Mohon tunggu...
Vetty Febriariane
Vetty Febriariane Mohon Tunggu... Wirausaha

Scripta manent, verba volant

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

"Gen Z Membunuh Perusahaan Kolot: Revolusi atau Mati!"

14 Juni 2025   12:22 Diperbarui: 14 Juni 2025   12:22 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

Jika hari ini perusahaan Anda kesulitan mempertahankan karyawan muda, itu bukan salah Gen Z. Itu salah Anda. Fakta tak terbantahkan perusahaan-perusahaan yang mengeluh kesulitan mempertahankan karyawan muda sedang menghadapi krisis legitimasi. Data Kemnaker 2024 yang menunjukkan lonjakan 34% pengunduran diri sukarela hanyalah puncak gunung es. Yang lebih mengkhawatirkan adalah respons kolot dari para pemimpin perusahaan yang justru menyalahkan "mental kerja anak muda zaman sekarang". Ironisnya, para kritikus ini adalah generasi yang dulu menggembar-gemborkan perubahan.

Krisis ini bermuara pada kegagalan memahami perubahan fundamental dalam paradigma kerja. Di era ketika fleksibilitas menjadi hak dasar, banyak perusahaan masih terbelenggu sistem warisan abad lalu. Mereka memuja presenteeisme, kehadiran fisik dianggap lebih penting daripada hasil nyata. Mereka mempertahankan hierarki kaku yang membunuh kreativitas. Mereka mengukur produktivitas dengan jumlah meeting, bukan dampak nyata terhadap bisnis.

Data Kemnaker 2024 menunjukkan gelombang pengunduran diri sukarela melonjak 34%. Tapi yang lebih mengerikan? Survei terbaru menunjukkan 8 dari 10 milenial senior di posisi manajemen justru menyalahkan "mental kerja anak muda sekarang". Sungguh ironi! Generasi yang dulu dianggap pemberontak, kini berubah menjadi "boomer baru" yang kolot.

Gaji naik 7%? Percuma, ketika jiwa-jiwa muda terperangkap dalam kubikel sempit, diperas kreativitasnya oleh atasan yang kompetensinya mandek sejak 2015. Tahukah Anda bahwa menurut riset terbaru Microsoft, 82% Gen Z Indonesia lebih memilih gaji lebih rendah asal bisa kerja dengan tujuan jelas? Ini bukan soal malas. Ini soal pemberontakan terhadap sistem kerja yang sudah busuk.

Krisis Legitimasi Perusahaan

Di tengah deru mesin efisiensi dan jargon "shareholder value", kita lupa satu hal sederhana: manusia bukan robot. Perusahaan-perusahaan masih berkutat dengan KPI usang dari era 1990-an sementara dunia sudah berputar beberapa kali. Key Performance Indicator (Indikator Kinerja Utama) yang diterapkan di tahun 1990 an mempunyai pandangan bahwa "jam kerja panjang = rajin", "jumlah meeting = produktif".  Coba bandingkan dengan "Output/kualitas kerja > kehadiran fisik", "Customer lifetime value > quarterly sales".

Gen Z bukan musuh, mereka adalah spiegel (cermin) yang memantulkan kegagalan sistem lama. Jika perusahaan ingin selamat (dan berkembang), ada beberapa langkah kongkrit yang bisa diambil, diantaranya:

Mengganti KPI Usang dengan "Impact Metrics"

Alih-alih "8 jam di kantor", gunakan "target proyek selesai + kualitas hasil".

Ganti "jumlah meeting" dengan "keputusan strategis yang dihasilkan per minggu".

Terapkan OKR (Objectives & Key Results) untuk fokus pada outcome, bukan sekadar aktivitas.

 

Personalisasi Kompensasi

Saat ini sistem benefit "one-size-fits-all" sudah ketinggalan zaman. Solusinya adalah paket kompensasi fleksibel (seperti BCA Choice Benefits), tapi diperkuat AI. Gunakan tools seperti Pymetrics untuk analisis preferensi karyawan. Berikan opsi misalnya ekstra cuti, kursus online, asuransi keluarga, atau bahkan saham perusahaan. Transparansi gaji (upah sama untuk peran yang sama) untuk hilangkan distrust.

Bank BCA paham betul psikologi ini. Alih-alih hanya menaikkan gaji, mereka menciptakan sistem "Choice Benefits" dimana karyawan bisa memilih paket kompensasi sendiri. Mau lebih banyak cuti? Silakan. Mau asuransi keluarga lebih lengkap? Bisa. Hasilnya? Tingkat retensi mereka 25% di atas rata-rata industri.

 Shadow Board untuk Pecahkan Echo Chamber Manajemen

Dewan direksi seringkali terisolasi dari realitas karyawan muda, masalah ini bisa di atasi dengan Shadow Board. Unilever Indonesia sudah menerapkan "Youth Advisory Council" sejak 2021 yang mempengaruhi kebijakan sustainability. hasilnya Inovasi produk bertambah 200% dalam setahun.

HRD Harus Turun Gunung. 

Biasanya HRD terlalu fokus pada administrasi, ada sebuah resolusi agar sesekali wajibkan HRD kerja di lapangan 1 hari/bulan. Bisa menjadi sales yang mengejar target, atau dibagian operasional menghadapi keluhan pelanggan langsung.

Gunakan AI-Augmented HR (Chamorro-Premuzic, 2024) yaitu Tools seperti Textio (untuk analisis job description bias) atau HireVue (wawancara berbasis AI). Prediksi turnover dengan algoritma (akurasi 85%).

 Quiet Quitting adalah Warning, Bukan Ancaman

Saat karyawan "quiet quitting" sebenarnya sedang protes halus. Cobalah cek "effort-reward imbalance". Jika beban kerja tinggi tapi reward minim, mereka akan pergi diam-diam.

"Boomer Mentorship" vs "Reverse Mentorship"

Sering kali generasi senior gagal paham kebutuhan Gen Z. Program Reverse Mentorship bisa menjadi solusinya. Bank Mandiri punya program "Digital Buddies" dimana anak muda ajarin direksi pakai tools AI.

Tingkat retensi BCA 93.5% (2022) vs rata-rata industri perbankan di 75% (data OJK 2022). Survey kepuasan karyawan menyatakan 88% merasa program ini relevan dengan kebutuhan personal (internal survey BCA 2023).  Menurut Chamorro-Premuzic (2024), masa depan SDM bukan lagi administratif, tapi strategik berbasis AI. Algoritma kini bisa memprediksi turnover risk dengan akurasi 85%, sementara people analytics membantu menciptakan benefit yang benar-benar personal

Pendidikan Ulang untuk HRD-HRD yang  kadaluarsa

Departemen HR di banyak perusahaan sudah menjadi biang masalah. Mereka terjebak dalam ritual rekrutmen kuno, sistem penilaian kuno, dan mentalitas kuno. Solusinya adalah wajibkan setiap HRD menghabiskan 20% waktunya bekerja di lini depan. Rasakan langsung bagaimana rasanya menjual dengan target gila-gilaan. Alami betapa menyebalkannya proses administrasi yang mereka ciptakan.

Pilihan kita sederhana, berubah atau punah.

Generasi baru pekerja bukanlah masalah yang harus diperbaiki. Mereka adalah alarm yang membangunkan kita dari mimpi buruk sistem kerja industri abad 20.

Seperti kata bijak (yang sering diabaikan) "Perusahaan tidak bangkrut karena perubahan, tapi karena tidak mau berubah". Sekarang, silakan pilih  jadi bagian solusi, atau jadi fosil manajemen yang suatu hari akan dipajang di museum!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun