Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dia yang Mengisi Hati

6 Januari 2019   08:05 Diperbarui: 6 Januari 2019   08:56 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dok. Wahyu Sapta

somebody please stop the moon from falling down,
cause I'm falling in love tonight,
cause I'm falling in love with you.

Aku memandang rembulan yang membundar. Aku membayangkan dirimu, pun sedang memandang rembulan yang sama, di tempatmu berada. Barangkali memang tak ada alasan untuk membencimu. Aku tak tahu, alasan apa yang harus aku pakai untuk mengatakan bahwa aku tak lagi bisa dekat denganmu. Kamu terlalu sempurna untukku, sedang aku tidak. Setidaknya itu menurutku.

Aku bukanlah seorang yang sempurna, yang bisa melengkapimu. Sebongkah cemburu selalu menyertaiku, sedang dirimu selalu meyakinkan aku untuk percaya padamu akan cintamu.
Aku dilanda dilema. Satu sisi hatiku mengatakan bahwa sebaiknya aku melupakanmu dan tak usah kuratapimu, karena dalam bercinta, dirimu tak juga mau terikat. Itu menurutku.

Sedang di sisi lainku mengatakan bahwa alangkah indahnya bila aku meratapi orang yang patut kuratapi karena dirimu adalah kekasihku, yang patut juga kurisaukan. Sedikitnya ada rasa terhibur hatiku karena telah meratapi orang yang aku cintai. Yaitu dirimu.

Apakah aku benar mencintaimu? Atau hanya sebatas karena terpesona? Entahlah, tapi dirimu juga tak pernah memastikan bahwa cinta kita akan di bawa ke mana arahnya.

***

Cahaya, cahaya! Biarlah ia bersinar di hati kita,
betapa gelap pun dunia.
Biarlah ia memancar di hati kita,
betapa suram pun segala ufuk angkasa.

O, o, aku tak pernah mencintaimu, tapi aku mencinta diriku sendiriku yang ada pada dirimu. Bahwa sebagian dari dirimu adalah aku, dan sebagian dariku adalah dirimu. Itu yang segera aku minta. Tapi nyaris tak bisa, mengapa? Kau mengatakan bahwa diriku telah melekat dan tak bisa dipisahkan dengan segera.

Bilapun bisa, akan menimbulkan kesakitan yang teramat pedih. Kamu mengatakan tak mau merasakan kepedihan itu. Kamu mengatakan tak mau terluka. Lalu bagaimana dengan aku? Tentu saja kejadiannya akan sama bukan?

Bukankah luka itu akan beranjak pergi seiring waktu, yang akan membalut luka itu dengan baik. Tapi kamu mengatakan tak mampu. Baik, baik, aku akan menunggumu hingga mampu, meski sakit terlanjur mendera dengan sangat pelan dan pedih karena uluran waktu berjalan pelan. Lalu apa sebab tak jua berkata, aku ingin bersamamu selamanya? Aku menunggu kata itu darimu.

***

Kasih tinggalkanlah diriku tuk selamanya,
Biarkanku sendiri, cukup bagi diriku untuk melukai hatimu,
Tak perlu kamu memohon kepadaku tuk kembali,
Tiada ada lagi ruang lagi di hatiku yang tersisa untukmu.

Betapa ini suatu kebetulan, keindahan yang diagungkan olehmu berangsur menyurut. Kamu akan terus berjalan, sementara aku diam saja. Bagai sebuah batu yang teronggok di sebuah tempat yang indah meski perih di rasa. Di dera sebuah dingin dan angin yang menerpa, tak mampu menggoyahkan tempatku berada. Tak terusik perasaan apapun yang kamu bangun dengan sepotong hati yang tersisa.

Makin membumbung rasa yang pedih ini. Hembusan katamu, yang mengatakan aku cinta kamu, tapi tak pernah bersemanyam lama, hanya sebentar dan pergi. Berhentilah sejenak, aku memohon padamu, berhentilah sejenak, agar aku bisa merapatkan hati, lalu mengatakan pula, kamu adalah belahan jiwa. Aku tak akan berpaling darimu. Hanya kamu.

Adakah waktu yang tak berbatas untukku, untuk merasa bahagia, saat aku jatuh cinta, saat aku terbang jauh ke sana, selalu denganmu. Maka saat aku mengatakan kamulah matahariku, kamulah cahaya bulan bagiku, saat itulah kamu ada di sisiku, di pelukku. Hanya saja, itu tak pernah ada.

O, tak sanggup, aku tak sanggup.

Kecuali embun malam, aku telah terlanjur membencinya. Aku terlanjur membenci kebahagianmu. Aku terlanjur membenci kebinasaan larutnya cintamu, sedang aku sulit melupakanmu. O, betapa aku tak sanggup. Apa arti keabadian bagi kita? Terlalu dalam rahasianya. Cinta, sekali menyala, begitu terbentang menuju binasa.

O, aku tak sanggup, tak sanggup. Aku tak sanggup melukaimu terlalu dalam. Kau begitu sempurna, sedang aku tidak.

Dulu, saat matahari terbenam,
Seakan dirimu tampak olehku,
Bagai turun dari langit yang memerah, memelukku,
Hingga larut cahaya disergap malam,
Betapa manisnya dirimu.

***

Malam makin larut. Denting menutup layar laptopnya. Hari ini, sedianya ia menyelesaikan cerita yang membuatnya terlarut di dalamnya. Tetapi ia segera tersadar. Ia teringat kekasihnya. Mengajaknya bertemu besok. Ia akan dipertemukan dengan calon mertuanya. Bahagianya ia.

Dan ia harus segera tidur. Agar tak terlambat besok.

Kekasihnya adalah seorang yang mampu menaklukkan hati. Yang mengisi harinya dengan kesempurnaan. Ia berharap bahwa, tak seperti dalam cerita yang ia buat, yang kadang-kadang membuatnya sedih. Kekasihnya bisa membuatnya bahagia.

***

Kriiiiing....

Nah, kan. Panggilan itu dari kekasihnya. Segera ia bersiap untuk menemuinya. Ia mencintai kekasihnya.

"Denting, hari ini kau cantik sekali."

Melambung hati Denting.

***


Semarang, 6 Januari 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun