Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Roti Itu dan Luka yang Menganga

9 Oktober 2019   17:00 Diperbarui: 10 Oktober 2019   19:32 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sepotong roti. Sumber: Unsplash.com/ Jonathan Pielmayer @jonathanpielmayer

"Ter..." serunya.
Aku tersentak.
"Apa?"

"Aku sebenarnya tidak gila, tapi mereka mengatakan bahwa aku gila. Aku banyak bertemu dengan teman-teman lama kita. Tapi sepertinya mereka menjauhiku. Aku masih ingat nama mereka. Tapi setiap bertemu mereka, mereka pura-pura tak mengenalku. Memang tidak semua, bahkan sering mereka memberiku uang atau makanan. Tapi mereka berlalu, seperti mengusirku. Tidak seperti kamu, mau kuajak ngobrol."

"Sudah, teruskan ceritamu."

"Aku sering mendengar suara-suara aneh, mendengung di telingaku. Aku sering mengelaknya, tapi suara itu terlalu kuat. Mereka memanggilku agar datang pada suatu tempat di sana. Aku harus bagaimana? Suntuk aku. Huh." keluhnya.

Aku juga paham tentang ini. Itu mengapa orang sering bilang bahwa ia berbicara sendiri. Bahkan saat penyakitnya kambuh, ia sering berteriak keras, memanggil sebuah nama lalu seperti tak bisa menahan emosi, ia memukul semua barang yang berada didekatnya. Tentu saja orang yang berada di sekitarnya menjauh ketakutan.

"Ter, kau mau makan denganku sebentar saja, di warung pojok seberang jalan? Aku yang traktir." katanya mulai melantur. Tak mungkin ia mentraktirku. Kutolak halus ajakannya.

"Har, terima ini. Pakailah dengan benar. Buat beli makan. Jangan kau belikan rokok, ya. Ada baiknya kau harus berhenti merokok. Janji padaku."

Ia menerima pemberian dengan ekspresi datar.

Ya Tuhan, semoga lukanya cepat sembuh, batinku. Aku percaya, ia memiliki rezeki, dimanapun berada. Dan aku tak mengharapkan ia datang kembali dalam waktu dekat.

"Baiklah, makasih ya. Kau sungguh baik hati." katanya sambil berlalu.

Meninggalkan diriku di sudut taman. Tanpa pamit. Ia membuka pagar dan menutupnya kembali. Pergi.

Semarang, 9 Oktober 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun