Mohon tunggu...
Abdi Galih Firmansyah
Abdi Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Menebar benih kebaikan, menyemai bunga peradaban, panen kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah Bocah Terminal

12 Januari 2023   04:16 Diperbarui: 12 Januari 2023   04:15 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sebuah cerita tentang kisah hidup sang bocah terminal...

Dari sudut desa bernama Kunjoro Putih, tepatnya sebelah utara dekat dengan wilayah persawahan. Hiduplah seutas keluarga yang sedikit fakir dan miskin, sepasang suami istri dengan buah hati kesayangannya dalam kehidupan yang sederhana, jauh dari kesejahteraan ekonomi masyarakat zaman itu. Kisah ini berlatar waktu sekitar tahun 2007-an, dimana harga sembako dan bahan pangan sudah sedikit pulih dari rengkuhan krisis moneter, tentu presidennya sudah bapak SBY. Umumnya orang-orang desa sudah bisa mengonsumsi protein hewani yang terjual di pasar tradisional dan di pinggir-pinggir jalan, seperti lele, sate, kare hingga gulai di sela-sela makanan wajib tahu dan tempe, dijadikan santapan setiap sekali per tiga kali dalam satu hari. Seolah-olah fenomena itu membuat keluarga tersebut merasa tertimpang terpinggirkan dalam kehidupan yang pelik.

Untuk memantaskan dengan warga sekitar keluarga itu pun tak kalah bergengsi, mengonsumsi lauk hewani dari kumpulan bekicot yang banyak bergantungan menjejalkan lendir-lendir di dinding rumahnya untuk digoreng dengan bumbu asin, agar sama sama berprotein hewani-nya atau lebih amat jauh lagi dianggap sebagai kaum elit oleh tetangga meskipun kita tau hal itu ialah khayalan belaka. Seperti halnya zaman sekarang ini, segala gaya hidup yang nyeleneh dan tak bernilai selalu dianggap bergaya, adakah kebaikan tersembunyi dibaliknya ataukah hanya cari sensasi saja. Mungkin karena mereka lebih tahu khasiat daging bekicot yang kaya akan manfaat bagi kesehatan atau ada tuntutan lain yang memaksakan kehendak, entahlah.

Rumah terbuat dari bambu, atau lebih dikenal dengan omah gedeg dengan dua bilik kamar tidur dan satu kamar mandi di luar bagian rumah. Tidak ada ruang tamu untuk menjamu sanak famili atau kerabat dekat yang ingin berkunjung, apabila ada yang bertamu biasanya langsung disambut-diarahkan ke dalam kamar tidur sebelah timur. Di situ sudah disajikan beragam camilan dan minuman seadanya. Suasana kamar yang begitu intim membuat tamu merasakan kedekatan mendalam layaknya bagian dari keluarga itu sendiri. Bagaikan desa yang ramah sebelum datang kota yang resah, petani yang lapang di bawah pejabat yang selalu merasa kurang, atau pesantren yang mengasihi di atas sekolah yang menginterupsi, kurang lebih idiom pertama cukup menggambarkan kemesraan di dalam kamar. 

Sang kepala keluarga mencukupi kebutuhan melalui upah yang tak seberapa sebagai kuli pabrik tahu milik temannya semasa SMA dulu selaku pemilik pabrik. Mengais rejeki hari demi hari demi membahagiakan istri dan buah hati adalah kewajiban sekaligus harapan. Kalaupun upah yang didapat habis sekejap dalam sehari, tiada bernilai jika dibandingkan kesejahteraan keluarga sederhana kecintaan-nya. Orang-orang desa mengenal karena keuletan dan kerja keras dalam bekerja, memang agak sulit ditemukan pekerja yang berkarakter seperti sang bapak. Semuanya tahu bahwa sebagai kuli pabrik bukanlah pekerjaan yang mudah, butuh keterampilan eksentrik dan ketahanan fisik layaknya manusia super untuk menaklukkan kerasnya biji kedelai menjadi tahu yang bernilai.

Sang istri adalah ibu rumah tangga yang sabar dan menyejukkan. Jiwa keibu-ibuan telah menyelimuti tidak hanya di sekujur tubuhnya bahkan sampai dinding dan atap hingga pelataran rumah, yang apabila orang asing melihat rumah itu dari kejauhan bisa dirasa bahwa itu rumah tidak seperti rumah lainnya. Terlihat pancaran aura kasih sayang dan cinta  yang mencuat memanjakan mata, pasti penghuninya hobi menyejukkan hati. Memang benar, sang ibu adalah sang penyejuk hati. Itulah mengapa kanjeng nabi menegaskan penghormatan kepada ibu tiga kali lebih tinggi di atas bapak, begitu pula dalam hal mengabdi.

Sang anak menduduki bangku MI (Madrasah Ibtidaiyah) kelas satu di sekolah milik Kyai Manan, gurunya orang-orang desa, hampir semua lapisan masyarakat pernah ngaji di hadapan beliau. 7 tahun adalah usia yang sangat muda bagi seorang pengejar mimpi. Terpampang gamblang di dinding benaknya wajah para insinyur, inspektur, aparatur, bahkan direktur yang mereferensi kepada akal budi. sungguh cita-cita yang mulia sekali. Orang tua-nya mengharap agar sang buah hati kelak dapat mengangkat derajat keluarga. Ia dituntut sekolah yang tekun, agar nantinya termasuk ke dalam golongan orang orang beruntung. Apapun kebutuhan sekolah-nya pasti termakbul. Pernah ada project mata pelajaran seni budaya dan keterampilan (SBK), yaitu membuat karya seni berbahan dasar wadah bekas pasta gigi yang tak dipakai. ndilalah sang anak lupa tidak membawa-nya pada waktu hari-H. Ia pun malu dan pulang mengadu, seketika itu, sang ibu sekonyong-konyong membuang sisa pasta gigi yang masih bekas pakai satu hari untuk diambil bungkusnya demi kebutuhan project sang anak. Antara keduanya sama-sama menguatkan jiwa dan raga, sang anak yang antusias dalam belajar serta sang ibu yang sabar memberi solusi. Tidak hanya permasalahan odol saja, bahkan barang mahal sekalipun pasti dikorbankan demi menyukseskan perjuangan anaknya.

Akan tetapi, tanpa disangka kenyataan nahas menimpa sang anak. Teman teman sekelas memperlakukan-nya dengan cara yang tidak manusiawi kepada sesama manusia yang juga temannya sendiri. Pembullyan, pemalakan, penghinaan, dan bermacam bentuk penindasan lain dihempaskan. Kejadian ini sering sekali terjadi, hingga akhirnya membudaya. Bisa dibilang korban utama pembullyan adalah anak tercintanya. Namun, setiap pulang sekolah sampai pelataran rumah sesegera ia menyulap wajah menjadi sumringah di hadapan ibunda yang sebelumnya gundah gelisah bahkan menderita. Perjalanan menimba ilmu yang seharusnya kenikmatan menjelma menjadi kesengsaraan. Bayangan orang tua tentang sang anak yang antusias belajar dalam suasana menyenangkan ternyata jauh berkebalikan. Apalah daya sang anak yang lugu dan polos melawan kenyataan hidup yang chaos. 

Tak jarang ia bertamu kepada sunyi, menepi jauh dari perhelatan hidup manusia, mengeraskan suara, berharap penderitaannya ikut terusir dari palung jiwa melalui teriak bersama liur dan dahak. Entah melalui apalagi ia melampiaskan, semoga masih dalam lingkaran batas kebenaran.

Di sisi lain, sang bapak yang pastinya kita yakin bahwa ia akan memegang teguh pendiriannya sebagai kepala keluarga sampai ajal menjemputnya, ternyata tega lalaikan kewajiban, menyampakkan harapan. Diam diam sang bapak menyelipkan kebiasaan busuk ke dalam gelap malam, umpatan hingar bingar para personil judi bagaikan calon jutawan yang tersembunyi di balik barisan pohon bambu nun jauh di pojok desa sebelah utara berhasil memikat dan menjerat sang bapak yang takwa. Bahkan sampai terseret ke dalam jurang kenistaan gemerlap pemanjaan nafsu serakah perempuan pendosa yang menggebu gairah, sang bapak pun tak kuasa melawan kepiawaian setan dan iblis dalam berstrategi, menginjak habis nurani.

Hingga suatu saat datanglah seorang biduan cantik-menawan berjalan manja melewati pelataran, tanpa kabar tanpa pemberitahuan meluncurkan panah api kepada istri dengan tutur kata yang sopan namun menyakitkan, melumat habis perasaan. Sambaran petir hebat menggema di dalam lubuk jiwa sang istri ketika mengetahui bahwa biduan itu adalah pacar sang suami yang ia cintai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun