Untuk membangun daya observasi, saya perlu membaca atau melihat sekeliling. Untuk membangun daya imajinasi, kadang-kadang saya perlu mengendapkan pikiran dan renungan.
Penulis perlu rendah hati. Tak perlu malu mengakui bahwa ia menggunakan referensi untuk melegitimasi pertanggungjawaban tulisan itu.
Menggunakan opini sendiri, pengalaman sendiri juga bisa menjadi sumber referensi, karena memang itu sudah cukup untuk jenis tulisan tertentu. Bukan karena pongah menunjukkan kehebatan, "Lihat, saya tidak perlu referensi untuk bisa menulis!"
Apa yang saya baca dan saya lihat, tidak dimaksudkan untuk disalin begitu saja ke dalam tulisan. Sumber-sumber yang saya baca dan saya lihat, hanyalah penyangga bagi endapan pikiran. Â
Dan untuk membangun daya rangsang agar menulis tetap asyik, kadang-kadang saya perlu jeda. Adanya jeda, membantu saya membuat jarak dengan tulisan, agar tidak menjadi terlalu obsesif dengan satu permasalahan. Saya tidak akan memaksa diri menulis kalau memang tidak ingin menulis.
Disiplin dalam menjaga konsistensi menulis itu perlu. Tapi disiplin dalam menulis tidak sama dengan memaksa diri untuk menulis.
Lain halnya menulis karena profesi. Mau tidak mau, harus memaksa diri menulis, karena memang dibayar untuk itu. Di luar itu, bagi yang gemar menulis, umumnya mereka menulis, karena menulis memberi efek membahagiakan.
Menulis setiap hari kalau bisa membahagiakan, mengapa tidak? Tapi kalau tidak bisa, saya tidak merasa perlu memaksa diri. Memaksa diri saat sedang tidak ingin menulis, hanya membuat tulisan saya semakin buruk.
Sama saja, saya tidak akan memaksa diri mendentingkan snar gitar kalau sedang tidak ingin bermain gitar. Agar irama yang terdengar bukan irama cabikan gitar orang iseng.
Setelah jeda, ketika kembali lagi untuk menulis, pikiran saya sudah segar. Satu permasalahan yang tadinya begitu obsesif menempel di kepala, sudah bisa saya lihat dengan lebih jernih dari sudut pandang berbeda. Saya juga bisa menjadi lebih kritis dalam mengkritik tulisan saya sendiri.
Menetapkan Arah dan Tujuan