Ia pasrah dan hanya menunduk pelan.
"Apa yang kau rasa?"
Segera ia menceritakan semua apa yang dialami. Tanpa suatu celah sedikitpun. Cerita itu mengalir bagai sungai menderas.
Sesekali bunyi sesegukan yang ia tahan, tak sadar keluar. Lalu tetes air mata menitik. Segera diusapnya, karena ini tabu. Sebagai lelaki, ia pantang meneteskan air mata.
"Ambil air wudlu, nak. Salatlah dua rekaat. Setelah itu memohonlah kepada Allah. Mengadulah kepada-Nya. Meminta ampun hanya kepada-Nya. Itu saranku. Aku tak bisa membantu banyak." kata seseorang yang dipanggilnya kakek.
***
Ya. Serba berkecukupan membuatnya lupa akan hal yang bisa membuatnya sukses. Bahkan karena jiwanya yang terperdaya dengan begitu banyaknya uang. Ia lupa. Kesuksesan bukan berdiri sendiri. Kesuksesan itu juga bukan miliknya sendiri, melainkan milik istri dan anak-anaknya.
Angin kering merayap pelan, menghembuskan bau wangi. Ia terkesima melihat apa yang ada di depannya. Setumpuk uang begitu menggoda.
"Kamu tahu siapa saya?" tanya seseorang berparas putih dan berbaju rapi. Dasi yang terpasang di leher terbuat dari sutera. Kulit putih bersih, menandakan orang tersebut jarang keluar rumah.
"Iya, saya kenal bapak. Lalu apa yang bisa saya bantu?" katanya sopan.
"Aku mau, kamu membawa pengiriman ini tanpa tercium petugas. Bisa?"