Oleh: Wafiqotun Nafisah
Pada 16 Mei 2025, suasana rapat paripurna DPRD Jawa Barat memanas ketika Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memutuskan melakukan aksi walkout. Tindakan ini dipicu oleh pernyataan Gubernur Dedi Mulyadi yang dianggap merendahkan martabat DPRD dalam forum Musrenbang di Kabupaten Cirebon. Aksi walkout ini membuka kembali perdebatan klasik: sejauh mana pejabat publik dan wakil rakyat mampu menyikapi kritik secara dewasa dalam sistem demokrasi?
Latar Belakang Ketegangan
Dalam kegiatan Musrenbang yang digelar pada awal Mei, Gubernur Dedi menyindir ketidakhadiran anggota DPRD Jawa Barat, dan menegaskan bahwa beberapa kebijakan pembangunan, terutama yang menyangkut infrastruktur desa, bisa diambil tanpa harus menunggu keputusan legislatif. Ucapan ini dianggap menyinggung kehormatan DPRD sebagai lembaga representatif rakyat yang seharusnya menjadi mitra eksekutif dalam perumusan dan pengawasan kebijakan daerah.
Menanggapi hal tersebut, Fraksi PDIP merasa dilecehkan secara institusional. Lewat juru bicaranya, Memo Hermawan dan Doni Maradona Hutabarat, fraksi ini menyatakan bahwa pernyataan Gubernur berpotensi merusak hubungan kemitraan antara eksekutif dan legislatif, serta mengaburkan fungsi kontrol DPRD dalam sistem pemerintahan daerah.
Aksi Walkout: Bentuk Protes atau Drama Politik?
Walkout adalah tindakan politik yang sah dalam sistem demokrasi. Ia merupakan bentuk penegasan sikap ketidaksetujuan yang disampaikan secara simbolik. Namun demikian, dalam konteks rapat paripurna --- yang notabene forum tertinggi pengambilan keputusan di legislatif --- walkout sering menimbulkan dilema etis. Di satu sisi, ia mempertegas penolakan terhadap sesuatu yang dianggap mencederai lembaga; namun di sisi lain, ia juga berpotensi menghambat jalannya pembahasan substansi yang menyentuh kepentingan rakyat.
Fraksi PDIP menjelaskan bahwa aksi walkout ini adalah bentuk pembelaan terhadap kehormatan institusi DPRD. Namun publik mungkin bertanya-tanya: apakah ini soal harga diri politik semata, atau ada konflik kepentingan yang lebih dalam?
Dimana Posisi Rakyat?
Yang menjadi perhatian dalam kasus ini adalah bagaimana persoalan jalan desa --- keluhan nyata warga di Cirebon --- berubah menjadi konflik antar-elit. Warga awalnya menyalahkan gubernur karena buruknya kondisi infrastruktur. Namun faktanya, tanggung jawab utama jalan desa justru berada di level kabupaten dan DPRD setempat. Dalam narasi yang berkembang, persoalan teknis ini malah berkembang menjadi adu pernyataan dan protes politik yang tidak langsung menyentuh inti masalah rakyat.
Artinya, persoalan real masyarakat malah tertutupi oleh tarik-menarik ego kelembagaan dan identitas partai. Ini menguatkan persepsi bahwa partai dan pejabat publik kadang lebih sibuk menjaga wibawa sendiri daripada menyelesaikan masalah nyata di lapangan.