Mohon tunggu...
Wahyu Fadhli
Wahyu Fadhli Mohon Tunggu... Buku, pesta, dan cinta

tulisan lainnya di IG : @w_inisial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membangun Keluarga Sakinah: Analisis Komperehensif Program Bimbingan Perkawinan

17 September 2025   13:02 Diperbarui: 17 September 2025   13:02 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Reynald Doyodia

Abstrak

Program Bimbingan Perkawinan (Bimwin) yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia merupakan sebuah intervensi negara yang signifikan untuk menginstitusionalisasikan persiapan perkawinan. Inisiatif ini didorong oleh cita-cita sosial-keagamaan untuk mewujudkan keluarga sakinah sekaligus menjadi jawaban atas berbagai tantangan kebijakan nasional yang mendesak. Laporan ini menganalisis secara mendalam arsitektur kebijakan, visi, desain, implementasi, serta efektivitas program tersebut. Analisis menunjukkan adanya kesenjangan yang mendalam antara arsitektur kebijakan yang ambisius dengan implementasi di lapangan, yang terhambat oleh keterbatasan sumber daya dan kendali mutu yang belum merata. Perubahan kebijakan terbaru yang menjadikan Bimwin sebagai syarat wajib pernikahan merupakan sebuah titik kritis yang memperbesar tantangan-tantangan yang telah ada sebelumnya. Laporan ini menyimpulkan bahwa untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan dan praktik, diperlukan serangkaian reformasi strategis yang berfokus pada modernisasi kurikulum, penjaminan mutu yang kuat, serta komunikasi publik yang strategis untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap program ini.

Bagian I: Arsitektur Kebijakan Bimbingan Perkawinan di Indonesia

Bagian ini menguraikan fondasi hukum dan historis program Bimbingan Perkawinan (Bimwin), memaparkannya sebagai proyek negara jangka panjang yang baru-baru ini mengalami eskalasi signifikan dalam cakupan dan otoritasnya.

1.1. Evolusi Historis: Dari Kursus Calon Pengantin (Suscatin) ke Bimbingan Perkawinan (Bimwin)

Program pembekalan pranikah yang kini dikenal sebagai Bimbingan Perkawinan (Bimwin) merupakan hasil evolusi dari program sebelumnya yang disebut Kursus Calon Pengantin (Suscatin). Transformasi ini secara resmi terjadi pada tahun 2017, menandai sebuah langkah revitalisasi yang didasari oleh mandat Kementerian Agama untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Perkawinan. Perubahan ini bukan sekadar pergantian nama, melainkan sebuah pergeseran strategis yang didorong oleh keprihatinan atas meningkatnya angka perceraian dan berbagai isu sosial lainnya. Peralihan dari Suscatin ke Bimwin merefleksikan upaya pemerintah untuk beralih dari sebuah kursus dasar yang sering kali bersifat seremonial menjadi program yang lebih terstruktur, profesional, dan berbasis kurikulum. Dengan demikian, Bimwin diposisikan sebagai instrumen utama dalam kebijakan ketahanan keluarga nasional, menunjukkan pengakuan negara yang semakin kuat terhadap unit keluarga sebagai lokus intervensi sosial yang krusial.

1.2. Landasan Yuridis dan Filosofis

Program Bimwin ditopang oleh kerangka hukum berlapis yang menunjukkan keseriusan dan keberlanjutan upaya negara dalam formalisasi pendidikan pranikah. Fondasi utamanya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menjadi payung hukum bagi seluruh regulasi turunan terkait. Secara filosofis, program ini berakar pada Keputusan Menteri Agama Nomor 03 Tahun 1999 tentang Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah, yang meletakkan konsep keluarga ideal dalam konteks keagamaan sebagai tujuan utama.

Implementasi teknis program ini diatur secara rinci melalui serangkaian Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) Islam. Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor 379 Tahun 2018 menjadi pedoman pelaksanaan awal, yang kemudian disempurnakan melalui beberapa amendemen, seperti Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor 189 Tahun 2021 dan Nomor 172 Tahun 2022. Regulasi-regulasi ini menetapkan standar kurikulum, metode pelaksanaan, dan kualifikasi fasilitator. Jaringan peraturan yang padat ini, yang diperkuat lebih lanjut oleh peraturan yang lebih baru seperti Peraturan Menteri Agama Nomor 22 dan 30 Tahun 2024, menunjukkan adanya upaya deliberatif dan berkelanjutan dari negara untuk menstandarisasi pendidikan pranikah dan menjadikannya komponen yang tidak terpisahkan dari proses hukum perkawinan di Indonesia.

1.3. Kewajiban Universal: Implikasi Kebijakan Mandatori 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun