Menulis apa hari ini?
Pertanyaan itu saya tanyakan ke diri sendiri ketika akhirnya mengakses kembali akun Kompasiana setelah terakhir publikasi artikel lima tahun lalu. Ya! Lima tahun tidak menulis di Kompasiana. Dorongan untuk menulis lagi muncul begitu saja dari hati, di bulan Juli 2025.
Tentu bukan tanpa sebab, tapi saya tidak sedang membahas asal muasal kenapa punya dorongan besar menulis lagi. Akan sangat panjang ceritanya lebih asik kalau dibahas sambil ngopi dan tatap muka di BBJ barangkali?Â
Jadi teringat janji jumpa dengan rekan kerja sewaktu jadi pewarta yang sekarang ternyata bertugas menggawangi Kompasiana. Kopdar lebih seru kalau membahas "Strong Why"-nya. Saya justru ingin menuliskan tentang dorongan menulis itu sendiri yang menjadi kebutuhan tiada akhir kalau menurut saya.
Jadi mari, menulis lagi. "Menulislah, enggak usah mikirin pola macem-macem." kata pasangan jiwa saya yang ada di foto pembuka artikel ini, Kompasianer yang juga kadang-kadang menulis di platform blog keroyokan ini selain di blog pribadinya. Dia mengomentari saya yang kadang terlalu ingin serba terencana memulai apa pun.
Tentang apa? Tetap saja saya bertanya, oke mulai menulis, tapi apa yang mau disampaikan? Apalagi saya sedang memulai kembali menjajaki langkah baru sebagai penulis buku fiksi reflektif yang sejujurnya masih dalam tahapan outline.Â
Saya yang baru, New Me! yang sedang menjajal konten medsos faceless dan membangun reputasi sebagai Wardah Faz. Saya mau menulis apa?
Rabu, 23 Juli 2025 saya awali tulisan usai menyelesaikan pekerjaan sisa project management CSR pelatihan literasi digital untuk disabilitas. Recall memory menjadi cara memulainya.Â
Sebelum mulai mengetikkan kata demi kata, lalu kata menjadi kalimat, kemudian kumpulan kalimat menjadi paragraf, dan tak terasa mengalir saja tulisan ditemani secangkir kopi hangat, dengan latar suara orang-orang mengaji di lebih dari satu masjid sekeliling hunian. Memori apa yang saya bongkar kembali? Hirarki menulis.
Saya ingat pada masanya, saat masih mengisi materi kepenulisan sepuluh tahun lalu, ada satu materi dari mentor Kompasiana mengenai piramida menulis. Sejujurnya saya agak lupa detilnya tapi paham maksudnya. Memori inilah yang kemudian membawa saya para proses menulis didahului riset kecil-kecilan.
Temuannya, bersumber dari situs psikologi tentang Hirarki Kebutuhan Maslow. Saya kutip, Hirarki Kebutuhan Maslow adalah teori motivasi dalam psikologi yang dikemukakan oleh Abraham Maslow.Â
Dulu model lima tahap kebutuhan, yang menurut saya bisa diterapkan di konteks kepenulisan, berkembang menjadi tujuh bahkan delapan tahapan. Maslow sudah memikirkan motivasi kebutuhan sejak tahun 1960 sampai dengan 1970 sebenarnya.
Apa hubungannya "strong why" menulis dengan Model Delapan Tahap Kebutuhan Maslow? Adaptasinya memang dari teori ini untuk mengukur kita menulis ada di tahapan mana?Â
Memori otak saya merekam kebutuhan menulis itu seperti piramida. Paling bawah adalah menulis karena kebutuhan pekerjaan atau penghasilan atau berorientasi materi karena ada kebutuhan pemenuhan kebutuhan material. Kalau dalam model Maslow, ini tahapan kebutuhan fisiologis.
Saya pernah menulis pada tahapan ini sejak 2003 sampai dengan 2015. Sesuai dengan pemikiran Maslow, kebutuhannya adalah pemenuhan ekonomi karena saya menulis mulai magang sampai dengan karyawan tetap sebagai jurnalis yang bekerja menulis untuk korporasi media.Â
Perkara di balik kebutuhan penghasilan dari menulis ada semangat dan motivasi kuat karena hobi atau passion menulis, itu yang menambah daya juang bertahannya.Â
Namun jelas, menulis utamanya karena dibayar atau digaji untuk menulis. Maka target tulisan dengan jumlah tertentu dengan deadline pekerjaan yang tiada akhir, sudah menjadi risiko dan konsekuensi pilihan menulis pada tahap ini.Â
Paling puncak adalah target tulisan di media online, 10 artikel per hari termasuk dengan menghadiri peliputan peristiwa di berbagai lokasi, wawancara, riset sampai menulis terjemahan. Tahap menulis paling bawah dalam piramida menulis sudah saya lewati di masa muda jaya penuh membara itu.
Lalu saat ini di usia 40 plus, menulis pada tahapan apa? Retrospektif, saya gali  lagi diri ke belakang bukan untuk mengenang drama dan romantismenya tapi pembelajaran.  Saya yakini, tahapan kebutuhan model Maslow yang diadaptasi dalam konteks menulis, sudah enam tahapan terlewati dengan berbagai prosesnya dalam 20 tahun. Kini, saya di fase tahapan ke tujuh dan menuju delapan.
Menulis untuk Aktualisasi Diri
Tahap menulis untuk aktualisasi diri mewujudkan potensi diri, pertumbuhan pribadi dan pengalaman puncak. Bukan disengaja, tapi begitu saya buka kembali akses akun Kompasiana, profil awal tertulis tentang impian menulis buku sendiri.Â
Saat menuliskan profil akun Kompasiana, saya sadar betul tujuan saya menulis pada akhirnya menerbitkan buku  sendiri bukan buku pesanan individu/lembaga, ghost writer, buku project yang semuanya sudah saya lakukan.Â
Buku sendiri, pemikiran dan pengalaman sendiri, adalah impian yang sedang berusaha saya wujudkan di 2025. Maka menulis lagi di Kompasiana menjadi bagian dari proses aktualisasi diri itu. Tahapan ini sudah saya ketahui sejak 10 tahun lalu memahami ilmu piramida menulis, tapi baru benar-benar saya pahami saat menjalaninya, sekarang.
Lalu tahapan delapan? Ini jauh lebih tinggi dan rasanya saya belum sampai pada tahap itu sepenuhnya meski menuju ke sana. Akun medsos faceless saya buat tahun ini lebih fokus pada konten pengingat diri dan dakwah sebagai bagian proses hijrah batin pribadi.Â
Namun ilmu saya masih minim untuk bisa menjalankan tahap delapan, menulis untuk kebutuhan transendensi yakni mengutip Maslow, adalah kebutuhan yang mewakili hasrat manusia untuk terhubung dengan realitas, tujuan, atau alam semesta yang lebih tinggi.
Apa saja tahapan menulis setelah kebutuhan fisiologis, sebelum kebutuhan aktualisasi diri dan transedental? Ini saya salin kutipan model hirarki kebutuhan Maslow yang relevan dengan konteks kebutuhan menulis.
Implementasi tahap ke-2 sampai dengan ke-6 dalam konteks fase dan pengalaman menulis saya di antaranya:
Kebutuhan rasa aman bagi saya penguatan dari tahap awal menulis untuk pekerjaan atau penghasilan. Setiap orang akan memiliki pengalaman berbeda sesuai kebutuhan dan pekerjaannya tentu.Â
Kalau bagi saya mantan pewarta media, rasa aman didapatkan dengan menjaga karir menulis dengan segala daya dan kreativitas. Kemudian berkembang dengan kepenulisan di sektor lain seperti penerbitan buku, pelaporan tahunan lembaga/perusahaan, penerbitan newsletter event internasional.Â
Ini saya yang memang dibayar untuk bekerja menulis. Lain lagi dosen misalnya atau mahasiswa, pekerjaan utamanya di lingkungan akademik, kemudian menulis untuk memenuhi kebutuhan keamanannya di bidang akademik dengan menulis dan posting di Kompasiana misalnya.Â
Menurut saya siapa pun Anda dan pekerjaan yang beragam rupa, menulis pada fase ini akan memberikan cerita dalam perspektif lain yang pastinya berbeda pengalamannya.
Kebutuhan untuk penerimaan/rasa memiliki, fase ini saya dapati sejak membangun Komunitas Bloggercrony Indonesia. Impian menjadi blogger yang saya simpan sejak 2006 saat masih menjadi wartawan ekonomi, menemukan jalannya. Menulis dan membangun blog pribadi sekaligus membangun ekosistem komunitas penulis blog.Â
Kepemilikan dan penerimaan dalam ekosistem blogger profesional dengan segala dinamikanya berproses sepuluh tahun. Ini fase unik yang tak disangka membawa begitu banyak pengalaman tak terduga dan menumbuhkan mindset bahkan skill set sebagai penulis media blog personal.Â
Ketika Anda menulis dalam sekelompok perkumpulan hobi dan mendapatkan apresiasi, penerimaan, bahkan cinta, bisa jadi Anda dalam fase kebutuhan menulis ini apapun platform menulis dan komunitasnya.
Kebutuhan penghargaan dalam fase menulis saya dapati utamanya pada tahun 2014 ketika mendapat apresiasi dari Kementerian Kesehatan RI untuk kategori media online. Di luar itu, mengikutsertakan tulisan dalam berbagai perlombaan menulis menjadi tahapan menulis yang rasanya banyak dijalankan blogger di fase ini.Â
Membangun reputasi menjadi tujuan utamanya. Kalau dalam konteks lain misal akademisi, menulis jurnal internasional dan terpublikasi menjadi salah satu bentuk pencapaiannya. Lain lagi penulis buku atau novel yang kemudian dijadikan naskah film layar lebar, menjadi bentuk pencapaian dan apresiasi lainnya yang dapat meningkatkan reputasi  si penulis.Â
Fase kebutuhan menulis ini kalau menurut saya banyak dilakukan penulis yang membangun personal branding melalui web blog pribadi atau platform lainnya, yang menekankan pada reputasi diri.
Kebutuhan kognitif dalam konteks fase menulis saya dapati dari menulis thesis untuk kelulusan magister ilmu komunikasi.Fase menulis ini memerlukan fokus bidang tertentu yang digeluti penulis dan menghasilkan karya tulisan dari ilmu yang dipelajarinya. Kuncinya adalah pencarian atas ilmu dan pemahaman, kemudian menghasilkan tulisan darinya.Â
Menulis skripsi bisa jadi salah satunya kalau dalam pandangan saya, atau menulis karya ilmiah/hasil riset yang menjadi hasil dari pencarian ilmu si penulis.
Kebutuhan estetik dalam pandangan saya di bidang kepenulisan, untuk pengalaman pribadi, saya dapati dari Zines. Meski belum sempat publikasi, saya menemukan tahapan menulisuntuk kebutuhan estetik ini dari bidang seni Zines. Belajar bersama seniman Bandung teh Ima, saya mengenal Zines dan mulai merancang konsep penerbitan karya seni dan tulisan.Â
Ekosistem Zines di Jakarta dan Bandung pun meriah. Sayangnya, tahapan ini belum saya tuntaskan meski sudah pernah dimulai. Prinsipnya tahapan menulis untuk kebutuhan estetik mengandung unsur seni, musik, bentuk ekspresi estetika lainnya. Menulis skenario atau menulis lirik, menurut saya bisa menjadi manifestasinya.
Pada akhirnya, setiap orang dapat merumuskan sendiri fase, kebutuhan dan motivasi menulisnya sampai di mana dan mau ke mana. Pastinya, tugas utama diri adalah memelihara hasrat menulis tetap menyala. Menulislah, dan biarlah  tulisan-tulisan itu mengalir menjadi warisan ilmu meski sedikit tapi imani akan menemukan penerima manfaatnya.
Jadi, menulis apa besok?
- Wardah Faz -
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI