Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keputusan Childfree Lebih Menyusahkan daripada Mengurus Anak

16 Februari 2023   14:33 Diperbarui: 16 Februari 2023   14:38 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jangan takut punya anak | foto: pinterest.com/Paula Rady

Childfree merupakan keputusan tiap pasangan (suami-istri) untuk tidak memiliki anak. Meski begitu, kalau keputusan ini didasari alasan-alasan dangkal seperti agar awet muda, menganggap anak adalah beban, apalagi ketakutan tidak bisa menjadi orang tua yang baik; tidak bisa dibiarkan.

Seperti 'dikampanyekan' Youtuber Gita Savitri, di usia 30 tahun ia tetap awet muda karena tidak memiliki anak. Alasannya, supaya tetap awet muda, padahal ada pengalaman sang ibu yang membuatnya menjadi narsistik. Karakter ini menurun pada Gita, ikut narsistik.

Untuk lebih jelasnya, kenapa Gita dan suami memutuskan untuk childfree? Karena ia ingin hidup untuk diri sendiri (dengan suami). Hidup berdua sudah enak dan cukup.

Aku dan istri menjadi orang tua bagi satu anak laki-laki berusia 16 bulan. Seperti dialami pasangan lain yang memiliki anak, mengasuh anak itu susah. Bikin capek, stres, dan cepat tua. (Aku bahkan sudah ubanan sejak sebelum menikah.) Apalagi kalau tidak ada helper.

Meski susah, childfree bukanlah pilihan kami. Sebab, jika pilihan childfree dilakukan lebih banyak pasangan muda akan membuat hidup lebih susah. Apa maksudnya?

Menikah adalah panggilan umum bagi manusia agar menghasilkan keturunan (memiliki anak). Anak-anak ini nantinya yang akan menguasai (baca: mengelola) bumi dan segala isinya. Bagaimana kalau anak-anak ini nantinya malah merusak bumi? Makanya harus dididik dengan benar!

Ada pasangan yang mendapat panggilan khusus, tidak memiliki anak meski sudah menikah bertahun-tahun. Beragam doa dan usaha juga sudah ditempuh, namun tidak berhasil. Ada juga yang punya anak, tapi berkebutuhan khusus. Ini kondisi khusus, tidak ditentukan oleh kehendak manusia.

Kalangan yang memilih childfree seolah melawan takdir. Atau katakanlah, menghindari tanggung jawab. Mereka memilih tidak memiliki anak yang dianggap beban, yang bisa membuat cepat tua.

Jika makin banyak pasangan memutuskan childfree, maka tingkat kelahiran akan berkurang tajam. Anggaplah usia hidup manusia adalah 70 tahun. Rata-rata orang menikah pada usia 30, maka dalam kurun 40 tahun ke depan tidak ada kelahiran. Jika ada bencana besar dalam empat dekade ini yang menyebabkan kematian massal, maka suatu generasi terancam punah karena tidak ada keturunannya. Ngeri, bukan?

Sebelum ramai tren childfree terdapat 14 provinsi di Indonesia yang mengalami kemandegan fertilitas pada 2000-2010. DKI Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur bahkan memiliki tingkat kelahiran penduduk di bawah pergantian penduduk 2,1% anak perempuan, masing-masing 1,81%, 1,94% dan 2%. Hal ini harus disiasati jika kita tidak ingin pada 2065-2070 Indonesia mengalami penurunan populasi seperti Cina dan Singapura.

Mengutip data dari kompas.com, survei penduduk tahun 2020, jumlah penduduk milenial (25-39 tahun) adalah 64,839,755 jiwa. Jumlah ini cukup besar, yakni hampir 25% dari total penduduk Indonesia (total 270.203.917 jiwa). Bisa dibayangkan bagaimana nasib Indonesia jika kelompok usia ini berpikiran konyol seperti Gita Savitri.

Tak sebanding dengan kesusahan mengurus anak, berikut kesusahan di depan mata jika banyak pasangan memilih childfree.

  • Pengurangan konsumen

Anak bayi adalah kelompok usia yang mengonsumsi barang-barang. Seperti popok, pakaian ganti, sepatu dan asesori, susu formula, minyak telon, stroller, push walker dan lain-lain (Sampai hapal ya, Pak?). Jika tidak ada kelahiran, sontak konsumen barang-barang ini berkurang.

  • Pengangguran meningkat

Jika konsumen barang-barang tadi anjlok, otomatis timbul banyak pengangguran. Para pekerja pabrik, para pelayan toko, penyewa mainan anak, juga para baby sitter. Mereka akan kehilangan pekerjaan, muncul pengangguran di banyak tempat.

Jangan lupa, di usia KB-TK anak bayi ini menjadi penghuni sekolah. Jika tidak ada kelahiran, maka tidak ada murid baru. Guru-gurunya mau mengajar siapa? Mereka juga bakal menganggur.

  • Kekurangan penerus bangsa

Lebih mengerikan, jika banyak pasangan memutuskan childfree, siapa yang akan meneruskan perjuangan mengisi kemerdekaan Indonesia? Siapa nantinya yang akan menggarap IKN di Kalimantan Timur yang sudah dibukakan jalannya oleh Presiden Jokowi? Sebab Pak Prabowo dan rekan sebayanya tidak mungkin mengemban tugas tersebut.

Ingat kutipan Bung Karno, sepuluh anak muda lebih berpengaruh daripada 1.000 orang tua. Pilihan childfree tidak akan memberikan satu pun pemuda. Yang tersisa adalah jutaan orang tua yang kurang produktif, suka mencari perhatian, baperan dan sakit-sakitan.

***

Childfree tidak cocok diterapkan di Indonesia, sedang masih banyak PR melalui jalan berliku yang harus dikerjakan agar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa terwujud.

Wahai generasi muda, janganlah bermental stroberi! Jadilah generasi yang menghasilkan keturunan unggul, demi Indonesia yang maju! Jangan memilih childfree! --KRAISWAN 

Referensi: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun