Mohon tunggu...
Wahid kurniawan
Wahid kurniawan Mohon Tunggu... Penulis - Pengarang

Insya Alloh akan jadi seorang writer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Serigala

13 Juli 2019   14:47 Diperbarui: 13 Juli 2019   15:01 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/

Mereka mengatakan, aku bukan anak manusia. Tapi anak setan, iblis, atau keturunan Genderuwo. Dan aku kira, itu cukup beralasan mengingat penampilanku sedikit berbeda ketimbang manusia pada umumnya. Sebab aku memiliki rambut halus yang lebih tebal ketimbang lelaki mana pun di dunia ini. Rambutku itu memenuhi sekujur pori-pori tangan, dada, dagu, sebagian wajah, dan di belakang leher. Warnanya hitam legam. Serupa rambut serigala.

Aku juga memiliki mata yang menyorot tajam seperti tatapan harimau yang menggetarkan. Di atas kedua mataku pun anggun bertengger alis yang cukup tebal. Dan itu jelas menambah kesan ngeri atas diriku. Lalu tak sampai di situ, sepasang gigi taringku tumbuh hingga mencuat dari mulut. Persis seperti vampir-vampir di mitologi Eropa. Aku juga tumbuh menjadi anak yang lebih menyukai gelap ketimbang ruang penuh cahaya. Kegelapan bagiku seperti pelukan Ibu yang selalu membuatku tenang dan enggan beranjak. Aku tidak suka sinar dan panas matahari. Aku hidup di malam hari, menyusuri malam-malam dengan sinar bulan dan keremangan lampu jalan.

Bahkan Ayah mengakui kalau aku anak setan, pernah juga memanggilku anak iblis, tapi belakangan lebih sering memanggilku dengan keturunan Genderuwo. Aku tak membenci Ayah hanya karena dia menganggapku bukan keturunannya. Sebab itulah yang selalu ditekan Ibu pada diriku. Ibu senantiasa mengingatkan, untuk jangan sampai membenci Ayah, betapapun pria itu memakiku puluhan kali dengan label seperti itu.

Dan aku menurut saja. Sebab bila diingat-ingat, Ayah tak terlalu terjun langsung dalam mengawasi pertumbuhanku. Sejak aku bisa mengingat sekujur ruangan rumah dan mengeja nama Ayah dan Ibu dengan benar,  aku amat jarang mendapati keterlibatan Ayah dalam keseharianku. Aku tumbuh menjadi anak yang seperti iya seperti tidak memiliki ayah. Sekali waktu, ia hanya memandangku sekalis, dengan mata yang enggan, sebelum berlalu pergi.

Ayah suka sekali pergi. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya itu. Ia bahkan sering meninggalkan kami di rumah selama berbulan-bulan lamanya. Namun Ibu tak pernah sekalipun memprotesnya. Ibu selalu terlihat baik-baik saja atas kebiasaan Ayah. Dan melihat laku Ibu demikian, aku pernah bertanya padanya suatu ketika, saat Ibu menemaniku tidur di kamar yang hanya bercahaya lilin:

"Ibu tidak kesepian?" tanyaku. Usiaku sepuluh tahun ketika itu.

"Hmm?"

 "Ibu tidak kesepian? Ayah kan jarang menemani Ibu. Ia pergi melulu."

Dan Ibu akan menjawabnya sambil mengelus rambutku dengan, "Kamu obat kesepian Ibu, Sayang."

Sejak itu aku tak pernah menanyakan lagi perihal hubungan mereka. Hingga aku tumbuh menjadi remaja yang kerap dirisak di sekolah, sampai aku jatuh cinta dengan seorang gadis untuk kali pertama di usiaku yang ke-empatbelas, Ayah tetap dengan laku sering perginya, dan Ibu juga masih berlaku dengan sikap segalanya baik-baik saja.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun