Episode sebelumnya: Langkah yang Menggetarkan Langit.
Udara di taman itu tebal oleh aroma zaitun dan keheningan yang ganjil. Bulan menggantung pucat di langit, seolah enggan menyinari tanah yang sebentar lagi akan bergetar oleh keputusan kekal.
Yesus berlutut di antara pepohonan. Jubah-Nya basah oleh peluh yang mengalir seperti darah. Murid-murid-Nya tidur tak jauh dari sana, tak menyadari bahwa malam itu langit dan neraka sama-sama menahan napas.
Di sisi-Nya berdiri Mikael, Panglima bala surgawi. Matanya memantulkan cahaya tak tercipta, tapi wajahnya diliputi kesedihan. Ia pernah mengusir pemberontak dari surga—namun malam ini, ia berhadapan langsung dengan sang pemberontak itu lagi.
Lucifer berdiri di antara batang-batang zaitun, sosoknya menjulang seperti bayangan yang tak memiliki sumber cahaya. Ia tak lagi bercahaya seperti dahulu; keindahannya telah retak oleh kesombongan. Namun tatapannya tetap tajam, penuh pengetahuan tentang manusia—dan kebencian terhadap Sang Pencipta.
“Kau datang lagi,” kata Mikael, suaranya tenang namun tajam seperti pedang.
Lucifer tersenyum tipis. “Tentu saja. Bagaimana aku bisa melewatkan malam terpenting dalam sejarah manusia? Satu bisikanku saja, dan Dia akan lari.”
Mikael menatap Yesus yang sedang berdoa, tubuh-Nya gemetar menanggung beban yang belum dipikul manusia mana pun. “Dia tidak akan lari.”
Lucifer melangkah mendekat, langkahnya seperti kabut yang melata di tanah. “Kau terlalu yakin, saudaraku. Aku tahu rasa sakit. Aku tahu ketakutan. Aku tahu bagaimana daging manusia menolak penderitaan. Dan Dia…,” Lucifer menunjuk dengan dagunya, “…adalah manusia juga.”
“Dia juga Allah,” jawab Mikael singkat.