengaja di pelihara oleh elit politik untuk mendulang suara pada saat kampanye atau untuk mengalihkan isu pada kasus-kasus tertentu. Pada saat itu malah berhasil menguasai permainan yang tidak pernah mereka sangka-sangka sebelumnya. 

Kerusuhan antar kelompok suku, ras, agama dan golongan (SARA) meluas dan tidak terbendung lagi, hingga akhirnya pada tahun 2020 negara Indonesia bubar menjadi beberapa negara bagian."

Aku terdiam mendengar penjelasan sang Waktu barusan. Padahal setahuku, pelaksanaan Pemilu 2019 serentak yang mencakup Pemilihan Legislatif (Pileg 2019) dan Pemilihan Presiden (Pilpres 2019) baru akan berlangsung pada tanggal 17 April 2019 nanti.

Bagaimana mungkin saat ini sang Waktu mengatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah bubar pada tahun 2020 yang lalu? Memang sekarang tahun berapa?

"Apa benar ini dulunya adalah salah satu wilayah negara Indonesia?" tanyaku pada sekelompok anak muda yang saat ini tengah berada di depanku.

"Kata orang-orang tua kami, dahulunya memang wilayah ini  adalah bagian dari negara besar yang bernama Indonesia. 

Tapi saat ini negara besar itu sudah tidak ada lagi. Menurut para tetua kami, dulunya perang antar suku dan golongan yang pada awalnya mulanya berawal dari media sosial lambat laun telah menimbulkan bibit-bibit kebencian di dunia nyata.

Perang besar yang terjadi pada waktu itu telah menghancurkan negara besar yang bernama Indonesia itu menjadi beberapa negara bagian.

Dan masih menurut para tetua kami, ternyata bibit-bibit kebencian yang semula berawal dari media sosial itu tidak cukup hanya membuat negara besar itu terpecah menjadi beberapa bagian saja.

Pertikaian antar golongan yang masih belum terselesaikan masih meninggalkan konflik berkepanjangan hingga saat ini. 

Mereka yang dulunya, kata para orang tua kami, adalah saudara sebangsa dan setanah air kami, saat ini malah terus memerangi kami.

Saat ini kami berada di dalam dua pilihan. Terus berperang untuk mempertahankan sisa-sisa peradaban kelompok Suku, Agama, Ras dan dan antar Golongan (SARA) kami,  atau kami semua akan dibinasakan oleh orang-orang luar yang bukan berasal dari kelompok Suku, Agama, Ras dan Golongan kami ini."

Aku terdiam mendengarkan penjelasan salah seorang anak muda di depanku ini. Padahal aku ingat betul bahwa pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin yang diusung oleh Partai PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Hanura. Partai PKPI, Partai PSI dan Partai Perindo, baru saja melangsungkan debat pertama capres pada 17 Januari 2019 lalu melawan pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang diusung oleh Partai Gerindra, Partai PKS, Partai PAN, Partai Demokrat dan Partai Berkarya.

"Kakek dari mana?" tanya salah seorang anak muda menggunakan bahasa daerah yang cukup kumengerti.

"Kakek?" aku terkejut mendengar ucapan salah seorang anak muda yang kulihat sepertinya usianya saat ini tidak terlalu jauh di bawahku. 

Tidak ingin berlama-lama dalam situasi yang serba membingungkan ini. Aku kembali bertanya sebelum menjawab pertanyaannya barusan.

"Sekarang tahun berapa?" tanyaku pada anak muda yang memanggilku kakek barusan. 

Mataku berkeliling menatap wajah mereka satu persatu.

"Sekarang tahun 2050," jawabnya sedikit heran dengan pertanyaanku barusan. 

Aku kaget mendengar jawaban anak muda di depanku ini. Dan seperti tidak percaya aku melihat ke salah satu anak muda di sampingnya. Dia mengganggukan kepala tanda membenarkan ucapan temannya barusan.

Karena masih setengah tidak percaya dengan apa yang barusan kudengar, tanpa sadar aku memasukan tanganku ke dalam salah satu kantong celanaku, aku ingat kalau disitu ada handphone. Segera kukeluarkan, kulihat jam dan tanggal disitu.

Ternyata memang benar. Saat ini, di handphone yang setelan waktunya selalu kuseting otomatis itu saat ini menunjukkan pukul 16:00 WIB, tanggal 9 Agustus 2050.

"Kakek dari mana?" tanya anak muda di depanku itu makin penasaran. Melihat aku memegang benda yang menurutnya saat ini sudah tidak diproduksi lagi.

"Dari Indonesia," kataku sedikit terbata.

"Dari mana kek?" tanya anak muda di depanku ini seperti tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.

Kuserahkan handphone di tanganku. Di mana pada layar handphone-ku saat ini masih menyimpan salah satu foto pasangan capres 2019 dengan latar bendera merah putih di belakangnya.

"Ini foto siapa?" tanyanya seraya menunjuk foto pasangan capres-cawapres pada pemilu 2019 yang ada di layar handphone-ku itu.

"Itu adalah salah satu capres pada pemilu tahun 2019 yang lalu," kataku sambil menatapnya.

"Jadi kakek berasal dari masa lalu?" tanya anak muda di depanku ini. Tiba-tiba saja dia menangis sambil memelukku.

"Iya.." jawabku pelan.

Di ujung sana kembali terdengar suara letusan senjata api. Asap hitam membumbung tinggi di angkasa. Jika dulu aku pernah merasakan pekatnya kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang pernah terjadi pada tahun 2015.

Saat ini akupun merasakan hal yang sama. Langit tertutup kabut asap. Hanya saja, saat ini asap yang menutupi sinar matahari bukan berasal dari kebakaran hutan dan lahan. Tapi berasal dari sisa-sisa bangunan dan kendaraan yang masih terbakar akibat perang berkepanjangan.

"Lihat kek! Lihat apa yang sedang terjadi saat ini. Ini semua adalah akibat ulah para elit politik yang haus jabatan kala itu!" kata-katanya terputus oleh isak tangis yang sepertinya sudah tidak terbendung lagi.

"Kenapa generasi kakek dulu mewariskan permusuhan dan peperangan pada kami? Saat ini yang kutahu bekas negara besar itu telah menjadi 300 negara bagian yang sampai saat ini masih terus berperang antara satu dengan yang lainnya." katanya lagi.

Bersambung

Sumber; 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun