Membahagiakan anak adalah misi penting sebagai orang tua. Jika anak punya keinginan, kita tentu berusaha memenuhinya. Tapi, apakah semua keinginan harus dipenuhi?
***
Di suatu sore aku dan anak potong rambut didampingi oleh istri. Hampir dua bulan aku tidak potong rambut, rasanya kulit kepala gatal, dan rambut jadi berantakan.
Kami pangkas di tempat langganan, hanya lima menit jauhnya dari rumah. Setiap kali diajak potong, biasanya anakku girang. Bukan karena rambutnya akan menjadi lebih rapi, tapi karena disuguhi video di Youtube--syarat agar ia mau tenang saat dipangkas rambutnya. (Inilah dilema menjadi orang tua dari gen-A)
Namun, beberapa hari sebelumnya anak kami ogah diajak potong rambut. "Nanti kepalaku geli," katanya. Beberapa waktu ini dia mengaku geli setiap clipper menyentuh kulit kepalanya.
Di sela-sela bermain, aku mengatakan akan mengajak anak untuk potong rambut. Tidak langsung keluar "Ya" dari mulutnya, tapi akhirnya mau juga. Hebatnya---ini yang kami syukuri---untuk pertama kalinya anak kami mau duduk di kursi yang diganjal busa. Tak lagi aku pangku seperti sebelumnya. Apalagi badannya sudah makin besar, sudah hampir menghalangi wajahku.
Itu adalah progres kecil yang patut kami syukuri. Keren! Anak kami bisa mengalahkan rasa takutnya pada "geli" saat rambutnya dipotong, dengan duduk sendiri di kursi.
Sejatinya, pikiran anak bisa dialihkan kepada video yang ditonton, bukan pada perasaan takut atau geli akibat gesekan clipper.
Drama justru terjadi saat kami hendak pulang. Namanya juga balita, kalau penuh drama yah... biasa. Aturannya, selesai rambutnya dipangkas, ya selesai nontonnya. Tapi dia tidak mau melepaskan HP-ku. Inginnya menonton terus.
Aku: "Berhenti. Sekarang." Cukup dua kata. Tidak ada interupsi. Nampak kejam ya...? Sempat merengek, anakku bisa dialihkan pada hal-hal lain yang ditemukan dalam perjalanan pulang. Bulan yang sudah nampak meski langit masih terang, misalnya.