Jika hari ini perusahaan Anda kesulitan mempertahankan karyawan muda, itu bukan salah Gen Z. Itu salah Anda. Fakta tak terbantahkan perusahaan-perusahaan yang mengeluh kesulitan mempertahankan karyawan muda sedang menghadapi krisis legitimasi. Data Kemnaker 2024 yang menunjukkan lonjakan 34% pengunduran diri sukarela hanyalah puncak gunung es. Yang lebih mengkhawatirkan adalah respons kolot dari para pemimpin perusahaan yang justru menyalahkan "mental kerja anak muda zaman sekarang". Ironisnya, para kritikus ini adalah generasi yang dulu menggembar-gemborkan perubahan.
Krisis ini bermuara pada kegagalan memahami perubahan fundamental dalam paradigma kerja. Di era ketika fleksibilitas menjadi hak dasar, banyak perusahaan masih terbelenggu sistem warisan abad lalu. Mereka memuja presenteeisme, kehadiran fisik dianggap lebih penting daripada hasil nyata. Mereka mempertahankan hierarki kaku yang membunuh kreativitas. Mereka mengukur produktivitas dengan jumlah meeting, bukan dampak nyata terhadap bisnis.
Data Kemnaker 2024 menunjukkan gelombang pengunduran diri sukarela melonjak 34%. Tapi yang lebih mengerikan? Survei terbaru menunjukkan 8 dari 10 milenial senior di posisi manajemen justru menyalahkan "mental kerja anak muda sekarang". Sungguh ironi! Generasi yang dulu dianggap pemberontak, kini berubah menjadi "boomer baru" yang kolot.
Gaji naik 7%? Percuma, ketika jiwa-jiwa muda terperangkap dalam kubikel sempit, diperas kreativitasnya oleh atasan yang kompetensinya mandek sejak 2015. Tahukah Anda bahwa menurut riset terbaru Microsoft, 82% Gen Z Indonesia lebih memilih gaji lebih rendah asal bisa kerja dengan tujuan jelas? Ini bukan soal malas. Ini soal pemberontakan terhadap sistem kerja yang sudah busuk.
Krisis Legitimasi Perusahaan
Di tengah deru mesin efisiensi dan jargon shareholder value, kita lupa satu hal sederhana. Bahwa manusia bukan robot. Perusahaan-perusahaan masih berkutat dengan KPI usang dari era 1990 an sementara dunia sudah berputar beberapa kali. Key Performance Indicator (Indikator Kinerja Utama) yang diterapkan di tahun 1990 an mempunyai pandangan bahwa "jam kerja panjang = rajin", "jumlah meeting = produktif". Â Coba bandingkan dengan "Output/ kualitas kerja > kehadiran fisik", "Customer lifetime value > quarterly sales". Gen Z bukan musuh, mereka adalah spiegel (cermin) yang memantulkan kegagalan sistem lama. Jika perusahaan ingin selamat dan berkembang, mengambil langkah kongkrit sebagai keputusan yang berani adalah kebutuhan.
Mengganti KPI Usang dengan Impact Metrics.
Alih-alih "8 jam di kantor", geser saja paradigmanya menjadi "target proyek selesai + kualitas hasil". Ganti "jumlah meeting" dengan "keputusan strategis yang dihasilkan per minggu". Terapkan OKR (Objectives & Key Results) untuk fokus pada outcome, bukan sekadar aktivitas.
Â
Personalisasi Kompensasi
Saat ini sistem benefit "one-size-fits-all" sudah ketinggalan zaman. Solusinya adalah paket kompensasi fleksibel (seperti BCA Choice Benefits), tapi diperkuat AI. Gunakan tools seperti Pymetrics untuk analisis preferensi karyawan. Berikan opsi misalnya ekstra cuti, kursus online, asuransi keluarga, atau bahkan saham perusahaan. Transparansi gaji (upah sama untuk peran yang sama) untuk hilangkan distrust.