Mohon tunggu...
Walentina Waluyanti
Walentina Waluyanti Mohon Tunggu... Penulis - Menulis dan berani mempertanggungjawabkan tulisan adalah kehormatan.

Penulis. Bermukim di Belanda. Website: Walentina Waluyanti ~~~~ Email: walentina.waluyanti@upcmail.nl ~~~ Youtube channel: Kiki's Mom

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menulis Setiap Hari, Mengapa Tulisan Tak Berkembang?

2 Desember 2021   05:29 Diperbarui: 3 Desember 2021   02:23 1904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis | Sumber: Pexels/Tirachard Kumtanom

Penulis: Walentina Waluyanti

Menulis saja sudah sulit. Apalagi menulis setiap hari. Orang yang paham sulitnya menulis, tidak akan mudah mengucapkan, "Menulis tiap hari, tulisannya kok begitu-begitu saja!"

Kalaupun kalimat di atas diucapkan, tentu ada konteksnya. Paman saya mantan wartawan. Dari muda sampai tua, sudah pensiun, ia terus menulis. Setelah pensiun, setiap hari ia keasyikan menulis di blognya.

Tapi meskipun sudah menulis setiap hari dari muda sampai tua, ia malah diledek saudaranya, "Sudah menulis setiap hari seumur hidup, tulisannya kok begitu-begitu saja sih?"

Ledekan ini secara tersirat bisa berarti, "Sesuatu yang dilakukan setiap hari bukankah seharusnya membuat seseorang semakin mumpuni?'

Paman saya membela diri sekenanya, "Masih mending saya, daripada kalian. Cuma bisa ngomong. Coba kalian nulis setiap hari. Iso opo ora?

Menulis, Pelajaran Seumur Hidup Tanpa Henti

Orang cenderung berekspektasi tinggi terhadap penulis yang sudah berpengalaman, produktif, menulis setiap hari, apalagi kalau sudah memasuki usia "senior".

Tetapi zaman sudah berubah. Faktor usia tidak selalu seiring sejalan dengan keterampilan menulis. 

Kita tahu, banyak penulis berusia muda, kemampuan menulisnya sangat mengagumkan, dengan kematangan yang bahkan bisa saja melebihi penulis sepuh.

Kalau orang yang sudah berpengalaman menulis seperti paman saya, setiap hari menulis, tulisannya masih dikomentari "begitu-begitu saja"... bagaimana jadinya tulisan-tulisan saya yang ditulis sesekali saja? Tanpa latihan terus-menerus, bisa-bisa garing kerontang bak empang kering.

Umumnya penulis sudah membaca berbagai teori bagaimana membangun tulisan. Bagaimana membuat tulisan yang kuat mulai dari lepas landas hingga menukik aman saat menyentuh landasan.

Tetapi teori tetaplah teori yang tak berguna, tanpa latihan terus-menerus dengan jam terbang tinggi. Pada akhirnya menulis memang adalah pelajaran seumur hidup tanpa henti.

Berbagi Manfaat Saja, Belum Cukup bagi Banyak Penulis

Menulis, yang di mata orang lain terlihat begitu-begitu saja, bisa saja menjadi tulisan yang sangat bermanfaat bagi yang lainnya. 

Menulis tips, bagaimana memberi pupuk kotoran kambing pada bunga anggrek... siapa yang bisa menyangkal manfaat tulisan ini?

Begitu juga menulis pengalaman hidup, tentu bisa saja memberi manfaat bagi orang lain. Selalu ada sesuatu yang bisa diambil dari pengalaman hidup orang lain. Tentu tidak berarti orang yang miskin pengalaman hidup, tidak bisa menjadi penulis handal.

Tetapi penulis biasanya tak pernah puas. Hanya memberi manfaat saja, dirasanya belumlah cukup. 

Banyak penulis menganggap menulis juga adalah seni. Banyak nuansa-nuansa tak berwujud yang ingin dikejarnya. Entah itu yang bernama greget tulisan, pengungkapan emosi, geliat rasa... dst, yang dianggap sebagai seni menulis, dan terus berusaha diekspresikan oleh banyak penulis.

Menulis, seberapa pun kecilnya, bisa juga bermanfaat bagi penulisnya sendiri. Entah itu memberi kepuasan batin, atau menikmatinya sebagai keindahan seni.

Apalagi menulis setiap hari, ini bisa membantu orang menjaga konsistensi menulis. Sehingga si penulis tak lagi mengalami kesulitan dalam soal memulai kegiatan menulis.

Jangan lupa, hanya memulai menulis, ini saja bukan soal mudah. Dalam hal ini, orang yang menulis setiap hari, setidaknya sudah mengalahkan kesulitan itu. Secara pribadi, saya harus angkat topi untuk hal ini.

Ilustrasi menulis | Sumber foto: Volkskrant
Ilustrasi menulis | Sumber foto: Volkskrant

Ada juga yang susah payah mengejar kualitas. Soal kualitas ini, kadang bisa relatif sifatnya. Sebuah tulisan yang di mata seseorang disebut berkualitas, belum tentu berkualitas di mata orang lain.

Bisa terjadi karena terlalu fokus pada soal kualitas, penulis bisa menjadi tidak produktif dalam menghasilkan tulisan. Karena merasa lebih baik tidak menulis, daripada menulis tapi tidak berkualitas. Akibatnya, sudah tidak produktif... ditambah lagi maksud si penulis untuk menggapai kualitas, belum tentu bisa tercapai. Ini karena sifat relativitas dari kualitas itu sendiri.

Ada juga penulis hebat yang mampu menyandingkan keduanya. Bisa setiap hari menulis dan bisa memberi bobot pada tulisannya itu. Ini namanya penulis sakti mandraguna.

Tidak banyak orang bisa menjadi penulis sakti mandraguna. Setiap hari menulis, dan tetap menghasilkan tulisan berbobot. Penulis-penulis semacam ini sudah pasti mengagumkan.

Tetapi untuk dapat menjadi penulis, orang tidak harus menjadi sakti mandraguna. Setiap orang mempunyai cara, derap dan ritme masing-masing dalam menjaga konsistensi dalam menulis.

Cara yang cocok dilakukan oleh seseorang, belum tentu cocok buat orang lain. Suatu genre yang diolah apik oleh penulis lain, belum tentu bisa menjadi menarik, jika genre itu diolah oleh saya.

Menulis Setiap Hari atau Sesekali, Proses Kreatif Tetap Berjalan

Tetapi satu hal yang pasti. Sekali orang memutuskan menjadi penulis, harus ada komitmen untuk terus memelihara daya rangsang untuk tetap menulis.

Kita punya lima indra yang bisa dimanfaatkan untuk menimba sumur inspirasi yang tak ada habisnya. Dengan kelima indra itu  kita bisa membangun daya observasi, daya imajinasi, daya rangsang untuk bisa tetap berkreasi menulis. Masing-masing penulis punya cara dan iramanya sendiri.

Untuk membangun daya observasi, saya perlu membaca atau melihat sekeliling. Untuk membangun daya imajinasi, kadang-kadang saya perlu mengendapkan pikiran dan renungan.

Penulis perlu rendah hati. Tak perlu malu mengakui bahwa ia menggunakan referensi untuk melegitimasi pertanggungjawaban tulisan itu.

Menggunakan opini sendiri, pengalaman sendiri juga bisa menjadi sumber referensi, karena memang itu sudah cukup untuk jenis tulisan tertentu. Bukan karena pongah menunjukkan kehebatan, "Lihat, saya tidak perlu referensi untuk bisa menulis!"

Apa yang saya baca dan saya lihat, tidak dimaksudkan untuk disalin begitu saja ke dalam tulisan. Sumber-sumber yang saya baca dan saya lihat, hanyalah penyangga bagi endapan pikiran.  

Dan untuk membangun daya rangsang agar menulis tetap asyik, kadang-kadang saya perlu jeda. Adanya jeda, membantu saya membuat jarak dengan tulisan, agar tidak menjadi terlalu obsesif dengan satu permasalahan. Saya tidak akan memaksa diri menulis kalau memang tidak ingin menulis.

Disiplin dalam menjaga konsistensi menulis itu perlu. Tapi disiplin dalam menulis tidak sama dengan memaksa diri untuk menulis.

Lain halnya menulis karena profesi. Mau tidak mau, harus memaksa diri menulis, karena memang dibayar untuk itu. Di luar itu, bagi yang gemar menulis, umumnya mereka menulis, karena menulis memberi efek membahagiakan.

Menulis setiap hari kalau bisa membahagiakan, mengapa tidak? Tapi kalau tidak bisa, saya tidak merasa perlu memaksa diri. Memaksa diri saat sedang tidak ingin menulis, hanya membuat tulisan saya semakin buruk.

Sama saja, saya tidak akan memaksa diri mendentingkan snar gitar kalau sedang tidak ingin bermain gitar. Agar irama yang terdengar bukan irama cabikan gitar orang iseng.

Setelah jeda, ketika kembali lagi untuk menulis, pikiran saya sudah segar. Satu permasalahan yang tadinya begitu obsesif menempel di kepala, sudah bisa saya lihat dengan lebih jernih dari sudut pandang berbeda. Saya juga bisa menjadi lebih kritis dalam mengkritik tulisan saya sendiri.

Menetapkan Arah dan Tujuan

Cara apapun yang dilakukan seseorang dalam menulis, tentu harus disertai tujuan. Ingin produktif menulis setiap hari, ini saja sudah tujuan. Ingin menjadi saksi dari satu zaman melalui tulisan, ini sudah tujuan.

Ingin berbagi pengalaman melalui tulisan... ingin menulis karena menulis itu membahagiakan.... dst. Bahkan ingin dikenal sebagai penulis ternama, ini adalah tujuan yang sah-sah saja.

Tanpa menetapkan arah dan tujuan, seseorang akan sangat mudah kehabisan ide dan tidak tertarik lagi untuk menulis.

Dengan arah dan tujuan yang jelas, serta bisa menjadikan menulis sebagai kegiatan membahagiakan tanpa memaksa diri... ini artinya seseorang sudah menciptakan koneksi dengan dunia tulis-menulis. 

Dan kalau koneksi itu sudah tercipta, seorang penulis akan bisa menemukan jalan untuk membuat keterampilan menulisnya semakin terasah dan semakin matang.

Mungkinkah kebiasaan menulis setiap hari bisa meningkatkan keterampilan menulis? Mestinya mungkin, selama penulisnya menyadari bahwa ia melakukannya dengan sengaja sebagai salah satu cara mengasah keterampilan menulis.

Tetapi menulis setiap hari bisa juga menjadi sesuatu yang paradoksal. Yaitu akibat menulis setiap hari, penulisnya malah kehilangan hari-hari yang berharga, ketika ia tak lagi punya waktu untuk meningkatkan keterampilan menulisnya. Atau tak lagi merasa perlu untuk berlatih. Karena ia menulis semata-mata demi menulis itu sendiri.

Belajar dari Kesalahan 

Membaca buku-buku yang sudah banyak diakui mutunya, hanya salah satu cara untuk meningkatkan keterampilan menulis. Cara ini sudah begitu banyak disebut, sehingga dianggap tips basi. Dan karena dianggap basi, sehingga luput dari perhatian. Padahal tips basi inilah salah satu kunci utama untuk meningkatkan keterampilan menulis.

Membaca buku-buku menarik, akan membuat kita tergugah. Misalnya, mengamati bagaimana bisa Ernest Hemingway menulis karya buku yang begitu bagus. Dan karena begitu bagusnya bukunya, kadang buku itu sampai dibaca berulang-ulang.

Karena membaca berulang, akhirnya akan ditemukan teknik-teknik tertentu yang digunakan oleh penulis buku itu. Ini saja sudah merupakan salah satu proses belajar. Ini tidak berarti si penulis lalu mengimitasi gaya orang lain, dengan menanggalkan ciri khas sendiri.

Gairah untuk menulis setiap hari bisa dimanfaatkan sebagai motor untuk memulai. Dengan menulis setiap hari, si penulis memperoleh apa yang dibutuhkan untuk dapat menulis secara konsisten, tetapi bukan apa yang dibutuhkan oleh tulisan itu sendiri. "Roh" tidak serta merta memberi nyawa pada sebuah tulisan, hanya dengan konsistensi saja.

Konsistensi saja, tanpa disertai keinginan untuk melakukan lebih baik lagi, belum cukup untuk meningkatkan keterampilan menulis.

Menulis adalah proses belajar seumur hidup tanpa henti. Baik melalui cara menulis setiap hari, atau tidak setiap hari. 

Orang perlu belajar dari kesalahan. Dan menulis setiap hari (maupun sesekali) tanpa disertai keinginan untuk belajar memperbaiki kesalahan itu, hanya akan memperkuat kesalahan demi kesalahan.***

Penulis: Walentina Waluyanti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun