“Kau telah mencobanya. Tiga kali,” jawab Uriel. “Dan kau kalah tiga kali.”
“Belum selesai,” suara Asmodeus meruncing seperti duri. “Aku tak harus menjatuhkan-Nya. Aku hanya perlu menjatuhkan orang-orang yang akan mengikut-Nya.”
Uriel memejamkan mata sejenak. Ia melihat lebih jauh dari bumi—ke takhta surgawi, ke sejarah yang belum terjadi, ke jiwa-jiwa yang kelak memanggil nama-Nya dalam isak dan air mata.
“Dan kami akan menjaga mereka satu per satu,” bisiknya.
Asmodeus menggeliat tak sabar. “Kau akan kelelahan, Penjaga. Mereka rapuh. Mereka tidak tahan cobaan. Bahkan sahabat-Nya pun akan menyangkal-Nya.”
Uriel mengangkat wajahnya. Angin membawa aroma danau dari utara. Di sana, kehidupan baru akan dimulai. Pemanggilan. Mujizat. Tapi juga pengkhianatan dan salib.
“Dan tetap saja mereka akan dicintai,” katanya. “Itu yang tak pernah bisa kau pahami.”
Asmodeus menggeram, lalu menghilang ke dalam gelap seperti kabut yang malu oleh cahaya.
Uriel menatap ke depan. Sang Pribadi itu telah menghilang di balik tikungan jalan Galilea. Ia harus kembali ke sisi-Nya—bukan untuk melindungi-Nya, tapi untuk berjaga agar kehendak surgawi tetap dijalani sepenuhnya.
Dan dari jauh, suara bisikan terdengar lagi, entah dari langit atau dari kedalaman bumi:
“Bukan yang kuat yang menang di dunia ini... tapi yang taat.”