Di rembang petang, tereja nama, pada kangen yang tak pernah usai. Pada ia, yang mengisi hati, hari-hari, bersama lompatan-lompatan rasa, apapun. Ia tahu, bahwa kangen ini tak pernah luruh, oleh wujud dan waktu.
"Mengapa menghilang?"
"Aku tidak menghilang, hanya butuh jeda, untuk sendiri, agar bisa merasakan bagaimana rasa kangen itu,"
"Kamu ngeles, ih."
Apakah ia tak mengerti, bahwa untuk kangen padanya membutuhkan setumpuk lompatan rasa yang berganti-ganti. Mengesalkan, dengan degup jantung berirama rock. Fluktuasinya kencang. Hampir menggemparkan seisi tubuh.
"Aku tak suka jika kau seperti itu." kataku kesal.
"Maksudmu?"
"Menghilangmu, sungguh menyiksaku."
"Mudah saja untuk tak membuatmu kesal," jawabnya memberi pilihan.
"Gimana caranya?"
"Lupakan saja aku. Itu saja."
"Tak semudah membalikkan kata. Kau tahu itu kan? Bahkan aku yakin, kau juga seperti aku. Kamu kangen, kan?"
Lalu berminggu-minggu ia memaksaku melupakannya. Sungguh jahat. Tapi aku tak pernah bisa menyalahkannya. Yang sebenarnya, aku tak bisa melupakan. Kangen itu tak pernah usai.
"Kangen menjadi masalah," keluhku padanya.
Bahkan ia tak menjawabnya.
"Mengapa kau tega?"
Hanya angin lalu yang  mendesau.
"Sungguh, ini menyiksaku. Bicaralah barang sedikit," pintaku.
Hening.
***
Lukisan itu hampir jadi. Ia akan menemui pemiliknya. Guratan oranye dengan semburat abu. Ada sebuah ruh yang menyertainya. Bagai sebongkah rasa yang membatu. Tak memecah hingga kapanpun.
"Aku berharap, ia mengerti. Kangen adalah satu-satunya cara, agar cinta ini tetap ada." kata sang pelukisnya.
Semarang, 21 Desember 2019.