Mohon tunggu...
Silvi Novitasari
Silvi Novitasari Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Lepas

Penyuka kamu, buku, senja, dan keindahan. Sempat jadi orang yang ansos, tapi akhirnya jadi orang sosial lewat tulisan. Bahkan menjadi sarjana sosial :D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Retrospektif, Biarkan Jiwa Hidup dalam Kenyataan di sini dan Kini

22 Oktober 2018   08:20 Diperbarui: 22 Oktober 2018   08:22 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Retrospektif bisa dikatakan sebagai kebiasaan-kebiasaan individu yang tergantung pada masa lalu. Masa lalu membuatnya tidak bisa terlepas dari setiap hal yang terjadi pada momen tersebut. Padahal itu merupakan kekeliruan yang tragis dan sering dianggap sebagai situasi belum selesai yang melekat dalam diri individu.

Saat individu menyadari adanya suatu momen yang belum selesai, adanya situasi yang tidak selesai, individu akan merasa tidak puas. Bahkan terus-terusan merasa dihantui dengan ingatan-ingatan yang membayanginya dengan gambaran kisah di masa lalu. Dan saat itu pula, jiwa dari individu akan ketergantungan terhadap situasi yang belum selesai itu.

Sedapat mungkin individu itu akan berusaha untuk menjadi sama seperti ingatannya tentang masa lalu, berangan-angan untuk mengulanginya lagi, atau tidak terlepas dari ingatan tentang situasi yang lalu itu yang akhirnya mengganggu kehidupannya sekarang.

Individu itu akan menjadi tidak peka. Kesadaran dirinya menjadi berkurang terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya. Dunia akan dengan mudah membawa dirinya, terbenam ke dalamnya, dan lupa pada kenyataan tentang hidupnya di sini dan kini.

Sumber: softbulldog
Sumber: softbulldog
Aku teringat salah satu pernyataan seorang ahli filsafat dan juga psikologi, Perls, di mana pernyataannya adalah seperti ini:

"Bayi itu tidak dapat bernapas sendiri. Ia tidak memperoleh lagi persediaan oksigen melalui plasenta. Kita dapat berkata bahwa bayi itu mempunyai suatu pilihan karena tidak ada pilihan dengan sengaja untuk berpikir apa yang harus dilakukan, tetapi bayi tersebut harus mati atau harus belajar bernapas..." (Perls, 1969:31)

sumber: meetdoctor
sumber: meetdoctor

Yap, saat bayi lahir, ia dihadapkan pada kematian atau pembelajaran. Mati, atau belajar bernapas. Tentu saja, saat dalam rahim, seorang bayi tergantung pada lingkungan rahim. Berdaya atau tidaknya janin (fetus) tergantung bagaimana yang mengisi daya padanya; lingkungan rahim, dan ibunya sendiri. Kemudian setelah ia dilahirkan, bayi harus berusaha sendiri, untuk mencari oksigen dan belajar bernapas.

Hal ini selalu mengingatkan aku tentang berbagai macam keharusan yang harus dilalui. Itu terlihat seperti pilihan, padahal, kita sudah tahu sendiri mana pilihan yang pantas untuk dipilih dan direalisasikan. Dari awal manusia menghirup napas dan lahir ke dunia, sudah dipaksa untuk belajar dan bertahan, ditambah tugas untuk menentukan pilihan agar bermanfaat bukan hanya jangka pendek, tapi untuk jangka panjang.

Dan kembali kepada pernyataan Perls, Ia juga pernah mengemukakan bahwa setiap individu, setiap tumbuhan dan setiap hewan hanya memiliki satu tujuan yang dibawa sejak lahir, yaitu mengaktualisasikan dirinya sebagaimana adanya. Semua dorongan, tingkah laku dan apapun yang dilakukan muncul dari usaha individu untuk menjadi dirinya sendiri, sebagai bentuk aktualisasi diri, dan itu menjadi kebutuhan.

Meskipun memang, tidak ada hierarki kebutuhan yang universal karena setiap orang mempunyai patokan-patokannya sendiri yang menentukan kebutuhan-kebutuhan mana yang akan menguasai di suatu situasi tertentu. Sebab terkadang kebutuhan bersifat situasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun