Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saya Menyebutnya "Reinkarnasi Romantisme" di Pagi yang Cerah

16 Juli 2018   12:44 Diperbarui: 16 Juli 2018   14:33 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah tempat yang sangat indah. (Dokpri).

Suatu pengulangan romantisme dari orang tua yang saya coba reka ulang. Dari cerita yang mengendap di relung hati, dari suatu tempat pertemuan awal mula sebuah romans dua hati yang berkembang menjadi beberapa hati. Pertemuan yang tetap dalam satu hati satu romans, hingga mereka menikah, memiliki anak, dan selalu rukun hingga ajal menjemput. Suatu cerita yang menyentuh hati saya, dan bisa menjadi suatu cermin positif bagi anak-anaknya.

Pernah suatu hari, orang tua saya bercerita, tentang awal pertemuan mereka adalah di sebuah danau. Bukan danau alami melainkan sebuah waduk di daerah Gembong Pati Jawa Tengah. Pada saat itu, mereka mendapat ikatan dinas sebagai pengajar sekolah di sana. Dari sanalah mengalir sebuah cerita romans yang berakhir pada sebuah pernikahan yang sakral. Meskipun beberapa tahun kemudian, mereka pindah ke kota Pati. Dan membesarkan anak-anak mereka di kota Pati, tak lagi di desa Gembong.

Ibu saya berasal dari Semarang, mendapat tugas di sana. Sedangkan bapak berasal dari kota Pati, juga mendapat tugas di sana. Mungkin sudah jodoh, maka terjadilah pertemuan mereka.  

Foto pernikahan bapak dan ibu saya. (Dokpri).
Foto pernikahan bapak dan ibu saya. (Dokpri).
Dari cerita mereka, zaman dulu, jika pedekate, selalu beramai-ramai. Bahkan kadang tidak ketahuan jika sedang saling suka. Maka saat memutuskan menikah, akan memberikan kejutan pada kawan-kawannya. Berbeda dengan cerita romans zaman now ya, ataupun zaman saya, zaman kakak saya, atau zaman adik saya. Setiap generasi tahun, pasti akan memiliki cerita yang berbeda-beda, dalam segala hal.

Nah, dari cerita tersebut itulah, ketika saya berkunjung ke daerah Gembong Pati, seolah-olah saya menemui reka ulang kisah romans mereka. Hahaha...saking menjiwai kisah mereka mungkin ya. Sehingga saya menyebutnya, "reinkarnasi romantisme". 

Kisah romantisme dari orang tua, yang seperti terlahir kembali dengan auranya. Seolah-olah mereka ada di dekat saya. Kisah mereka hadir memberi semangat kepada saya, mendampingi saya, menuntaskan rasa kangen saya kepada mereka. Karena sekarang mereka telah berada di alam lain. Saya hanya bisa menemui mereka dalam kenangan cerita yang indah. Kasih sayang mereka masih ada, untuk anak-anaknya. Menjadikan kisah yang menjadi teladan bagi saya dan saudara-saudara saya.

Gembong Pati Jawa Tengah, adalah sebuah daerah yang berlokasi di sebelah selatan kota Pati. Masuk dalam wilayah Kabupaten Pati. Jika menurut orang tua saya, zaman mereka masih muda dulu, untuk menuju lokasi sana, jalannya masih jelek dan bebatuan. Berbeda dengan zaman sekarang sudah aspal dan mulus. Jalan lebar dan akses sangat mudah. Ya iyalah. Tentu saja. Sudah sejak tahun 80-an, akses menuju sana sudah gampang. Apalagi sekarang.

Saya berkunjung ke Waduk Gembong yang menurut cerita orang tua saya merupakan tempat yang istimewa. Dan benar saja. Ketika saya sampai di sana pada pagi hari, saya bertemu Sunrise yang sungguh membuat saya takjub. Pemandangan indah ciptaan Allah SWT, membuat saya semakin kecil di hadapan-Nya. Sungguh besar Kuasa-Nya.

Srengenge mletek (matahari terbit) yang baru saja naik tertutup oleh awan, memunculkan sinarnya di sela-sela awan. Membuat air yang ada di waduk membiaskan sinar mentari pagi seolah bercermin. Warna oranye terbias sempurna. Belum lagi nelayan mencari ikan dengan sampan kecilnya, sedang melempar jaring ke tengah danau. Suatu pemandangan mewah yang saya temui saat itu. Mereka tidak menggunakan perahu bermesin melainkan sampan kecil yang di dayung. Berapa mereka membawa pulang ikan hasil menjaring untuk dijual.

Srengenge mletek yang baru saja naik tertutup awan, memancarkan sinar, yang terbias di air. Indah sekali. (Dokpri).
Srengenge mletek yang baru saja naik tertutup awan, memancarkan sinar, yang terbias di air. Indah sekali. (Dokpri).
Seorang nelayan dengan sampan kecilnya, bersiap melemparkan jaring ke tengah waduk. (Dokpri).
Seorang nelayan dengan sampan kecilnya, bersiap melemparkan jaring ke tengah waduk. (Dokpri).
Nelayan membawa pulang hasil tangkapannya. (Dokpri).
Nelayan membawa pulang hasil tangkapannya. (Dokpri).
Pinggiran waduk, dengan hijau rerumputan liar. Beberapa bunga liar berwarna ungu dan kuning memberikan semburat kemewahan di tepi waduk. Indah sekali. Keheningannya, sesekali terpecah oleh suara kicau burung liar yang sedang melintas. Panas belum begitu terik, angin sepoi datang membawa kesejukan udara pagi yang masih alami. Pagi itu benar-benar membuat saya refresh.

Semburat warna ungu dari bunga liar tepi waduk, sungguh suatu kemewahan bagi saya. (Dokpri).
Semburat warna ungu dari bunga liar tepi waduk, sungguh suatu kemewahan bagi saya. (Dokpri).
Puas rasanya menangkap mereka dalam sebuah kamera. Mengabadikan keindahan dalam kamera handphone saya yang sederhana. Sesuai keinginan dan imajinasi saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun