Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tentang Kesetiaan

10 Desember 2019   13:36 Diperbarui: 10 Desember 2019   13:51 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Aliexpress.com

Sebelumnya:

Tarian Terakhir Untuknya

Menarilah Denganku, Cha!

Menari sudah menjadi bagian hidupku. Jiwaku ada di tarian. Apalagi sekarang telah memiliki studio menari yang kurintis dari nol. Sanggar Icha. Seolah diriku tak terpisah dari tarian.

Dan pertemuanku kembali dengan Sandi, menambah energi tujuh belas kali lipat dari semula yang kupunya. Semangatku menjadi-jadi. Inspirasi melimpah, hingga bisa menciptakan beberapa tarian dalam kurun waktu yang singkat.

"Aku rasa, kamu butuh meredam energi. Agar tak bosan, Icha." kata Sandi pada suatu hari.

"Kenapa? Bukankah ini justru suatu berkah buatku?"

"Aku khawatir, energimu terkuras, hingga membuatmu sakit. Kamu butuh berlibur. Bagaimana jika kita besok pergi ke pantai? Mumpung libur. Ajak serta Intan."

"Sungguh tanggung, San. Ide tak akan datang dua kali. Jika ia tak disalurkan, akan menguap diterpa angin. Bagaimana jika minggu depan saja?" jawabku.

Memang, ide ini telah ada di pelupuk mata. Sungguh sayang, jika dilepas begitu saja. Tanpa menengok, aku tetap melanjutkan tarian yang kucipta. Kebahagian terjelma, saat tarian ini selesai dan besok akan aku ajarkan saat murid-muridku datang di studio.

Aku tahu, Sandi kecewa. Aku telah membuatnya khawatir. Seringkali aku tidak memenuhi keinginannya untuk pergi berdua. Bukan apa-apa. Aku merasa waktu terbuang percuma hanya untuk sekedar jalan dan makan. Sesekali bolehlah. Asal tak terlalu sering dan tiap minggu. 

Aku menyayangi jiwa tarian. Sebenarnya aku ingin kedua-duanya berjalan tanpa kendala. Tetapi kadang Sandi suka merajuk. Padahal ia sendiri juga punya jiwa seni dan aku belajar darinya. Rupanya ia beberapa kali merasa stagnan.

Sandi sekarang memang fokus ke hal lain. Ia berbisnis ternak. Yang sangat jauh dengan hobinya dulu. Menari. Pantas saja dulu ketika aku pertama kali datang dari belajar tari di negeri tetangga, tak kutemui lagi sanggar tarinya. 

Ia merasa kehilangan sebagian nyawanya di tarian ketika aku pergi selama tiga tahun. Akhirnya ketika teman kuliahnya menawari bisnis ternak, ia mengiyakan. Sandi yang sarjana peternakan, merasa mendapatkan jalurnya kembali untuk menekuni bidang peternakan. 

Sandi kadang masih ikut menari, melatih anak didikku di Sanggar Icha. Tidak sering, hanya ketika waktu sela, dan saat ia kangen dengan tarian.

Aku sering memandangnya tak putus ketika ia menari. "Inikah lelaki yang aku cintai?" tanyaku dalam hati kepada diriku sendiri. Sosok yang baik dan amat mengertiku. 

Lalu aku melihat diriku sendiri. Sungguh sangat kontras dengannya. Aku lebih bersifat egois dan jarang mengertinya. Bodohnya aku. 

Itu disebabkan karena aku memiliki cita-cita tinggi, ingin membesarkan sanggar. Dan bakat yang aku miliki, tak bisa kubendung. Apakah salah jika aku lebih fokus ke sanggar?

Beberapa kali Sandi meminangku dan aku mengatakan belum siap. Bukankah sebuah persiapan pernikahan juga membutuhkan banyak hal? Belum lagi aku memikirkan Intan. Ia masih membutuhkan biaya yang banyak untuk sekolahnya. Intan menjadi tanggung jawabku penuh sejak papa mama tiada. 

Untunglah Intan sangat dewasa dan sering membantuku di sanggar. Ia juga memiliki bakat sepertiku. Tetapi ia bercita-cita menjadi ahli obat. Ia ingin kuliah di Farmasi. Pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Aku bagai orang tua pengganti untuk Intan. Bahkan sering mencemaskan Intan. Juga pergaulan dengan teman-temannya. Tak jarang aku menasehati agar ia tetap menjadi anak yang santun. Padahal Intan anak yang baik. Ia sering memprotes atas proteksiku. 

"Kak, aku bisa jaga diri, okay? Kakak nggak usah terlalu cemas, deh."

"Kau adikku satu-satunya. Dan orang tersayang yang aku punya, Intan. Please deh, ngertiin kakak."

"Baiklah kakakku yang bawel." katanya sambil pura-pura marah.

Dan pasti perbincangan itu berakhir dengan gelak tawa bersama. 

***

Hari ini Sandi merajuk lagi. Ia ingin kepastian, kapan akan meresmikan pernikahan denganku.

"Umurku sudah tak muda lagi, Icha. Jika ditunda terus, nanti keburu tua," katanya sambil bercanda. Tentu saja aku bingung. Dilema. Antara ia dan kehidupanku. Aku masih ragu. Apakah setelah menikah, aku bisa all out ke tarian sekaligus rumah tangga?

Aku percaya, Sandi pasti memberikan waktu penuh untukku di tarian. Tetapi, aku meragukan diriku sendiri. Apakah aku mampu memegang semuanya? Mengurus semua tanpa salah?

"Kasih aku waktu berpikir. Aku masih bingung. Aku masih meragukan diriku sendiri, apakah mampu atau tidak, San."

"Hei, ayolah. Kita belajar bersama sambil jalan. Pasti bisa, Icha."

Tetapi aku tetap kukuh untuk meminta waktu sekali lagi. Sandi sangat kecewa. Terlihat dari raut wajahnya.

"Maafkan aku, San. Aku masih merasa belum mampu," seruku dalam hati.

***

Setelah kejadian itu, Sandi seperti menjauh. Kunjungan ke rumah semakin berkurang. Bahkan ia sudah jarang bertandang ke sanggar untuk melihat anak-anak menari. Ketika kutanya, ia berkata sibuk. Bisnis yang ia jalankan baru membutuhkan perhatian penuh. Apalagi beberapa pegawainya sering tak masuk, karena berbagai alasan. Pening, katanya.

Hari ini Sandi berkunjung. Aku bahagia, merasa kangen karena lama ia tak berkunjung. 

"Sandi, gimana kabarmu? Tambah kurusan dikit ya?"

Ia hanya sedikit tersenyum, seperti beban yang berat. Pasti karena urusan pekerjaan. Aku mendukung penuh bisnisnya. Bukankah ini juga demi masa depan berdua?

Sandi terlihat kaku. Ia seperti menahan emosi. 

"Ada apa, San?"

Akhirnya, keluar juga perkataannya. 

"Icha, aku rasa kita sudah tak sejalan." kata Sandi.

Deg!

Wajahku pias. Inikah yang ia pendam? Ingin mengatakan hal ini? Sungguh tidak adil. Ya, ya. Memang selama ini aku egois dan tak memikirkannya. Kadang suka ngeyel waktu ia memberi nasehat kepadaku. Tapi aku tetap mencintainya, bukan? Apakah sebuah cinta itu tak cukup?

Ada juga sebongkah kesetiaan yang aku berikan padanya. Aku cinta dan setia. Tak cukupkah?

Tak sepatah kata keluar dari mulutku. Aku seperti terkunci dan tak bisa berkata. Hanya sebuah tatapan kecewa yang kutujukan kepada Sandi.

Semarang, 10 Desember 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun