Mohon tunggu...
Cerpen

Sekadar Saja Tidaklah Cukup

20 Maret 2017   15:48 Diperbarui: 20 Maret 2017   15:56 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam digital di kamarku sudah menunjukkan pukul 02:23dan aku belum bisa memenjamkan mata. Aku sedang tidak khawatir akan bangunkesiangan atau apapun itu, karena untuk 10 hari kedepan aku libur karena kelasXII sedang Ujian Akhir Sekolah. Aku bisa leluasa membantu ibu kapan pun akumau. Aku juga bisa mengerjakan tugas kapan pun aku sempat.

Satu-satu nya alasan mengapa aku belum bisa memejamkanmata adalah tentang kami. Ya, ini tentang aku, Nendi, Air, dan Elia. Aku sudahmencoba untuk melupakan sejenak kejadian tadi siang. Aku sudah berusaha untuktidak memikirkan perkataan Nendi di tangga tadi. Tetapi apalah daya, terus sajapikiranku tertuju dengan hal-hal itu. Hingga dingin yang terasa begitu menusuk,memaksaku untuk beranjak dari tempat tidur dan pergi ke kamar kecil untuk buangair. Ketika aku keluar dari kamarku, aku mendengar ada suara tangisan dariruang salat sebelah kamarku. Tanpa kusangka itu adalah suara bapak dan ibu yangsedang salat tahajjud. 

Kakiku membeku seakan tak bisa digerakkan. Aku mendengarsetiap doa yang mereka panjatkan untukku. Mereka menangis tersedu, hanya untuk memohonkanampun dan memintakan perlindungan untukku. Bahkan hingga aku sebesar ini, akutidak pernah mendoakan mereka sampai seperti itu. Ah, durhakanya aku! Inginrasanya memeluk mereka dan mengadukan keluh kesahku. Namun, tak mungkin. Merekasedang khusyu’ berdoa kepada Rabb kami. Hingga aku putuskan untuk ke toiletdengan air mata yang sudah mengalir deras dari mataku. Aku berusaha mempercepatlangkahku saat kembali ke kamar, dan yang aku pikirkan saat ini bukan lagimasalahku dengan kawan-kawan sepermainanku, tetapi tentang bapak dan ibu.

Seringkali aku membandingkan orang tuaku dengan orangtua teman-temanku. Tentang semua yang sudah orang tuaku tetapkan kepadaku.Tentang beberapa hal yang mereka wajibkan kepadaku. Kini, aku sadar, itubukanlah beban melainkan latihan. Aku berpikir, mungkin orang tua lain bisamemberikan banyak uang kepada anak-anaknya, membebaskan mereka, dan memberikanberbagai materi secara berlimpah. Namun, belum tentu di tengah kesibukan orangtua orang tua itu, mereka masih sempat mendoakan anak-anaknya di sepertigamalam terakhir seperti yang orang tuaku lakukan. Bahkan, orang tuaku sudahmemikirkan masa depanku ketika mereka membiasakanku untuk bangun pagi buta danmelakukan segala pekerjaan rumah. Semua itu mereka lakukansemata-mata karena mereka berpikir aku adalah wanita yang akan menjadi ibu. Sejauhitu orang tuaku berpikir dan aku malah membangkangnya.

****

Semenjak kejadian malam itu, aku mencoba merubahsikapku, merubah cara berpikirku, dan merubah kebiasaanku. Aku tak pernahmerasa terbebani lagi atas pekerjaan rumah yang memang ditugaskan kepadaku.Sekarang aku percaya, suatu hari nanti aku akan mengerti hikmah dari semua inidan mensyukuri apa yang telah orang tuaku ajarkan. Karena orang tua tetaplahorang tua. Mereka memberikan kasih sayangnya tidak selalu dengan kemanjaan dankenikmatan, tapi bisa dengan pelajaran yang tidak sekolah ajarkan. Karena kasihsayang orang tua bukan sekadar kasih sayang yang dapat didefinisikan denganangka dan uang.


Hari-hari di sekolahku pun kini semakin membaik.Jalinan pertemananku dengan Air dan Nendi sudah berangsur memulih, terlepasdari bagaimana perasaan mereka kepada Elia, aku tidak peduli. Aku dengan Eliapun sudah baik-baik saja. Aku juga berusaha untuk memperluas relasiku dengan siapapun.Teman dekat? Semua teman menjadi dekat saat ini. Aku meyakini bahwa kedekatandalam pertemanan bukan diukur dari seberapa sering kita bersama dan sekadarmenghabiskan waktu. Bukan juga seberapa dekat jarak rumah atau sudah berapalama kita saling mengenal. Tapi kedekatan itu terjalin ketika kita memilikivisi dan cara berpikir yang sejalan, tidak penting seberapa sering kita bermainbersama atau sekadar tertawa bersama. Karena pertemanan juga butuh loyalitasdan kepercayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun