Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Tiga Pria

19 Agustus 2011   15:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:38 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_126564" align="alignleft" width="300" caption="Tiga pria (koleksi pribadi)"][/caption] Sahabat, aku ingin bercerita mengenai tiga pria. Mereka kujumpai pagi ini. Di rumah sakit. Ayah, anak, dan pamannya.

Lelaki pertama, si ayah, aku temui pertama kali tahun lalu. Dalam sebuah acara doa bersama. Dia datang bersama istrinya. Tuan rumah mengenalkannya padaku sebagai Thomas.

Badannya tegap, mengenakan topi. Menutupi kepala yang tak berhiaskan rambut lagi. Diam. Itu kesan yang aku rasakan. Sakit. Itu dugaan yang aku ajukan. Selepas acara doa aku sudah melupakan Thomas. Banyak nama baru yang datang. Sedikit yang kuingat.

Waktu berjalan seperti pelari olimpiade. Hari berganti minggu disusul bulan mengikuti derap menderap. Aku mendapat sms. Thomas masuk rumah sakit. Kanker yang pernah menyerang otaknya datang lagi. Kondisinya parah. Demikian akhir pesan yang aku baca.

Aku datang mengunjungi selepas doa. Memberikan bekal yang mungkin diterima. Istrinya berdiri memegang jemari. Ada takut dan gelisah. Ada resah dan khawatir.

Ini serangan ketiga. Demikian dia memberi keterangan. Keterangan singkat yang bermakna jelas. Serangan ketiga. Artinya, kecil kemungkinan bertahan.

Itu terjadi tahun lalu. Mungkin bulan Mei. Mungkin April. Atau Maret. Karena dekat Paskah. Aku berikan apa yang patut diberikan.

Lelaki kedua. Tidak banyak yang aku ketahui. Hari ini adalah perjumpaan ketiga. Dia supir pesawat dari negeri singa. Sepupu dari lelaki pertama. Kawan bergelut di kala sekolah. Teman yang hangat di kala berkeluarga. Anaknya tiga. Dua lelaki dan si bungsu perempuan.

Anak gadisnya lahir ketika dia sudah merangkak tua. Kebobolan. Itu kilahnya. Toh hadirnya bidadari mungil itu memberi warna hangat dalam keluarga. Dia jyga pemacu semangat terus bekerja. Tuntutan menyekolahkan. Menyiapkan bekal yang cukup untuk masa depan.

Dia pandai memijit. Pertemuan pertamaku diwarnai seringai sakit atas ulahnya membetulkan otot yang beku. Pertemuan kedua kami lewatkan di rumah makan. Menyantap nasi pecel. Menu spesial bagi kami para migran. Hari ini adalah pertemuan ketiga. Kami awalu di kedai kopi dan berlanjut ke rumah sakit. Membesuk sahabat dan saudaranya. Aku menyebut dia Benny. Karibku memanggilnya Bentol.

Lelaki ketiga bernama Han. Lengkapnya Johanes Tan. Putera kedua Thomas. Akhir-akhir ini aku kerap melihatnya. Menjaga ayahnya penuh cinta.

Pertemuan pertama terjadi sebulan yang lalu. Hanya sekelebat. Ketika ada doa di rumahnya dan dia pulang kuliah. Pendiam. Itu kesan yang aku tangkap. Mungkin sedih karena ayahnya sakit.

Pertemuan kedua terjadi di rumah sakit. Aku membesuk bapaknya yang kembali masuk rumah sakit. Pertemuan kedua dengan Han menandai pengalaman-pengalaman iman yang aku jumpai dalam diri keluarga tersebut.

Sahabat, tadi aku bercerita bahwa tahun lalu aku bertemu dengan Thomas yang terkena serangan kanker, kali ketiga. Kondisibya lemah. Dokter tidak bisa berbuat banyak. Kemoterapi hanya bisa dilakukan kalau badannya kuat. Jumlahnyapun menyesuaikan keadaan. Dokter tidak bisa memberi kepastian.

Bulan demi bulan berlalu. Thomas sehat kembali. Sesuatu yang mencengangkan kami. Ia kembali beraktivitas. Berjalan-jalan dan ikut kegiatan doa lagi. Bahkan bulan Mei kemarin sempat pulang ke Indonesia. Mengunjungi ibunya yang juga sakit.

Sampai berita itu datang. Thomas masuk rumah sakit lagi. Serangan keempat. Kami mendengar dia masuk rumah sakit setelah dia dirawat di sana dua setengah minggu.

Itulah pertama kali aku bertemu dengan Han. Itulah saat aku mengatakan kalau dia pendiam. Hari itu hari Minggu. Aku dan beberapa teman membesuknya sepulang Gereja. Kami berdoa bersama. Kami menyatukan hati menyeru Yang Ilahi. Sehabis berdoa istri Thomas nengisahkan bahwa telah tumbuh tumor baru. Kami menarik nafas bersama. Hening.

Keesokan harinya dokter memberi vonis. Usia Thomas tinggal 3 atau 4 hari. Paling lama seminggu. Itu benar-benar berita yang menyesakkan.

Dokter memberi dua pilihan. Memberinya kualitas hidup yang baik di sisa hidupnya. Atau berusaha menjaga hidupnya sepanjang mungkin yang bisa dilakukan. Keluarga memilih pilihan pertama.

Seluruh keluarga diberitahu kondisinya. Adik-adiknya diharapkan supaya bisa datang. Dan di situlah saya baru mengerti mengapa Benny si lelaki kedua dipanggil Bentol. Ia suka membanyol. Jangan biarkan Thomas pergi sebelum aku menjenguknya. Demikian pesan singkatnya waktu mendengar kabar sahabatnya tinggal menunggu giliran. Ia supir pesawat. Tidak bisa seenaknya pergi. Tapi ia tidak menyerah. Ia cari berbagai cara agar ia memperoleh jadwal ke Melbourne. Akhirnya ia dapatkan. Meski memutar dahulu ke Auckland.

Vonis dokter merupakan pukulan berat bagi anak-anaknya. Mereka baru merasakan makna kebersamaan. Makna akan ditinggalkan. Tak henti Han genggam jemari bapaknya. Ia ciumi. Air mata menetes.

Hari tidak lama lagi. Kesempatan yang ada digunakan sebaik mungkin untuk bersama. Segala pengobatan telah dihentikan. Hanya cinta terus dicurahkan  dan doa kian kencang dihaturkan. Peran manusia dikesampaingkan. Memberi jalan yang Mahamendengar melaksanakan kehendak-Nya yang selalu baik.

Pagi ini, ketika aku duduk di sisi ranjang memandang tiga lelaki itu. Thomas, Han, dan Benny. Masing-masing bergelut dengan rasa. Masing-masing berputar dengan hasrat. Siapa yang lebih dulu berani melepaskan asa?

Sejatinya hitungan manusia sudah kalah. Kekuasaan Allah memang tak terbantah. Manusia bisa bertitah. Tetapi Dia selalu melihat celah.

Hari ini sudah yang ke duapuluh tujuh semenjak dokter memberikan vonis. Memang sempat ada tangis. Namun semangat tak pernah mengempis. Biarlah walau dikatakan mengemis. Tetapi kami sadar bersama Tuhan kami pantang pesimis.

Sahabat, sejatinya Thomas selalu berkata ingin pulang. Mendengarnya kami kerap sedih. Karena kami tahu rumah yang hendak ditujunya. Kami tidak berani berharap banyak bahwa pulang yang dia katakan adalah kembali ke pondikan. Kami lebih khawatir bahwa dia ingin pulang ke tempat kediaman abadi. Rumah abadi bersama Sang Khalik.

Hari ini, melihat tiga priaini, yang terpaku dengan rancangan yang Mahatinggi, aku diteguhkan kembali. Dia sungguh punya rencana. Yang mengatasi segala yang bisa aku pikirkan. Hanya iman saja yang mampu. Hanya doa saja yang akhirnya bisa menyeru.

Jadilah kehendak-Mu. Di atas bumi ini seperti di dalam surga.

(Untuk Thomas, semoga engkau tenang menghadapi semuanya)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun