Mohon tunggu...
Venansius
Venansius Mohon Tunggu... Guru - Guru, Musisi, dan Budayawan

Guru, Musisi, Budayawan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hanya Aku dan Dia, Kau Tidak!

30 September 2021   17:48 Diperbarui: 30 September 2021   17:57 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cukup lama kami berbicara, entah apa saja. Bisa kena, bisa tidak. Sampailah aku bertanya mengapa tempo hari dia katakan kalian lama tak bersama. Dia sumringah; tak ada apa-apa, hanya soal kesibukan saja. Itu katanya. Aku tak yakin, maka kutanya lagi. Dia menyudahi dan berkata bahwa segala perkara antara kalian berdua biarlah kau dan dia yang menyelesaikannya. Dia berkata padaku begitu; hanya aku dan dia, kau tidak. Lalu aku pulang ke kotaku.

Di kotaku, kurasakan rindu yang belum tuntas karena tak berjumpa denganmu. Tubuhku telah dijinkan pulang tapi pikiranku memilih untuk menginap di sana. Bukankah benar pikiran dan badan bisa dipisahkan? Kukatakan padanya bahwa aku akan datang lagi untuk bertemu denganmu juga. Maka, sungguh benar hal itu, aku datang lagi ke kota kalian serta berjumpa denganmu, dia tidak. Kita bercerita mengungkit masa lalu, juga masa bersama dia. Kau katakan bahwa ingin sekali rasanya mengulangi waktu yang tak mungkin itu agar suasana kembali seperti dulu. Kukatakan padamu bahwa kita tak perlu mengulangi yang dulu. Jangan-jangan waktu itu kita belum sempurna, jadi sekaranglah kita menyempurnakannya. Bukankah kita selalu terarah ke masa depan, bukan sebaliknya. Yang berlalu sudahlah, yang baru datanglah.

Di sela-sela kisah itu kutanyakan padamu perihal yang kutanyakan juga padanya. Katamu akhir-akhir ini kau dan dia sering tak bersama karena waktu luang yang berbeda. Tapi ada kalanya kau dan dia bersama. Kau lalu berbalik bertanya padaku mengapa aku begitu mencemaskan dirimu dan dirinya. Aku pun ikut menanyai diriku mengapa aku seperti itu. Aku diam, kau lebih lagi diam.

Dalam diam itu kau memulai lagi berujar; biarlah urusanku dan urusannya, kami bersama yang selesaikan. Itu pendapatmu. Lalu lanjutmu; kami tak mau melibatkanmu, biarlah hanya aku dan dia, kau tidak. Aku mengangguk dalam ketakpahaman. Mengapa aku dipisahkan, bukan disatukan? Itu yang kusimpan di kedalaman hati. Aku pulang dengan sesal yang bertanya dan mengingat paham kalian yang samar bedanya; biarlah hanya aku dan dia, kau tidak.

Aku masih menyimpannya dalam hati sampai sungguh aku mengerti dengan keyakinan kalian. Aku menempatkan diriku sebagai orang yang suatu waktu diberi kejutan dan kejutan itu adalah kejutan yang menyenangkan hati. Aku menunggu jawaban hingga jenuh. Kukatakan lagi pada kalian bahwa aku ingin bertemu. Entah berdua atau salah satu dari kalian.

Kau juga mau dan ingin segera menuntaskan permasalahan ini. Aku mengatur waktu, kau mengatur perjumpaan. Kita sejalan dan akhirnya pertemuanlah yang terjadi. Kau masih tampak cantik, matamu masih juga bening. Tapi aku lebih yakin dia juga tidak kalah cantik dan tatapannya juga masih binar. Ketika kau dengar bahwa kukatakan hal-hal istimewa pada dirimu, pipimu merona. Aku maklum dan mengakuinya.

Kita bertemu dalam suasana yang berlainan seperti yang sudah-sudah. Bila dulu kita berkumpul dengan senyum simpul, sekarang kita bertatapan dengan wajah lesu penuh beban. Mungkinkah itu beban dengan teramat berat yang boleh dibilang lebih berat dari apa pun juga? Perjumpaan ini kuharap dapat menuai jawaban atas apa yang kutanyakan. Kau bercerita darimana itu bermula.

Dari ceritamu kau katakan bahwa dirimu dan dirinya menghadapi masalah pelik yang semakin runyam. Demi rasa kebersamaan kita bertahun-tahun, bolehkah aku ikut mengetahui permasalahan sukar itu? Kau menyetujui dan mengatakan bahwa antara kau dan dia telah menyukai orang yang sama. Hanya kau dan dia, aku tidak. Ketika kudengar bahwa permasalahan laknat itu rupanya cinta, aku tertawa. Tawa itu bukan menertawakan dirimu atau dirinya tapi menertawakan diriku yang tak menjangkau pikiran sampai ke sana.

Kau tampak tersinggung ketika aku melebur tawa. Pikirmu itu tak lucu. Pikirku itu menarik maka aku tertawa. Aku tak sadar bahwa tak mudah memahami situasi cinta antara laki-laki dan perempuan. Jika benar itu urusan cinta, aku boleh dan berhak tahu supaya aku bisa menyusun cara. Kau bergeming dan berpendapat antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan tebal bagaimana menerjemahkan ungkapan bernama cinta.

Aku meminta padamu untuk bersedia mengatakan siapa orang yang menjadi belahan hati dirimu dan dirinya. Lama kau terdiam mengumpulkan segenap tenaga dalam perasaan dan rasa canggung luar biasa. Detik terakhir aku menghentikan tawa dan menatapmu gamang ketika aku mendengar nama yang meluncur dari mulutmu adalah namaku. Aku mencoba meyakinkan diriku dan meyakinkan dirimu bahwa yang kudengar itu tidak meleset. Kau mengangguk dalam-dalam sambil merangkum kekuatan untuk siap menatap dan mendengar kata-kata dari mulutku.

Katamu, perasaan itu telah muncul sejak kita bersama. Kau bahkan berkata; kau dan dia berlomba untuk menjadi seseorang di sisiku sebagai yang istimewa. Aku amat tak mengira hal itu telah terjadi bertahun-tahun lalu dan aku tak merasa sedikitpun. Bukankah aku juga punya kecenderungan yang sama. Cinta pada keduanya, tak mau meninggalkan salah satunya. Sekarang aku mengerti mengapa setiap hal yang tampaknya sensible, kau dan dia selalu mengatakan itu rahasia. Atau lebih suka mengatakan; biarlah hanya aku dan dia, kau tidak. Setelah itu, kita berpisah tanpa jawaban dariku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun