Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Otonomi Pendidikan dan Pemerataan Kualitas Sumber Daya Manusia Nasional

23 Agustus 2021   19:50 Diperbarui: 24 Agustus 2021   07:34 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan di Indonesia | Sumber: Sinar Mas via kompas.com

Hampir tidak ada satu pun orang yang menyangkal bahwa kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) menjadi faktor penting sebuah negara agar dapat digdaya. Singapura boleh tidak memiliki sumber daya alam. Namun, berkat SDM yang unggul, mereka mampu menjadi penguasa Asia Tenggara. 

Negara yang tidak lebih luas dari kota Surabaya tersebut bahkan memiliki sangkar burung besi terbesar dan terbaik dunia. 

Kala Hiroshima Nagasaki dihantam bom atom oleh sekutu, pemerintah Jepang mencari para guru yang tersisa di antara puing-puing bangunan. Dari negara yang kalah perang, kini Jepang menjadi macan Asia berkat SDM-nya.

Tidak berlebihan bila pemerintah mengusung semangat "SDM Unggul Indonesia Maju" untuk mengakselerasi Indonesia menjadi penguasa dunia. Hanya saja jalan yang ditempuh tidak semudah dan seajaib cerita 1001 malam. 

Butuh ribuan jam, juga tidak sedikit pengorbanan yang harus dilakukan. Kata kunci yang mencerminkan tingkat SDM kita adalah kualitas pendidikan nasional. 

Quality of Live and Education Rangking pada tahun 2020 menyebut bahwa kualitas pendidikan yang baik dapat memberikan kehidupan yang baik. Bila kualitas hidup masyarakat kita ada di urutan ke-32 dunia, maka nasib pendidikan kita masih terjebak di tingkat ke-55 dunia.

Hadirnya abad industri 4.0 yang dibarengi dengan perkembangan teknologi digital yang pesat, berpeluang untuk melakukan pemerataan kualitas pendidikan. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahkan menyuarakan slogan, "Teknologi memudahkan kita untuk belajar di mana saja, kapan saja, dan dari siapa saja." 

Beberapa platform belajar digital pun mulai bermunculan baik milik swasta maupun pemerintah. Tentu dengan satu tujuan, berupaya menghapus ketimpangan.

Jurang Disparitas

Neil Selwyn pada bukunya yang berjudul Education and Technology: Key Issues and Debates menyebut ada dua klaim yang menyebut teknologi dapat mengatasi ketimpangan. 

Pertama, menjadi sarana untuk mengatasi ketidaksetaraan "kesempatan" bagi setiap individu untuk berhak mengakses sumber daya berkualitas. 

Kedua, melalui pendekatan radikal, teknologi mampu menyelesaikan ketidaksetaraan "hasil" yang mengacu  kepada kondisi yang adil. 

Dalam bahasa yang lebih sederhana, melalui pendidikan digital, kesenjangan sosial dapat ditransformasikan menjadi inklusi sosial.

Alih-alih memiliki potensi yang besar, fakta yang dipaparkan oleh PISA (Program for International Student Assessment) yang diterbitkan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pada tahun 2015 justru menunjukkan hal sebaliknya. 

Di tengah kampanye pendidikan berbasis digital, angka disparitas atau ketimpangan kualitas pendidikan di Indonesia justru melebar di angka 49 persen. 

NEW (Network for Education Watch) Indonesia pada tahun 2017 menganalisis data tersebut yang diselaraskan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Hasilnya, ada gap 2 tahun terkait kemampuan literasi padahal pada level pendidikan yang sama.

Melebarnya jurang disparitas diakibatkan oleh modal belajar teknologi digital yang belum sepenuhnya terpenuhi. 

Dosen Sosiologi University of Twente, Prof. Jan Van Dijk, menyebut ada enam modal yang harus dipenuhi oleh seorang siswa untuk mengoptimalkan pembelajaran digital. Yakni modal waktu, materi, mental intelektual, sosial, dan modal kultural. 

Lebih jauh, survey nasional yang dilakukan oleh Monash University tahun 2019 yang bertajuk Education for Future, menghasilkan kesimpulan bahwa semakin tinggi pendapatan keluarga, semakin tinggi preferensi untuk menggunakan teknologi bagi pendidikan anaknya.

Melihat kenyataan yang ada, Indonesia masih belum mampu melakukan demokratisasi pendidikan melalui platform digital. Bila tidak dikelola dengan baik, sangat mungkin potensi digital tersebut berubah menjadi bencana. 

Ketiadaan privilege berupa kecakapan intelektual, dukungan sosial-ekonomi, hingga infrastruktur yang memadai semakin melebarkan jurang ketimpangan. Kondisi tersebut tentunya belum mencerminkan amanat UUD 1945 pasal 31.

Iustrasi pendidikan | Sumber: Yannis H on Unsplash   
Iustrasi pendidikan | Sumber: Yannis H on Unsplash   

Tentu, kita tidak bisa berharap banyak kepada pemerintah pusat. Kapal Indonesia terlalu besar bila hanya berpangku tangan kepada sang nahkoda. 

Belum lagi beragam corak latar belakang membuat tidak sepenuhnya kebijakan pusat dapat diterapkan di masing-masing daerah. Sehingga, kita perlu memunculkan stakeholders yang paham dengan kondisi daerah dan mampu menjadi game changer atas nasib pendidikan Indonesia. Berkolaborasi untuk meringankan beban pemerintah pusat menuju pemerataan pendidikan.

Kekuatan Daerah

Sejak desentralisasi kekuasaan digulirkan melalui UU (Undang-Undang) no. 32 tahun 2003 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan UU no. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menjelma menjadi "raja-raja" yang memiliki kekuatan untuk mengatur urusan daerahnya masing-masing.

Pemerintah Daerah sudah sepatutnya menjadikan pendidikan sebagai aspek utama. Hal ini secara implisit terkandung dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4. Minimal 20 persen dari APBN maupun APBD untuk pendidikan. Hal tersebut juga didukung putusan Mahkamah Konstitusi no. 013/PUU-VI/2008. 

Faktanya, hanya 7 daerah saja yang benar-benar melaksanakan amanat tersebut. Bahkan Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, mempertanyakan stagnasi penyerapan anggaran pendidikan. 

Semenjak 29 triliun kemudian ditingkatkan 444 triliun dalam rentang 10 tahun, kualitas pendidikan Indonesia seolah-olah berjalan di tempat.

Padahal, salah satu isu yang senantiasa dijadikan komoditas kampanye oleh para kepala daerah terpilih adalah isu pendidikan. 

Pendidikan selalu menjadi hal yang paling seksi dalam mendulang suara. Hanya saja segala janji tersebut masih sebatas bualan tanpa ada realisasi. 

Laporan dari OXFAM menyebut bahwa salah satu penyebab ketimpangan pendidikan Indonesia sebagai akibat dari tendensi political capture. Ketika keputusan politik strategis yang dibuat hanya menguntungkan golongan tertentu.

Lebih jauh, dalam proses PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah), pendidikan senantiasa terseret dalam arus politik. 

Pendidikan seperti selalu tersandra dalam perjalanan pesta demokrasi yang berjalan. Para calon yang banyak dari kalangan politisi sering terjebak pada visi pembangunan jangka pendek. Padahal transformasi pendidikan membutuhkan visi pembangunan jangka panjang. Tentu, kedua "garis" tersebut tidak akan pernah menemukan titik temu.

Kuntowijoyo pernah menjelaskan bahwa politik hanya memikirkan masalah-masalah jangka pendek. Orientasi bahwa kekuasaan akan menyelesaikan banyak hal, ternyata hanya berlaku dalam jangka pendek. Bila memang pendidikan adalah sebuah jalan panjang membangun peradaban dan mewarnai kehidupan bangsa, maka proses pembangunan sistem pendidikan sudah sepatutnya tidak boleh diganggu oleh "kekuasan baru" dari hasil proses politik setiap pemilihan kepala daerah.

Praktisi pendidikan, Indra Chrismiaji, menyebut salah satu faktor ketimpangan kualitas pendidikan terjadi karena daerah belum terlalu serius. 

Ia menyebut, RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) pun masih copy-paste dengan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pusat). 

Kondisi tersebut tentu membuat kebijakan yang diambil sering tidak sama dengan Pemerintah Pusat, bahkan berlawanan, khususnya bidang pendidikan.

White Print Otonomi Pendidikan

Sebuah riset yang dilakukan oleh World Bank tentang Learning to Realize Education Promise menyebut, politics can intensify misalignments in education systems. 

Sistem pendidikan yang sangat kompleks selalu menghadapi intervensi politik yang menimbulkan ketidakselarasan dalam pendidikan. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerataan kualitas pendidikan nasional melalui peran sentral daerah.

Agar tahan dengan badai politik setiap Pilkada, otonomi pendidikan yang dikembangkan di daerah tidak hanya memiliki blue print tetapi juga white print. 

Bila cetak biru berbicara tentang pengembangan sistem, maka cetak putih membahas tentang strategi mempertahankan sistem. 

Teknik tersebut telah berhasil diimplementasikan oleh lembaga filantropi seperti Dompet Dhuafa hingga organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama'. Walaupun founding father-nya telah tiada, namun sistem gerakan mereka tetap sama. 

Tentu, hadirnya otonomi pendidikan berangkat dari kebijakan pemerintah pusat yang kemudian direalisasikan sesuai dengan corak daerahnya masing-masing.

Aspek pertama adalah pembangunan infrastruktur. Pemerataan pendidikan digital tidak akan bisa terlaksana bila sarana dan prasarana minim. 

Seminimal mungkin instalasi listrik hingga jaringan internet. Mengingat segala sistem pemerintahan sekarang terintegrasi dengan internet, sehingga sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Sektor ini dapat mengoptimalkan penyerapan dana pendidikan daerah.

Kedua adalah distribusi guru. Istilah "Ganti Pimpinan, Ganti Gerbong" sering muncul setelah pesta demokrasi selesai. Baik guru, kepala sekolah, dan pengawas banyak yang "dilempar ke mana-mana" tanpa melihat kondisi dan kebutuhan seharusnya. 

Hal tersebut menyebabkan distribusi dan pemerataan guru menjadi tidak karuan. Tenaga pendidik perlu dibebani dengan proyek jangka panjang agar tidak mudah dipindahkan.

Ketiga adalah peran tri pusat pendidikan. Janji politik "pendidikan gratis" hampir selalu digunakan oleh para calon kepala daerah. 

Hal tersebut membuat orang tua dan masyarakat acuh dan tidak mau mengambil peran terhadap proses pendidikan (terutama pendidikan anak). 

Peran tri pusat pendidikan, sekolah, keluarga, dan masyarakat yang digaungkan Bapak Pendidikan Bangsa, Ki Hajar Dewantara seakan "dibunuh" secara perlahan oleh frasa tersebut. Penguatan Permendikbud nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah perlu ditingkatkan.

Keempat adalah visi pembangunan pendidikan daerah. Tidak samanya visi pendidikan kepala daerah sebelum dan sesudah pergantian, perubahan struktural dinas, kebijakan dan program, sampai alokasi anggaran pendidikan yang tak karuan akibat pada intervensi kepala daerah maupun DPR Daerah yang baru terpilih. 

Masyarakat harus menjadi pemerhati yang kritis, arif, dan bijak dalam melihat kebijakan yang dikeluarkan. 

Selain itu, masyarakat perlu ikut aktif mengawasi dan mengkritisi perubahan maupun kebijakan baru yang dikeluarkan kepala daerah, khusunya pendidikan.

Memang, tidak pernah mudah dalam membangun sistem pendidikan. Mengingat visi pendidikan yang berorientasi pada jangka panjang. Namun, pendidikan adalah investasi yang sangat berharga untuk memperbaiki kualitas SDM bangsa, yang berdampak pada kemajuan Indonesia. 

Dari pada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin kehangatan. Sudah cukup kiranya kita menyalahkan pemerintah pusat lantaran ketimpangan pendidikan Indonesia. Sudah saatnya kita membangun jembatan kolaborasi dan bergerak membawa pemerataan dari daerah.

Kata kuncinya ada pada kepala daerah. Bagaimana mereka benar-benar melimpahkan segala haknya untuk otonomi pendidikan. Apalagi Indonesia tidak akan besar lantaran obor di Jakarta, negeri ini besar karena lilin-lilin daerah. 

Mari memangkas ketimpangan pendidikan nasional melalui otonomi pendidikan dari pemerintah daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun