Mohon tunggu...
Syaripudin Zuhri
Syaripudin Zuhri Mohon Tunggu... Pembelajar sampai akhir

Saya senang bersahabat dan suka perdamaian. Moto hidup :" Jika kau mati tak meninggalkan apa-apa, maka buat apa kau dilahirkan?"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi yang Dulu

19 September 2025   15:38 Diperbarui: 19 September 2025   15:38 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Jokowi yang Dulu

Oleh: Viraysmaut

Ini kisah lama, kisah 2014, 11 tahun lalu, kisah ketika pilpres, yang mau tak mau masih membekas sampai sekarang, dan memang sudah menjadi catatan sejarah tentang kepresidenan. Salah satu “keajaiban ” telah muncul di Indonesia. Dan itu tak terduga oleh seluruh rakyat Indonesia pada mulanya, dan tidak menyangka, kalau keajaiban itu bisa muncul, sampai yang orang yang terdekatpun, tak bisa menebak, kok bisa ya?

Bahkan para politikus-politikus yang mencoba-coba menghalanginya atau yang merendahkannya dengan kata-kata nyinyir, seperti istilah tukang kayulah, anak koslah, wajah kampunglah dan sebagainya, kini politikus “penjilat” tersebut tersebut telah “bertekuk lutut” padanya. Dan memuji-mujinya. Siapa yang menjadi “keajaiban” itu? Siapa lagi kalau bukan Presiden Jokowi.

Mengapa Jokowi menjadi salah satu “keajaiban? Coba mari kita mundur sejenak melihat presiden-presiden yang sebelumnya, dari presiden RI pertama sampai yang ke enam, dari mulai Bung Karno, Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY. Yang ketika menjadi presiden orang maklum adanya, dan bisa diprediksi sebelumnya atau jauh-jauh hari.

Lihat sepak terjang Bung Karno, sebelum menjadi presiden adalah tokoh nasional yang sudah jatuh bangun atau berjuang demi kemerdekaan Indonesia, dan dengan tekadnya yang membaja, sampai harus ke luar masuk penjara, ini baru masuk penjara yang perlu diacungkan jempol, karena masuk penjaranya bukan korupsi, tapi membela bangsa ini dari penjajah Belanda.

Beda dengan politikus-politikus sekarang, masuk penjara karena korupsi, bukan karena membela rakyat! Dan celakanya menimpa semua partai yang ada sekarang, sehingga rakyat dibuat tak percaya lagi pada partai, sedangkan sebuah negara demokrasi harus ada partainya, sebuah dilema yang tak terpecahkan sampai saat ini.

Kembali ke Bung Karno, nah sudah wajarlah kalau Bung Karno ketika merdeka, diangkat menjadi Presiden RI, hanya satu hari setelah proklamasikan kemerdekaan Indonesia, tepatnya Bung Karno disyahkan menjadi presiden RI pertama pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Jadi Bung Karno adalah salah satu Presiden yang diangkat oleh hanya beberapa orang saja, namun diakui oleh seluruh bangsa Indonesia. Ya lagi-lagi dapat dimengerti, bahwa saat itu Indonesia baru berdiri, belum ada MPR, apa lagi menyelenggarakan Pemilu, ya tentu saja mustahil. Dan penyelenggaraan Pemilu baru terwujud pertama kali di Indonesia setelah sepuluh tahun kemudian, setelah Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1955.

Lalu bagaimana naiknya Suharto menjadi Presiden RI, terlepas dari peristiwa G 30 S PKI, Suharto adalah presiden RI terlama, tak kurang dari 32 tahun. Sampai-sampai ada anekdot pengalaman kerja Suharto adalah menjadi presiden, tak ada yang lainnya. Dan di bawah kekuasaannya pemilu memang diadakan berkali-kali, rutin setiap lima tahun sekali, dan orang di jaman Orde Baru itu sudah bisa menduga hasil pemilu, mengapa?

Karena partai manapun yang menang Suhartolah presidennya, dan dengan rekayasa sedemikian rupa, Golkar, yang belum menjadi partai saat itu, menang terus menerus secara berturut-turut, karena ini partai pemerintah, yang asas pemilunya pada saat itu hanya LUBER, langsung, umum, bebas dan rahasia, belum JURDIL, jujur dan adil, Maka wajarlah dan sudah bisa ditebaklah Suharto akan menang Pemilu, karena Pemilunya bohong-bohongan alias tidak demokratis. Wah kalau dibahas akan panjang.

Kemudian bagaimana dengan Habibie, ini juga presiden yang sudah bisa diduga sebelumnya, karena menurut UUD 45 apabila presiden berhalangan tetap, mundur atau misalnya sakit yang menahun, meninggal dunia dan lain sebagainya, maka yang menggantikannya adalah wakil presiden, sampai akhir masa jabatan presiden tersebut.

Nah saat Suharto mundur menjadi presiden pada tanggal 21 Mei 1998, maka otomatis Habibielah yang menggantikannya, karena waktu itu Habibie jabatannya adalah wakil presiden, walaupun tidak dikehendaki oleh Suharto dan kroninya. Sampai-sampai Habibie diboikot oleh kroni Suharto, padahal ketika Suharto menjadi presiden Habibie adalah “anak emas “ Suharto, Habibielah satu-satunya menteri yang terus menerus menjadi menteri dan menduduki jabatan-jabatan yang strategis lainnya, namun nasib berkata lain.

Bagaimana dengan Gus Dur, kalau ini adalah “kecelakaan sejarah” sampai-sampai Gus Dur punya anekdot sendiri tentang dirinya menjadi presiden yaitu “presiden pertama gila wanita, presiden kedua gila harta, presiden ketiga gila tehnik, nah presiden keempat, pemilihnya yang gila!” Sambil Gus Dur tertawa terkekeh-kekeh.

Gus Dur menjadi presiden memang “kecelakaan sejarah” apa boleh buat, dari pada Indonesia terpecah belah dengan arus politik yang berdarah-darah, maka untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia dipimpin oleh orang, maaf, cacat fisiknya, namun mulia hatinya. Gus Dur presiden unik, presiden RI yang sangat egliter, di masanya Istana menjadi benar-benar rumah rakyat.

Bagaimana dengan Megawati? Ini presiden yang “ketiban pulung”, inilah presiden yang bapaknya presiden juga, Bung Karno. Jadi bisa diduga atau pantaslah Megawati menjadi presiden, walau bukan hasil pemilu, karena kalau hasil pemilu Megawati tak akan pernah dipilih rakyat. Megawati menjadi presiden karena Gus Dur diturunkan oleh MPR dengan berbagai alasan politik pada saat itu. Buktinya dua kali pemilu, 2004 dan 2009, Megawati kalah telak dengan orang sama, SBY. Padahal SBY bekas anak buahnya ketika Megawati menjadi presiden.

Kemudian SBY, dengan era reformasi, SBY diuntungkan, karena saat itu menjadi orang yang “dikecilkan” pihak lain, bahkan dihina seperti “Anak TK” oleh suaminya Megawati. Padahal SBY seorang Jenderal. Itulah politik, SBY yang mendirikan Partai Demokrat menang dua kali saat Pemilu langsung, 2004 dan 2009, jadilah SBY presiden dengan dua masa priode yang diizikan UUD 45 setelah diamandemenkan, kalau tidak, mungkin SBY dipilih lagi oleh rakyat untuk ketiga kalinya atau maju lagi menjadi capres patahana di Pemilu 2014 lalu, tapi karena aturan yang tak membolehkan, maka munculah “kejaiban “ di Indonesia, ini dia, Jokowi.

Bayangkan, Jokowi bukan ketua partai, Jokowi bukan pemilik pertai, hanya anggota biasa di PDIP. Jokowi juga bukan anak presiden seperti Megawati, yang diuntungkan oleh bapaknya, Sukarno. Jokowi juga bukan pemimpin ummat yang anggota puluhan juta orang, seperti Gus Dur. Jokowi juga bukan wakil presiden sebelumnya, seperti Habibie, sehingga dengan mudah menjadi presiden. Dan Jokowi juga bukan seorang Jenderal dengan empat bintang di atas pundaknya.

Jokowi hanya orang biasa, orang kampung, yang wajahnya ngedeso. Yang kata orang, wajah yang tak pantas menjadi presiden RI. Jokowi juga hanya seorang anak desa, yang rumahnya dimasa kecil di pinggiran sungai, di Solo. Jokowi orang yang sederhana, dengan pengalmana politik nasionalnya juga sedikit. Bisa anda bayangkan, seorang yang tak punya pengalaman politik nasional, belum pernah menjadi menteri biasa, menko bahkan juga tak pernah menjadi wakil presiden, namun semua itu tak menjadi halangan bagi Jokowi ke pentas nasional.

Jadilah Jokowi kini seorang presiden, yang ketika Pemilu 2014 lalu, boleh dibilang, berusaha “dijegal” sedemikian rupa, sehingga pengumuman pemenang Pemilu menjadi begitu alot, dan rakyat dibuat “sport jantung” menahan gejolak politik yang benar-benar membuat semua jantung rakyat berdebar-debar, dan ketika akhirnya Jokowi dinyatakan sebagai pemenang, walaupun tipis, pemenang tetap pemenang, maka sorak sorailah seluruh rakyat Indonesia, gema ceria membahana di seluruh negeri, menyambut presiden baru, menyambut Indonesia baru dan menyambut” keajiban” baru, Jokowi!

Itu dulu, periode pertama, 2014-2019, namun diperiode ke dua, 2019-2024, lain lagi ceritanya, bahkan setelah lengserpun  Jokowi makin manjadi-jadi, dan di medsos Jokowi seperti menciptakan dua kubu  yang saling bertolak belakang, antara yang pro Jokowi dengan yang kontra Jokowi. Jagat perpolitikan semakin ramai, padahal sekarang ( 2024-2029 ) Presiden RI adalah Prabowo, tapi kenapa Jokowi masih cawe-cawe? Kapan berakhir? Nanti disambung lagi.

Jakarta, 19 September 2025

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun