Mohon tunggu...
Vina Fitrotun Nisa
Vina Fitrotun Nisa Mohon Tunggu... Penulis - Pegawai Pemerintah Non PNS

Tertarik pada isu-isu pembangunan. Berjuang untuk perubahan positif

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Peran Pengawasan Partisipatif dalam Pilkada Serentak 2020

22 Juni 2020   18:15 Diperbarui: 22 Juni 2020   18:12 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Bagimana memulai budaya demokrasi yang transparan, partisipatif dan kompetitif? Pemilihan pilkada serentak ternyata tetap akan dilaksanakan di akhir tahun 2020 meskipun berbagai pro kontra bermunculan. Penolakan pilkada 2020 berasal dari kalangan yang menghawatirkan prosedur pemilihan dan kemungkinan berkerumunnya pemilih di TPS akan menyebabkan penularan covid 19.

Politik uang pada pilkada serentak tahun ini diduga masih akan terus terjadi, melansir dari Kompas.com anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menyatakan bahwa covid justru meningkatkan kerawanan dalam pemilihan, karena telah membuat pelemahan ekonomi. Kandidat yang diduga berpotensi melakukan politik uang adalah pertahana. 

Pemberian bantuan kepada masyarakat yang terdampak covid-19 dapat disinyalir bermuatan politik, sekedar informasi, sebanyak 230 pertahana bertarung kembali dari 270 peserta 

Meskipun masih bersifat dugaan namun politik uang dapat menurunkan kualitas demokrasi. Praktik ini dapat menciptakan budaya  buruk di masyarakat seperti meningkatnya mentalitas pragmatis dan transaksional. Disamping itu politik uang dapat mendorong terciptanya perilaku korupsi di kemudian hari. politik uang pun dapat menghalangi kandidat berkualitas dan berintegritas menjadi kepala daerah. Oleh sebab itu politik uang harus dihindari

Namun dalam kenyataanya ternyata politik uang yang dilakukan kandidat kepada pemilih tidak hanya berbentuk uang. pada praktiknya, perantara politik telah bertransformasi menjadi sesuatu yang memiliki nilai seperti pemberian barang, hadiah bahkan janji untuk ditawari sejumlah fasilitas atau jabatan. Dalam istilah akademik Aspinal dan Sukmajati (2016) menyebutnya dengan istilah Patronase dan Klientalisme.

Tantangan tersebut tentunya tidak hanya dapat diselesaikan oleh Bawaslu saja namun harus diperkuat dengan kolabolasi masyarakat. Lalu pertanyaannya bagaimana  peran pengawasan tersebut dapat terwujud ditengah dugaan menguatnya politik uang. 

Rasanya melibatkan pemuda tak pernah salah dalam pencegahan praktik politik uang sebelum menjadi tindak pidana. melansir dari setkab.go.id Saat ini komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh penduduk berusia muda yakni sebanyak 34% atau 83 juta jiwa

Merespon fenomena ini Bawaslu pun telah mengupayakan penguatan pengawasan partisipatif melalui program pendidikan yang bernama SKPP yaitu kepanjangan dari Sekolah Kader Pengawas Partisipatif. Sekolah yang beranggotakan 20.055 peserta ini dilakukan secara online mulai dari awal mei hingga akhir juni. Dapat kita bayangkan. Jika setiap peserta mengajak serta 10 orang pada organisasinya untuk melakukan pengawasan partisipatif, sudah ada 200.000 orang pendamping bawaslu dalam melaksanakan pengawasan.

Di era digital seperti ini, untuk memastikan proses pemilihan berjalan dengan transparan dan bersih. Pengawasan partisipatif perlu diperkuat, karena bisa saja para kandidat melakukan pelanggaran dengan motif yang dinilai baru, namun secara substansi tetap melanggar. Seperti pembagian voucher online, atau uang elektronik. Maka masyarakat dapat langsung melaporkannya jika ada perbuatan tersebut  dinilai melanggar

Dipilihnya pemuda dalam pengawasan partisipatif semata-mata bukan karena yang tua menolak perubahan, namun karena pemuda dianggap sebagai agen pembaharu yang masih memiliki idealisme dan semangat perubahan positif, selain itu pemuda juga dianggap masih memiliki sedikit kepentiangan dibanding yang tua, sehingga keperpihakan pada salah satu pasangan relatif lebih kecil kemungkinannya. namun pada intinya semua elemen masyarakat dapat mengadukan kecurangan dan pelanggaran yang terjadi selama proses pemilihan berlangsung

Saling memberikan pengawasan merupakan kunci dari terlahirnya proses pemilihan yang berkualitas. Selain dengan program pendidikan, partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi dapat dilakukan secara online. 

Fenomena politik uang bukan hanya permasalahan satu-satunya dalam pemilihan kepala daerah. Hatespeech dan hoax merupakan masalah terbesar kedua yang harus diawasi bersama.

Dengan penetrasi penggunaan internet di Indonesia, media sosial dijadikan ajang sosialisasi dan menjatuhkan lawan politik. contoh kasus hatespeech yang paling mendapat perhatian banyak pihak adalah pilkada DKI. Kasus hatespeech dan hoax tidak dapat dihitung jumlahnya bahkan oleh Kominfo. Selama ini tindakan represif  yang dilakukan oleh koninfo adalah dengan memblokir situs-situs yang dianggap melanggar.

Percakapan jumlah hatespeech dan hoax sangat sulit direkam dalam dunia maya, pengguna dari akun medsos sendiri kadangkala merupakan akun bodong atau anonim sehingga sulit ditelusuri. Oleh karenanya yang dapat kita lakukan adalah melakukan kontrol di dunia maya. Kita dapat melaporkan individu, institusi atau tim sukses yang diduga melanggar dan melakukan hatespeech atau menyebarkan hoax.

Bentuk dari hatespeech di dunia maya dapat berupa penyerangan terhadap kelemahan salah satu kandidat atau bahkan dengan memberikan pernyataan-pernyataan sinis. 

Namun lagi-lagi percakapan tersebut terkadang hanya beredar di lingkaran pendukung atau tim sukses saja. Padahal jika hal tersebut terus dibiarkan akan dianggap sebagai perbuatan yang tidak melanggar hukum.

Counter dan klarifikasi terhadap pemberitaan hoax pun dapat dinilai sebagai partisipasi pengawasan online. Hoax disimpulkan sebagai berita bohong yang dapat menyesatkan masyarakat. Karena dengan berita hoax masyarakat bahkan dapat saling berseteru dan terpecah belah. berita hoax yang berkaitan dengan salah satu kandidat selama masa pemilihan pun dapat kita laporkan ke Bawaslu.

Urgensi dari dilibatkannya partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilihan adalah untuk mewujudkan proses pemilihan yang bersih, transparan dan berkualitas. Selain itu dengan menguatnya partisipasi pengawasan masyarakat akan tercipta kualitas demokrasi yang baik. 

Sebagai salah satu peserta SKPP Jawa Barat, saya optimis pilkada serentak akan berlangsung dengan bersih jika seluruh lapisan masyarakat memiliki kesadaran untuk mengawasi di dunia nyata dan dunia maya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun