Mohon tunggu...
Viona Amandella Santosa
Viona Amandella Santosa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Siapapun bisa jadi Apapun.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tonic Immobility, Mengapa Korban Kekerasan Seksual Seringkali Tidak Dapat Melawan

17 November 2020   22:51 Diperbarui: 17 November 2020   23:24 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: livingresilientlyblog.wordpress.com

Semakin maraknya kasus penyerangan kekerasan seksual di Indonesia dan juga kebiasaan masyarakat Indonesia yang selalu menyalahkan korban atas kejadian ini menyebabkan sebagian masyarakat di Indonesia pada umumnya seringkali bertanya-tanya kepada korban kekerasan seksual, mengapa ia tidak  melawan ataupun berteriak mencari pertolongan serta berusaha membebaskan diri dari ancaman yang datang ketika mendapat penyerangan dari perilaku. 

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini seringkali menjadi konsumsi bagi masyarakat di Indonesia bahwa korban pemerkosaan seharusnya bisa melawan atau melakukan sesuatu agar dapat menyelamatkan diri dari upaya pemerkosaan. 

Pada sebagian masyarakat, pihak kepolisian maupun lembaga hukum negara menjadikan perlawanan korban sebagai salah satu tanda atau bukti kasus pemerkosaan yang dilaporkan diklasifikasikan sebagai kasus pemerkosaan. 

Tapi, bagaimana dengan korban pemerkosaan yang melaporkan kasus yang ia alami namun tidak dapat memberikan bukti yang jelas terkait perlawanan yang ia lakukan karena tidak cukup kuat bukti yang diberikannya. 

Dalam konteks ini, seringkali masyarakat tidak percaya pada korban kekerasan seksual yang mendapatkan tindak kejahatan tersebut hanya karena korban terkesan tidak melawan. Sehingga masyarakat berasumsi bahwa korbanlah yang salah karena dianggap menggoda, sama-sama menikmati, bahkan mengira korbanlah yang memancing pelaku sampai dapat berbuat sedemikian rupa.

Padahal faktanya, kondisi ketidakmampuan korban untuk melindungi diri atau mencari bantuan, termasuk salah satunya penyerangan kekerasan seksual atau pemerkosaan merupakan kondisi yang dapat terjadi pada siapapun dan kapapun jika mengalami hal traumatis berat atau kejadian mendadak yang kenyataannya tidak dapat diterima oleh korban. 

Seringkali kita mendengar penjelasan dari pihak korban bahwa saat dirinya mendapat penyerangan mendadak seperti itu badan mereka seketika kaku dan tidak dapat digerakkan. Hal itu benar-benar ada pada tubuh manusia secara alamiah, atau dapat dikenal sebagai tonic immobility di dunia kedokteran.

Tonic immobility adalah sebuah kondisi imobilitas tonik atau pengahambatan pergerakan yang ditandai dengan imobilitas verbal, gemetar, kekakuan otot, sensasi dingin, mati rasa dan ketidakpekaan  terhadap rasa sakit yang distimulasikan oleh tubuh. 

Tonic immobility merupakan reaksi defensif secara biologis atau kelumpuhan sementara yang terjadi pada saat seseorang merasakan ketakutan yang luar biasa atau ketika sedang dalam keadaan terancam, salah satunya pada kasus penyerangan kekerasan seksual. Ketika rasa takut itu begitu memuncak, amygdala (salah satu bagian otak) membajak otak kita yang lainnya sehingga kita tidak dapat bergerak, namun tetap sadar secara penuh.

Pada kasus penyerangan kekerasan seksual atau pemerkosaan, banyak korban yang melaporkan perihal hilangnya kemampuan korban untuk berteriak atau melawan. Sebuah fenomena yang sebelumnya dinamai sebagai "rape-induced paralysis" atau kelumpuhan akibat pemerkosaan. 

Namun, dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa pelaku pemerkosaan akan bereaksi jika korban melakukan perlawanan sedikit banyak sama dengan predator bereaksi pada mangsanya jika mangsanya melakukan perlawanan.

 Secara spesifik, bagi beberapa pelaku, perlawanan yang diberikan korban akan menimbulkan kemarahan bagi diri pelaku yang berujung pada kekerasan fisik yang dapat lebih membahayakan korban bahkan sampai dapat menyebabkan pembunuhan pada korban.

Para peneliti juga mengasumsikan pada saat kekerasan seksual berlangsung, sekitar sepertiga dari korban penyerangan kekerasan seksual akan berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan berbagai macam perlawanan seperti memukul pelaku, berlari, berteriak atau memohon pada pelaku untuk tidak melaksanakan aksinya tersebut dan mencari pertolongan lain. 

Ikut menyalahkan korban atas musibah yang mereka terima, maka kamu termasuk menyerang korban sebagai pelaku pasif kekerasan. Karena pada dasarnya tidak setiap orang yang mengalami pelecehan seksual seperti pemerkosaan tidak dapat bereaksi langsung melawan. Hal ini terjadi karena mereka mengalami kelumpuhan sementara yang mereka alami.

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Galliano ( 1993 ) yang melibatkan 35 korban penyerangan kekerasan seksual, 37% dari total korban tersebut melaporkan bahwa mereka merasa lumpuh dan tidak dapat bergerak atau mengendalikan diri saat penyerangan berlangsung. 

Penelitian lainnya oleh Heidt (2004) melibatkan perempuan korban kekerasan seksual pada masa anak-anak ( Child Sexual Abuse ) melaporkan 52% dari korban mengalami kondisi tonic immobility pada saat kekerasan seksual terjadi. Kemudian pada tahun 2007,  Fuse mempelajari kemunculan tonic immobility pada 191 perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual dan melaporkan setidaknya ada 41.7% responden yang merespon kejadian trauma yang mereka alami dengan tonic immobility taraf sedang seperti badan seketika membeku, dan 10.4% lainnya dengan tonic immobility taraf ekstrem seperti kelumpuhan total mendadak. 

Meskipun demikian, pada kenyataannya tonic immobility tidak hanya terjadi pada korban penyerangan kekerasan seksual saja, namun dapat juga terjadi pada kejadian-kejadian yang menimbulkan trauma mendalam lainnya. Akibat efek dari imobilitas atau pembekuan yang tidak disengaja dalam tubuhnya ini korban menjadi 2 kali lebih rentan terkena depresi, kecemasan, dan gejala post-traumatic stress disorder setidaknya 6 bulan setelah serangan, dan 3-4 kali lebih rentan mengalami depresi berat.

Ilustrasi: Belatina.com
Ilustrasi: Belatina.com
Pada dasarnya dalam kehidupan bermasyarakat cara pandang masyarakat merupakan sesuatu yang sangat penting terutama dalam menyikapi suatu pelecehan kekerasan seksual yang terjadi disekitarnya, hal ini guna membantu seorang korban dalam masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya. 

Masyarakat dapat saling mempengaruhi satu sama lain yang berdampak pada kesehariannya dalam bertingkah laku dan pola pikirnya terhadap korban. Begitupun dalam menyikapi suatu peristiwa, dimana reaksi dari setiap individu pastinya akan  berbeda-beda tergantung dari cara pandangnya berpikir dalam bermasyarakat. 

Oleh karena itu, dalam  hal ini sangat penting sekali mengingat maraknya angka kasus pelecehan seksual terutama pada  kaum perempuan yang terus bertambah setiap tahunnya. 

Dengan mendukung korban, melindungi korban dan tidak menambah ketakutannya artinya kita saling bahu-membahu dalam bermasyarakat untuk menciptakan rasa aman, nyaman, dan membantu korban agar trauma yang ia alami dapat berangsur-angsur membaik. Dan juga membantu para korban dalam memperjuangkan haknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun