Pancasila bukan semata-mata dasar negara, melainkan merupakan fondasi ideologis yang tumbuh dari pergulatan historis dan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan. Sejak pertama kali dirumuskan oleh Ir. Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, Pancasila telah mengalami dinamika pemaknaan dan tangtangan implementasi yang mencerminkan arus perkembangan sejarah bangsa Indonesia itu sendiri.
Dalam pidato monumental pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno memperkenalkan lima prinsip dasar yang kemudian dikenal sebagai Pancasila. Prinsip-prinsip tersebut tidak lahir dari kekosongan historis, melainkan merupakan hasil refleksi mendalam terhadap realitas kemajemukan bangsa Indonesia serta kebutuhan akan konsesus nasional yang dapat merekatkan seluruh elemen bangsa.Â
Soekarno menyebut Pancasila sebagai philosophice grondslag---Â suatu dasar filsafat negara--- yang diharapkkan menjadi fondasi normatif dan moral bagi negara yang hendak dibentuk. Nilai-nilai seperti kebersamaan, gotong royong, nasionalisme, dan keadilan sosial menjadi inti dari gagasan tersebut, yang ditawarkan sebagai jalan tengah (modus vivendi) dalam menghadapi heterogenitas masyarakat Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Pancasila secara resmi termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, dalam periode awal pascakemerdekaan, Indonesia menghadapi berbagai gejolak politik dan m]pemberontakan ideologis yang mengancam eksistensi Pancasila, antara lain melalui gerakan separatis dan ideologis seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan partai komunis Indonesia (PKI). Konteks ini menunjukkan bahwa Pancasila, sejak awal, telah menjadi medan kontestasi ideologis. Negara dipaksa untuk mengambil sikap tegas demi menjaga keberlangsungan ideologi Pancasila sebagai perekat nasional, terutama pasca tragedi G30S/PKI tahun 1965 yang secara drastis mengubah konstelasi politik dan ideologis nasional.
Pada masa Orde Baru, Pancasila mengalami institusionalis secara intesif melalui kebijakan asas tunggal yang diberlakukan kepada seluruh organisasi kemasyarakatan dan partai politik. Upaya ini dimaksudkan untuk meneguhkan posisi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara, sekaligus sebagai landasan etis kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, pendekatan yang dilakukan bersifat top-down, represif, dan cenderung indoktrinatif. Pancasila tereduksi menjadi doktrin formal yang kehilangan vitalitas kritisnya dalam ruang publik. Alih-alih menjadi alat pemberdayaan rakyat, Pancasila justru berfungsi sebagai legitimasi politik penguasa.
Reformasi 1998 membuka babak baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Liberisasi politik dan kebebasan berekspresi menjadi dua elemen utama dalam fase ini, yang turut berdampak pada posisi Pancasila. Wacana ideologi negara kembali menjadi ruang diskursus yang dinamis, namun sekaligus menghadapi fragmentasi nilai di tengah masyarakat. Sebagai respons terhadap potensi disorientasi ideologis, Pemerintah memberikan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang kemudian bertransformasi menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Institusi ini bertujuan untuk memperkuat internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sosial-politik, khususnya di kalangan generasi muda.
Dalam era globalisasi revolusi digital, Pancasila kembali diuji dalam konteks yang berbeda. Disrupsi teknologi informasi, arus post-truth, dan polarisasi sosial di media digital mengancam integrasi nasional. Isu toleransi, radikalisme, dan komodifikasi politik identitas semakin menunjukkan urgensi revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam praktik kebangsaan.Â
Meskipun demikian, Pancasila tetap memegang peran sebagai jangkar ideologi bangsa. Ia bukan hanya sekadar dokumen historis, tetapi sistem nilai yang harus terus diinterpretasi ulang dan diwujudkan dalam kebijakan publik, kurikulim pendidikan, dan praksis sosial yang konkret. Keberlanjutan ideologis Pancasila sangat bergantung pada keseriusan kolektif baik dari negara maupun masyarakat--- dalam menjaga relevansi dan keberlakuannya secara kontekstual. Dalam hal ini, Pancasila bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dihidupi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI