Episode sebelumnya: Bayang Terakhir Sebelum Fajar
Langit Yerusalem berat seperti besi. Angin membawa aroma debu, darah, dan teriakan yang bercampur menjadi satu nada sumbang di pagi itu. Jalanan sempit kota dipenuhi manusia; sebagian penasaran, sebagian marah, sebagian hanya mengikuti arus.
Di tengah kerumunan, seorang Pria memanggul sebatang kayu besar. Bahunya berdarah, punggung-Nya robek oleh cambuk, wajah-Nya nyaris tak dikenali. Namun mata-Nya tetap memandang lurus ke depan---ke bukit yang menanti di luar gerbang.
Di atas jalan itu, Mikael berjalan tak terlihat. Sayapnya terbentang seperti perisai yang tak bisa dilihat manusia, melindungi setiap langkah, bukan dari rasa sakit, tetapi dari tergelincirnya misi ilahi.
Di sisi berlawanan, Lucifer bergerak di antara kerumunan, membisikkan cemoohan ke hati para penonton, menyalakan amarah di wajah para algojo, dan menyuntikkan keputusasaan ke pikiran murid-murid yang bersembunyi.
"Lihat, Mikael," ujarnya dengan nada licin, "bahu-Nya remuk, napas-Nya terengah, dan belum sampai puncak. Kau pikir Dia akan bertahan?"
Mikael menjawab tanpa menoleh, matanya tetap tertuju pada Sang Putra: "Bertahan bukan sekadar soal kekuatan tubuh. Ini soal kehendak yang tidak akan tunduk."
Lucifer terkekeh. "Kehendak? Bahkan surga pernah kehilangan malaikat karena kehendak. Dan kau tahu siapa yang memimpin mereka."
"Yesus bukan ciptaan," balas Mikael dingin. "Kau tak akan memahami ketaatan yang dilahirkan dari kasih."
Ketika seorang pria asing---Simon dari Kirene---dipaksa memanggul salib bersama-Nya, Mikael melihat sebuah benih kecil ditanam di hati pria itu: benih yang kelak akan bertumbuh menjadi iman. Lucifer memalingkan wajah, muak melihat manusia yang tersentuh oleh penderitaan.