Mohon tunggu...
wahyu mada
wahyu mada Mohon Tunggu... Penulis - Pemuda dari Nganjuk yang ingin memandang dunia dari berbagai sudut pandang

Sejarah dadi piranti kanggo moco owah gingsire jaman (KRT Bambang Hadipuro)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Nganjuk: Mangga Golek Sebagai Komoditas Unggulan Warga Berbek Tahun 1936 - 1941

19 September 2021   18:46 Diperbarui: 19 September 2021   19:19 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

NGANDJOEK (Slechte Mangga-Oogst) https://www.delpher.nl/ De Indische Courant, 11-10-1940, (23) Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenku DP IC/40-1, dipublikasikan di Surabaya

(Sejarah Nganjuk) - Kabupaten Nganjuk sebagai salah satu produsen mangga terbesar di wilayah Jawa Timur bagian barat. Data Pusat Statistik Jawa Timur merilis hasil produksi mangga Nganjuk mencapai 271.814 kuintal di tahun 2018. Daerah Nganjuk yang menjadi sentra mangga utamanya daerah Berbek, Ngetos, dan Sawahan, namun yang paling banyak adalah Berbek. Komoditas utama Berbek adalah mangga golek, sedangkan komoditas yang bukan unggulan adalah mangga arum manis dan cempora. Pola masa lalu budidaya mangga golek Berbek mencapai kejayaannya diakhir tahun 1930-an hingga awal 1940-an sebelum kedatangan Jepang.

Budidaya mangga golek juga terdampak depresi ekonomi, tetapi mulai ada tahap perbaikan pada tahun 1937 hingga meningkat tahun 1941. Soegijanto Padmo mengatakan pada jurnalnya Depresi 1930-an dan Dampaknya terhadap Hindia-Belanda, bahwa seluruh wilayah jajahan terkena dampak dari depresi ekonomi, tidak hanya sektor perkebunan dan daerah tertentu yang sudah ramai atau komersial, meskipun benar daerah seperti itu lebih hebat dampaknya daripada wilayah yang masih terasing.

Membaiknya Ekonomi dan Budidaya Mangga Golek Berbek Tahun 1936- 1937

Pada tahun 1930-an merupakan masa-masa sulit bagi dunia. Pada masa itu dunia sedang dilanda depresi ekonomi atau penurunan aktivitas ekonomi yang berkepanjangan. Depresi perekonomian ini banyak sekali menghambat perekonomian Hindia Belanda. Hal yang paling berdampak khususnya pada komoditas barang ekspor Hindia Belanda. Komoditas barang di pasar dunia merosot tajam, demikian halnya sama dengan permintaan terhadap barangnya. Hal ini tentunya dapat mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat, kesempatan kerja, dan pendapatan di pelosok negara. Depresi ekonomi saat itu tidak hanya berdampak pada kota besar atau daerah perkebunan yang mengahasilkan komoditas ekspor dunia saja, melainkan juga dapat masuk dalam kegiatan perekonomian kecil.

Soegijanto Padmo mengatakan pada jurnalnya Depresi 1930-an dan Dampaknya terhadap Hindia-Belanda, bahwa seluruh wilayah jajahan terkena dampak dari depresi ekonomi, tidak hanya sektor perkebunan dan daerah tertentu yang sudah ramai atau komersial, meskipun benar daerah seperti itu lebih hebat dampaknya daripada wilayah yang masih terasing. Dari penjelasan tersebut jelas bahwa seluruh daerah terkena dampak, namun dalam tingkatan yang berbeda-beda karena bentuk kehidupan masyarakat tiap wilayah juga berbeda. Koran De Indische Courant yang terbit pada 2 Januari 1936 dengan judul De Lebaran (https://www.delpher.nl/) menjelaskan bagaiamana masyarakat Regentschap Nganjuk terdampak depresi ini di Nganjuk bagian kota.

Skripsi Muhammad Faidzin yang berjudul Dinamika Industri Pabrik Gula Meritjan di Kediri Tahun 1930-1945 yang dipublikasikan Perpustakaan Universitas Airlangga menyebutkan bahwa komoditas pedesaan di Kediri juga menurun, seperti: ketela, jagung, dan padi. Berdasarkan hal ini besar kemungkinan produktivitas mangga golek yang merupakan komoditas unggulan Berbek juga terkena dampaknya, walaupun pastinya memiliki dampak dibawah singkong yang merupakan makanan tambahan atau bisa juga sebagai karbohidrat pengganti nasi.

Kawedanan Berbek juga terkena dampak dari depresi ini, utamanya pembudidayaan mangga golek yang hasilnya dikirim ke berbagai wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Budidaya mangga golek memerlukan biaya transportasi dan tentunya harga pasar.

Hal ini cukup jelas bahwa mangga golek dari Berbek diangkut menggunakan truk dan kereta api yang akan berakhir diperjualbelikan di pasar. Tentunya budidaya mangga golek ini berbeda dari budidaya teh, kopi, kapas, karet, dan komoditas ekspor utama lainnya. Mangga golek dibudidayakan perorangan sebagai pemilik pohon mangga, baik itu ditanam di kebun mereka sendiri maupun di tanah pekarangan rumah mereka.

Mangga golek dari Berbek tidak diekspor keluar negeri seperti komoditas ekspor utama lainnya, melainkan mangga golek hanya dikirim dan didistribusikan ke berbagai kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah, atau dapat dikatakan komoditas lingkup lokal saja. Umumnya sistem budidaya yang dipakai masih tradisional, yaitu sistem cangkok.

Pada tahun 1936 hasil panen dari pembudidayaan mangga golek masih rendah karena masih menuju tahap perbaikan dari depresi ekonomi. Hal ini perlu perjalanan waktu untuk meningkatkan produktivitas.

Pada tahun 1937 sudah mulai terlihat peningkatan produksi mangga golek di Berbek. Tentunya hal ini juga berkaitan dengan kegiatan ekspor dan pendapatan yang membaik. Pendapat Karl Butcher tentang rumah tangga kemasyarakatan sangat cocok dengan kondisi ini, dimana ekonomi tumbuh karena terdapat perdagangan beberapa wilayah kota. Pendapatan dunia perdagangan global sedikit meningkat, utamanya di Amerika Serikat tahun 1936.

Soegijanto Padmo dalam jurnalnya Depresi 1930-an dan Dampaknya Terhadap Hindia Belanda mengatakan bahwa terdapat perbaikan kecil bagi negara tahun 1937. Hal ini juga terlihat di Berbek pada saat jumlah mangga golek hasil panen pada tahun 1937 yang lebih baik jika dibandingkan tahun 1936. Sebuah koran De Indische Courant yang diterbitkan pada 1 Desember 1937, mencatat mengenai budidaya mangga di Berbek dengan judul De Mangga-Cultuur. Harga buah mangga golek tahun 1937 meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan ini berhubungan dengan membaiknya kondisi ekonomi penduduk.

Pembangunan ekonomi negara yang lambat memancing naiknya pendapatan lokal penduduk sedikit demi sedikit. Bahkan koran ini juga mencatatat bahwa distribusi penjualan mangga golek dari Berbek tahun 1937 mencapai Kediri dan Surabaya. Desa yang menghasilkan mangga yang paling dicari di Kediri dan Surabaya adalah Desa Berbek dan Cepoko, semuanya masuk wilayah Berbek.

 

 

screenshot-2021-0816-211758-1-61471cd006310e08ce646b62.png
screenshot-2021-0816-211758-1-61471cd006310e08ce646b62.png

KEDIRI (Mangga-Pluk) https://www.delpher.nl/ De Indische Courant, 7-11-1936, (47) KB C 248. Dipublikasikan di Surabaya


screenshot-2021-0816-211431-2-61471d0e06310e1f013977e2.png
screenshot-2021-0816-211431-2-61471d0e06310e1f013977e2.png

NGANDJOEK (De Mangga-Cultuur) https://www.delpher.nl/ De Indische Courant, 1-12-1947, (67) KB C 248. Dipublikasikan di Surabaya

       Dalam koran yang sama De Indische Courant yang diterbitkan 7 November 1936 dengan judul Mangga Pluk, mengatakan bahwa panen mangga tahun 1936 tidak mudah bagi para penjual tahun ini. Pada tahun 1936 tidak dapat melihat pembeli yang banyak di regentschap, tidak ada skala yang besar seperti dahulu. Bahkan yang lebih parahnya lagi koran ini menyebutkan masa-masa sulit ini, penjual mangga tidak bisa hanya menunggu buah matang dari pohonnya, melainkan menggunakan cara cepat dengan menggunakan daun saga yang diletakkan dalam wadah agar mempercepat pematangan buah mangga golek.

Slogan dari penjual saat itu "semakin cepat kita mendapatkan uang, semakin baik". Cara untuk mendapatkan buah mangga matang secara cepat justru dinilai tidak baik pada tahun ini, karena rasa dari buah mangga tidak seenak buah yang matang langsung dari pohonnya. Perubahan terjadi seiring berkembangnya waktu, bahkan pada saat ini. Cara untuk mempercepat pematangan mangga dengan karbit (kalsium karbida) dianggap normal. Sebenarnya gas karbit bisa saja masuk daging buah melalui kulit.


 Budidaya Mangga Golek Masa Akhir Depresi Ekonomi Tahun 1938- 1939

      Perbaikan kondisi ekonomi pada tahun 1938-1939 terlihat jelas, utamanya bagi dunia budidaya mangga golek di Berbek. Pada tahun 1938 terdapat masalah bagi dunia budidaya mangga golek di Berbek, utamanya panen mangga yang bermasalah dengan angin kencang dan hujan deras. Angin kencang dan hujan deras itu utamanya terjadi saat pembentukan bunga mangga dan pembentukan buah. Masa pembentukan bunga dan buah mangga merupakan masa yang sangat rawan, karena jika bunga banyak yang rontok maka buah yang dihasilkan akan jauh lebih sedikit. Hal ini dicatat dalam koran De Indische Courant dengan judul De Mangga-Oogstijd yang diterbitkan pada 5 Oktober 1938.

Walaupun waktu panen buah dihadang masalah alami seperti hujan dan angin, koran itu juga menyebut tidak perlu khawatir akan hal itu. Tentunya karena panen buahnya sangat besar dan buah dikirim ke berbagai wilayah, seperti: Solo, Madiun, dan Yogyakarta menggunakan kereta api sebagai transportasi pengiriman dalam jumlah yang sangat besar.

Koran lain De Indische Courant dengan judul Mangga Oogst yang terbit pada 11 Oktober 1938 memberikan keterangan lebih lanjut. Dikatakan bahwa harga mangga di tahun 1938 lebih tinggi daripada tahun sebelumnya, yaitu harganya sekitar 3 sen dan 2 sen pada tahun sebelumnya untuk satu buah mangga golek. Ada indentifikasi membaiknya perekonomian masyarakat setelah masa depresi hebat yang melanda dunia.

 

 

copy-of-screenshot-2021-0816-211627-61471d9206310e267227b343.png
copy-of-screenshot-2021-0816-211627-61471d9206310e267227b343.png

NGANDJOEK (Mangga-Oogst) https://www.delpher.nl/ De Indische Courant, 11-10-1938, (23) KB C 248. dipublikasikan di Surabaya

 

 

screenshot-2021-0816-211733-61471dce0101903121104a05.png
screenshot-2021-0816-211733-61471dce0101903121104a05.png

NGANDJOEK (Mangga-Oogst) https://www.delpher.nl/ De Indische Courant, 26-10-1939, (36) KB C 248, dipublikasikan di Surabaya

screenshot-2021-0816-211517-61471e2706310e4b4a334502.png
screenshot-2021-0816-211517-61471e2706310e4b4a334502.png

KEDIRI (De Mangga-Oogsttijd) https://www.delpher.nl/ Algeemen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 5-10-1938, (227) Koninklijke Bibliotheek, dipublikasikan di Semarang

KEDIRI (De Mangga-Oogsttijd) https://www.delpher.nl/ Algeemen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 5-10-1938, (227) Koninklijke Bibliotheek, dipublikasikan di Semarang

Pada tahun 1939 panen mangga di daerah Berbek semakin membaik dan tidak terdapat hambatan yang berarti. Panen buah mangga pada tahun tersebut juga sangat besar dan harganya lebih mahal daripada tahun sebelumnya. Masyarakat dari wilayah Berbek pada saat itu sangat disibukkan dengan memetik buah mangga dari pohonnya. Buah-buah itu sebagian tetap didistribusikan ke berbagai wilayah dengan menggunakan kereta api, sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Daerah Berbek yang sangat disibukkan dengan perdagangan mangga pada tahun itu adalah Cepoko dan Berbek, sedangkan daerah diluar itu yang masih bertetangga dengan Berbek adalah Desa Kuncir. Komoditas unggulan tetap sama, yaitu mangga golek. Mangga madu dan cempora juga ikut diperdagangkan disini, namun jenis-jenis itu tidak banyak dicari dan tidak banyak dikenal seperti mangga golek yang menjadi ciri khas.

Koran yang diterbitkan pada 26 Oktober 1939, yaitu De Indische Courant pada bagian Oost-Java Nieuws dan pada pembahasan Mangga-Oogst, telah memberikan penjelasan yang sangat cukup untuk ditangkap dengan jelas mengenai dunia mangga golek di Berbek tahun 1939. Tidak ada permasalahan antara pemilik pohon mangga dan pembeli karena buahnya bisa dikatakan kualitas yang bagus. Di daerah lokal Berbek sendiri juga ramai didatangi para pembeli buah mangga hasil panen.

 Budidaya Mangga Golek Berbek Masa Akhir Depresi 1940-1941

Budidaya mangga golek di wilayah Berbek pada periode 1940-1941 mengalami pasang surut atau turun naik. Sejatinya pada periode ini perekonomian masyarakat sudah membaik, utamanya masyarakat di Regentschap Nganjuk. Para pemilik pohon mangga mengharapkan panen mangga di tahun 1940 dapat lebih baik dengan mendapatkan untung banyak dibandingkan pada tahun 1939, namun ternyata alam berkata lain. Pada tahun 1940 terdapat ancaman yang serius bagi kelestarian mangga golek di Berbek. Ancaman itu berasal dari alam, lebih tepatnya dipengaruhi kondisi cuaca pada saat itu. Cuaca panas secara terus-menerus pada 1940 sangat berdampak serius pada hasil panen mangga di Berbek.

Fuji Triani dan Ariffin telah meneliti dampak fenomena cuaca panas terhadap produktivitas mangga yang diterbitkan dalam jurnalnya Dampak Variasi Iklim terhadap Produktivitas Mangga (Mangifera Indica) di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Jurnal Plantropiva (2019, Vol. 4 No.1). Mereka memberikan informasi, bahwa pada saat musim kemarau di beberapa wilayah Indonesia terdapat angin fohn yang dapat merusak tanaman karena angin ini memiliki sifat yang kering dan panas. Mereka juga menambahkan bahwa 68% produktivitas mangga dipengaruhi oleh lamanya penyinaran.

Sangat mungkin cuaca panas secara terus-menerus pada musim mangga di Berbek tahun 1940 dapat memengaruhi pembentukan buah mangga ditangkainya, karena pada masa-masa pembentukan buah mangga dari bunganya merupakan masa yang sangat rawan. Cuaca panas secara terus-menerus juga memiliki keterkaitan dengan lamanya penyinaran pada masa pembentukan buah mangga dari bungannya yang sangat sensitif.

Cuaca dan iklim juga menjadi faktor yang sangat penting bagi suksesnya budidaya tanaman mangga. Banyak pemilik pohon mangga yang merugi akibat panen buah mangga yang dinilai buruk pada tahun 1940. Kerugian dalam budidaya mangga ini tentunya juga berdampak pada harga buah mangga di pasaran. Hal ini karena dua hal tersebut sejalan antara kualitas barang yang ditawarkan dan harga. Harga dan barang yang ditawarkan berjalan lurus.

Harga buah mangga golek menurun diiringi juga dengan menurunnya kualitas buah mangga yang diturunkan pada tahun 1940, sehingga menyebabkan penawaran buah menurun. Sangat besar kemungkinan kita dapat melihat peristiwa ini dengan menggunakan teori hukum penawaran yang merupakan konsep dari Alfred Marshall. Yopi Nisa Febianti dalam jurnalnya yang berjudul Penawaran Dalam Ekonomi Mikro, Jurnal Edunomic (2015, Volume 3 Nomor. 1) menyebutkan bahwa perbandingan lurus antara harga dengan penawaran itu disebut hukum penawaran.

 

screenshot-2021-0816-211834-61471ecd53f9cd4d2b1b8572.png
screenshot-2021-0816-211834-61471ecd53f9cd4d2b1b8572.png

NGANDJOEK (Slechte Mangga-Oogst) https://www.delpher.nl/ De Indische Courant, 11-10-1940, (23) Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenku DP IC/40-1, dipublikasikan di Surabaya

 

screenshot-2021-0816-211705-61471ef353f9cd40c24a8314.png
screenshot-2021-0816-211705-61471ef353f9cd40c24a8314.png

NGANDJOEK (Drukke Mangga-Verkoop op de Passars) https://www.delpher.nl/ De Indische Courant, 25- 10-1941, (35) Koninklijk Instituut voor Taal-, Landen Volkenku, diterbitkan di Surabaya

       Pada tahun 1941 merupakan masa-masa bahagia setelah menurunnya harga mangga pada tahun sebelumnya. Pada tahun 1941 harga mangga golek naik 1,5 sen untuk satu buah mangga golek. Pada tahun 1940 harga satuan mangga golek berkisar 1 sen dan meningkat menjadi 2,5 sen di tahun 1941.

Pasar bebas di Nganjuk diramaikan oleh perniagaan mangga golek yang datang dari wilayah pegunungan selatan, dalam konteks ini yaitu wilayah Berbek. Pada masa panen tahun tersebut tidak ada ancaman bagi produktivitas buah mangga dan panennya sangat memuaskan. Pada masa panen buah mangga golek tahun 1941 ini buahnya banyak dan dikatakan yang paling meningkat dari beberapa tahun terakhir. Distribusi mangga golek ini tentunya tidak hanya menjangkau pasar Jawa Timur dan Jawa Tengah saja, melainkan pasar dalam Nganjuk sendiri juga tidak kalah ramai.

       Perniagaan lokal mangga dari Berbek di Regentschap Nganjuk sangat besar kemungkinan berada di Pasar Berbek, Pasar Kerep, dan Pasar Nganjuk yang terletak di Desa Mangundikaran. Pasar Berbek telah berdiri lama dan sejak tahun 1936 sudah ramai perniagaan berbagai barang disana. Pasar Kerep baru dibuka dan diberitakan pada 19 November 1938, sedangkan Pasar Nganjuk yang berdiri di Mangundoikaran merupakan pasar baru yang baru dibangun awal tahun 1939 dan selesai pada Agustus tahun 1939.

Berdasarkan koran De Indische Curant yang diterbitkan pada 25 Oktober 1941 dengan judul Drukke Mangga-Verkoop op de Passars memberitakan adanya perniagaan mangga yang sangat ramai di pasar regentschap yang buahnya berasal dari pegunungan (wilayah Berbek) dan memiliki harapan pada masa depan akan lebih sibuk perniagaan mangga disini. Penanaman mangga di tanah penunungan selatan juga meningkat.

Pasar Kerep kemungkinan besar menjadi tempat perniagaan mangga terbesar di Regentschap Nganjuk bagian barat, mengingat pasar ini berada di Desa Kerep Kidul yang tidak jauh dari kota dan hanya berjarak sekitar 3,9 kilometer. Selain itu lokasi Pasar Kerep juga strategis yang teletak dekat dengan jalur utama jalan raya lintas provinsi dan lintas kota.

screenshot-2021-0817-000020-61471f6a01019067470025c2.png
screenshot-2021-0817-000020-61471f6a01019067470025c2.png

NGANDJOEK (Nieuwe Pasar in de Kotta)https://www.delpher.nl/  De Locomotief, 20-01- 1939, (17) Universitaire Bibliotheken Leiden, dipubliksikan di Semarang

screenshot-2021-0817-000123-61471f7e06310e7a0e0ed042.png
screenshot-2021-0817-000123-61471f7e06310e7a0e0ed042.png

NGANDJOEK (Pasar te Kerep) https://www.delpher.nl/ De Locomotief, 19-11- 1038, (267) Universitaire Bibliotheken Leiden, dipublikasikan di Semarang

Kesimpulan

         Budidaya mangga golek sudah menjadi salah satu kegiatan perekonomian utama di Kawedanan Berbek, Regentschap Nganjuk. Desa Cepoko dan Berbek merupakan desa yang paling banyak menyumbangkan hasil mangga dibandingkan desa lainnya di wilayah Kawedanan Berbek. Mangga golek yang memiliki rasa manis dan berair telah menjadi primadona unggulan wilayah ini. Terdapat depresi ekonomi yang melanda dunia, tidak terkecuali Hindia Belanda tahun 1930-an yang juga berdampak pada dunia budidaya mangga golek di Berbek. Sejak tahun 1936 hingga 1941, depresi ekonomi semakin mambaik dan juga sangat berdampak pada komoditas mangga golek Berbek.

Hasil dari budidaya mangga golek Berbek mengalami pasang surut pada tahun 1936-1941, namun faktor utama pasang surut ini diakibatkan oleh gagal panen karena cuaca dan tidak disebabkan depresi yang mendalam.

Secara umum hasil budidaya mangga golek semakin tahun semakin meningkat setelah masa depresi 1936-1941, jika itu tidak terhambat cuaca buruk, seperti hujan angin dan cuaca panas berkepanjangan. Pada tahun 1936 belum menunjukkan peningkatan hasil yang banyak, namun terus meningkat banyak di tahun 1937 seiring dengan lancarnya panen dan meningkatnya ekonomi penduduk.

Masalah kecil muncul pada tahun 1938 disaat cuaca buruk melanda dan menyebabkan panennya sedikit buruk, namun tidak ada yang dikhawatirkan karena harga mangga tahun 1938 lebih tinggi dari tahun 1937. Pada tahun 1939 hasil panen dan harga buah mangga golek meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, namun harga dan kualitas buah yang dipanen turun pada tahun 1940 karena cuaca panas berkepanjangan. Hal tersebut dapat teratasi pada tahun 1941 karena kualitas buah dan harga meningkat lebih dari dua kali lipat dari harga tahun sebelumnya.

Saran

         Pada era sekarang ini setidaknya dapat dikembangkan komoditas lokal daerah. Komoditas lokal itu dapat berupa apa saja, baik produksi buah, sayur, kerajinan tangan, perhiasan, atau apa saja yang menjadi daya tarik khas wilayah itu. Potensi pengembangan produk lokal tentunya akan menjadi sumber perekonomian masyarakat itu sendiri, seperti yang dicontohkan oleh masyarakat Kawedanan Berbek pada masa itu.

Sejatinya pada era sekarang ini masyarakat Berbek sudah tidak fokus membudidayakan mangga golek sebagai komoditas utama, namun lebih fokus pada berbagai jenis buah, seperti salak dan rambutan. Tetap saja dengan pengolahan salak dan rambutan yang baik serta efektif, mereka sekarang menjadi sentra buah salah utama bagi Kabupaten Nganjuk. Apabila komoditas lokal daerah tertentu dimanfaatkan secara optimal, maka dengan otomatis kan menjadi penggerak utama perekonomian daerah itu.

Selain itu juga dapat menjadi basis ekonomi wilayah. Tentunya untuk mengembangkan produk khas lokal membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Kita perlu mengevaluasi keunggulan dan kekurangan produk tiap wilayah, memberikan pandangan kedepan untuk peluang pengembangan komoditas lokal berdasarkan analisis, dan memberikan jawaban untuk mengoptimalisasi peroduk-peoduk lokal yang ada disetiap daerah.

Sejatinya banyak kasus produk lokal desa, kecamatan, dan kabupaten menjadi komoditas unggulan. Tentunya harus dilaksanakan secara optimal. Tidak hanya pemimpin desa, camat, atau bupati yang harus turun tangan sendiri, namun masyarakat harus mendukung dan dapat bekerja sama secara tidak terpaksa dan efektif demi optimalisasi produk lokal menuju produk unggulan.

         Kritik penulis terima dengan lapang dada dan memang seharusnya dikritik, karena penulisan ini subjektif. Subjektivitas dalam penulisan sejarah tidak bisa dihindari, namun bisa dikurangi dengan menerapkan metode sejarah secara ketat. Kritik juga diterima sebagai landasan untuk introspeksi dalam menyusun artikel selanjutnya agar lebih baik dan lebih kritis daripada artikel ini. Akhir kata semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Artikel ini utamanya juga ditujukan kepada warga Nganjuk sendiri dan juga agar menginspirasi semua orang untuk peduli terhadap sejarah lokal, karena sejarah lokal adalah unit terkecil dari sejarah nasional bangsa ini. Wassalamualaikum wr. wb.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun