Mendengarkan: Moonlight Sonata, Beethoven
Aku selalu merasa takjub dengan cara dua orang bertemu dan berpisah. Keduanya terjadi begitu wajar sehingga hampir tak terasa seperti sebuah kejadian. Mungkin kita pernah mempertanyakan tentang pertemuan dan perpisahan, tapi pernahkan kita benar-benar mencoba menjawabnya tanpa mempersalahkan nasib? Seperti halnya kelahiran dan kematian, pertemuan dan perpisahan saling mengait begitu rapat dalam jalinan waktu yang berjalan begitu perlahan, seakan diam; membujuk kita untuk ikut bergerak dan berubah tanpa sadar, tanpa melawan. Kita menghadapinya dengan pasrah, dengan hati yang kalah. Kita tahu, tanpa keduanya takkan ada cerita, takkan ada sejarah.
Mengapa dua orang harus bertemu dan mengapa harus berpisah? Tidak ada yang bisa benar-benar tahu jawabannya sampai keduanya benar-benar bertemu dan benar-benar berpisah. Ini adalah pertaruhan yang adil antara kita dan waktu. Bagian untuk mengerti hanya akan terjadi setelah kita selesai menjalani.
Aku tak tahu banyak tentang rahasia kebijaksanaan waktu, tapi aku sadar bahwa dia melumatkan kita dengan tekun dan setia. Kita bertemu masa lalu untuk berpisah hari ini, dan berpisah hari ini untuk bertemu masa depan. Kita menjadi bagian dari siklus jagat raya yang diurai untuk dibentuk kembali. Seperti sebuah lingkaran, kita tak pernah bisa menandai secara pasti waktu atas keduanya. Kita hanya sadar bahwa kita berubah setelah keduanya selesai terjadi, tanpa bisa menjelaskan. Kita hanya manusia, kita mungkin mampu menerka pertanda dan meraba makna, tapi kita tak pernah bisa benar-benar yakin akan apapun. Karena kita selalu berubah, kita tidak pernah menjadi orang yang sama setiap hari.
Aku selalu merasa takjub dengan cara dua orang bertemu dan berpisah; tak pernah ada yang sama. Seandainya saja keduanya dijadikan pertanyaan, aku tak tahu harus menjawab apa. Aku sudah bertemu begitu banyak orang, namun aku belum pernah merasa benar-benar berpisah dengan siapapun. Aku tak pernah yakin mampu untuk melepaskan apa yang pernah kumiliki. Karena melepas berarti melupakan, dan melupakan adalah penderitaan.
***
Aku menaikkan kerah jaketku, dinginnya malam menaikkan bulu kudukku. Tak ada yang mengejarku, namun aku berjalan cepat-cepat, seakan sedang berpacu dengan bayanganku pada trotoar. Aku memang selalu berjalan cepat-cepat, entah itu sedang terburu-buru, atau malah sedang santai. Teman seperjalananku selalu bilang aku ini berjalan seperti laki-laki; cepat, bersemangat, dan serampangan. Aku tidak pernah ambil pusing, karena sebenarnya ketika berjalan aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Aku hanya menikmati rasanya berjalan, selebihnya aku tidak begitu perduli, toh aku bisa menikmati yang lain-lain itu besok; mereka tidak pernah kemana-mana.
Berjalan kaki cepat-cepat, bagiku, hanyalah cara untuk bersembunyi ke dalam diriku tanpa harus terlihat aneh. Ketika berjalan cepat-cepat, orang-orang tidak akan berani menegur atau mencoba menghentikan langkahku untuk hal-hal remeh, simply karena mereka mengira bahwa aku punya sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan. Kalaupun ternyata mereka cukup bodoh dan tetap menegur, aku masih bisa berpura-pura tidak mendengar tanpa terlihat kasar atau kurang ajar. Dan begitulah, aku selalu mengasingkan diri dengan berjalan cepat-cepat. Aku merasa waktu seakan berhenti berputar ketika aku mulai berjalan, semua orang seperti menghilang dan aku menjadi satu-satunya suara yang bisa berbahasa. Aku merasakan duniaku berputar, dalam gerakanku sendiri, lepas dari gravitasi. Aku menjadi diriku sendiri dengan merdeka.
Malam ini, seperti biasa, aku berjalan kaki pulang melewati jalan di depan rumah itu. Rumah yang berpagar besi dan dicat hijau itu. Halamannya rimbun sekali, terlalu rimbun malah, sehingga membuatnya terlihat seperti hutan. Sebenarnya aku tidak pernah tertarik dengan wajahnya yang suram, tapi hari ini suara piano dari dalam rumah itu berhasil menghentikan langkahku, Dia seperti hantu yang merayap diantara desau dedaun dan merasuki telingaku. Aku tersedot keluar dari pusaranku, dan tertarik masuk kedalam medan gravitasinya. Aku mematung di depan gerbangnya, gerbang besi berwarna hijau dengan kolom yang dicat putih itu. Di salah satu kolomnya tertera angka 6 yang ditulis dengan cat hitam; serampangan, namun jelas, membuat rumah itu seperti berkata, “Hai, namaku rumah nomor 6.”
Betapa anehnya sebuah pertemuan. Dalam seketika dia membawaku jauh dari apa yang ku yakini selama ini, jauh dari cita-cita untuk pulang, jauh dari keinginan untuk segera sampai ditujuanku yang sebenarnya. Dari ribuan langkah bisu yang kuhitung dengan tekun, akhirnya aku berhenti pada sebuah pertemuan, sebuah awalan. Tak pernah direncanakan, dan tak terhindarkan. Di titik ini kita pernah berhenti dan bertemu, mungkin begitulah aku akan mengenangmu kelak.
Aku memperhatikan dua buah jendela besar yang ada dibagian depan rumah, hanya itulah bagian rumah yang tak tertutup rimbunnya tumbuh-tumbuhan di halaman depan. Gelap sekali, seperti halnya bagian lain dari rumah ini. Aku bersandar pada pagarnya dan menikmati lantunan Moonlight Sonata yang masih terus mengalun lirih. Lagu ini, hampir seperti tangisan walau tetap terdengar indah. Lamat-lamat aku merasakannya mengalir perlahan, masuk hingga jauh kedalam hatiku, begitu tenang, begitu sedih, namun begitu indah; hampir seperti fantasi.
Moonlight Sonata atau Piano Sonata no.14 digubah oleh Beethoven untuk Countess Giulietta Guicciardi, seorang murid sekaligus gadis yang dicintainya. Status sosial dan usia yang terpaut jauh membuat keduanya tidak mungkin untuk bersama. ‘Quasi Una Fantasia’ atau ‘Hampir Seperti Fantasi’, begitulah dia menamai simfoni tiga bagian ini. Beberapa menulis bahwa nama ini diambilnya menjadi judul karena simfoni ini merupakan free form symphony, berbeda dengan aturan baku sebuah simfoni masa itu. Namun mengingat simfoni ini didedikasikan untuk kekasihnya, maka banyak juga yang berpendapat bahwa judul tersebut juga mewakili perasaannya pada sang perempuan. Mungkin karena cintanya yang begitu besar, mungkin karena jauhnya jurang yang memisahkan mereka, atau mungkin karena kedua alasan tersebut, entahlah, tapi piano simfoni ini memang tak biasa. Seorang kritikus musik bahkan menyetarakannya dengan puisi yang tak teraih bahasa manusia.
Aku masih mematung di depan rumah nomor enam ini. Keinginan untuk masuk dan mendengar lebih dekat begitu besar, namun aku tak berani keluar dari daerah amanku. Lagipula ini sudah sangat larut, kurang ajar sekali kalau seorang gadis sepertiku sampai berani bertamu jam segini. Dari dalam aku mendengar simfoni memasuki bagian akhir Presto Agitato, seperti dua buah petir saling menyambar, simfoni ini menggemuruh hingga meruntuhkan tembok harga diriku. “Ah, if I perish, I perish,” doaku singkat.
Aku melihat sekitarku, tak satupun orang yang lewat. Jam segini, jalanan ini memang sudah sepi. Aku melihat sekitarku untuk yang kedua kali, mencoba meyakinkan diri bahwa tidak ada yang melihatku masuk. Dan detik berikutnya aku melakukan sesuatu yang tak pernah terfikirkan olehku sebelumnya. Aku masuk kerumah itu.
Aku tak menemukan bel dan aku tak berani mengetuk, tapi aku melihat pagarnya tak berkunci, jadi aku langsung membukanya. Suara berdecit yang nyaring langsung menyeruak ketika aku menggeser daun pintunya. Aku mematung beberapa saat, terkejut dengan suara yang tak kuduga itu. “Dammit,” umpatku.
Suara piano tiba-tiba berhenti, mungkin sadar akan kehadiranku. Aku melihat lampu ruang depannya tiba-tiba menyala dan terdengar suara menghardik dari dalam, “Siapa disitu!” Secepat kilat aku meninggalkan rumah itu lalu bersembunyi dibalik kolom pagar tetangga sebelahnya. Aku menunggu beberapa saat, siapa tahu sang pemilik rumah datang dan memeriksa keluar.
Dan benar saja, bunyi besi berdecit kembali terdengar jelas ketika pemilik rumah nomor enam itu membuka pagarnya. Seorang pria berusia pertengahan 40an terlihat bingung ketika mendapati tidak ada seorangpun di depan pagarnya. “Siapa disitu,” hardiknya kembali. Gelap sekali malam itu, tapi sosoknya yang besar dengan rambut panjangnya yang berantakan begitu jelas tertangkap mataku. Ia menyapu sekitarnya suara nafasnya yang berat, mencoba menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan suara yang tadi didengarnya.
“Keluar, atau kulaporkan Polisi!”
Kakiku mulai terasa nyeri akibat berjongkok dengan posisi lutut yang salah. Aku ingin meluruskan badanku, namun aku takut aku akan menimbulkan suara yang akan menuntunnya padaku. Dia kembali menghardik, “Keluar, atau kulaporkan Polisi!”
Malam menjadi terlalu hening bagiku. Bahkan bernafaspun aku tak berani, takut dia akan mendengarku. Aku merasa seperti ada ribuan semut yang menggerogoti kakiku, begitu geli dalam arti yang menyakitkan. Tapi aku tetap diam, mencoba menjadi sehening batu.
“Dasar orang gila,” umpatnya lalu masuk kembali, mengunci pagarnya, lalu mematikan lampu ruang depannya. Aku masih tak berani keluar, sebagian karena aku masih begitu kaget dan sebagian lagi karena aku terbawa suasana dan benar-benar menjadi sehening batu. Aku menunggu beberapa saat sampai ada tanda bahwa keadaan aman. Lalu aku keluar dari persembunyianku.
Darahku serasa berhenti sesaat akibat pertemuan yang ganjil itu. Entah apa yang kufikirkan sampai aku nekat melakukan kegilaan seperti ini. Aku menarik nafas panjang, dan udara panas yang kubuang menciptakan kepulan asap yang aneh dari lubang hidungku. Kakiku mati rasa akibat berjongkok terlalu lama, namun itu tak seberapa dibanding jantungku yang berdegup tak beraturan, menciptakan sakit kepala yang hebat. Ah, pertemuan memang aneh, untuk beberapa saat aku merasa menjadi orang yang berbeda, orang yang tak pernah kukenal selama ini. Sebuah pertemuan telah membawaku jauh dari apa yang kuyakini selama ini, jauh dari tujuan awalku untuk pulang, jauh dari diriku dan hidupku yang biasanya menjemukan.
God forbids, aku ingin bertemu dengannya lagi!
***
Aku mengusap mataku yang terasa perih. Semalaman aku tak bisa tidur. Pertemuan dengan pemilik rumah nomor enam itu membuatku merasakan sesuatu yang beda, sesuatu yang mencegahku tidur atau mengerjakan yang lainnnya. Alam bawah sadarku seakan tak rela membiarkanku melupakannya.
Aku melirik jam meja disebelah tempat tidurku, baru pukul setengah lima pagi. Terlalu pagi untuk bangun, namun terlalu terlambat untuk tidur. “Argh,” teriakku gusar, entah kepada siapa. Lalu aku bangkit untuk bersiap-siap.
Pukul enam limabelas, begitulah yang terbaca pada jam dindingku sesaat sebelum aku meninggalkan rumah. Pagi ini aku sengaja berangkat lebih awal. Aku ingin melihat wajah sipemilik rumah nomor enam dengan lebih jelas. Aku berharap dia sudah bangun dan sedang beraktifitas di sekitar perkarangannya. Dari permainan pianonya semalam aku yakin kalau dia seorang musisi, atau mungkin seorang guru piano. Aku berharap dia bukan pekerja kantoran yang selalu sibuk dipagi hari. Aku benar-benar ingin bertemu dengannya lagi. Atau kalau ada kesempatan baik, aku ingin sekali berkenalan dengan cara yang lebih menyenangkan.
Aku sengaja berjalan lebih pelan pagi ini. Dan begitu sampai di depan rumah nomor enam itu aku berhenti dan menunggu keberanian menghampiriku sekali lagi. Aku mematung cukup lama sampai tiba-tiba ada suara yang menyapaku dari samping. Seorang bapak dengan anjing Spaniel coklatnya ternyata sudah dari tadi berdiri disampingku.
“Cari siapa, dik,” tanyanya.
“Oh, maaf pak, sebenarnya saya…. Uhm, anu, itu, maksud saya, saya juga bingung ngejelasinnya pak, hehe,” aku tertawa aneh untuk menutupi keterkejutanku.
“Adik saudaranya Pak Bejo, ya?”
“Pak Bejo? Maksudnya?”
“Iya, yang punya rumah ini.”
“Oh, bukan pak. Saya bukan siapa-siapanya beliau.”
“Ada perlu sama Pak Bejo mungkin?”
“Oh, engga pak, saya tadi anu, ini uang, eh, pin bross saya tadi jatuh dekat-dekat sini. Jadi saya cari-cariin. Udah masuk parit mungkin ya. Aduh, padahal saya sayang banget sama bross itu.” Aku menatap matanya mencoba meyakinkannya dengan penjelasan yang aneh tadi.
“Wah, sayang banget ya,” katanya penuh ketulusan. “Nanti kalau saya ketemu saya simpenin deh. Semoga ga bener-bener ilang ya,” lanjutnya.
“Wah, makasih ya pak. Saya permisi dulu,” pungkasku.
Aku berlalu dengan cepat dari hadapannya. Seketika itu juga aku merasakan kembali ketegangan yang sama, yang menyiksaku semalam. Sambil berjalan aku menoleh sekali kearah bapak dengan anjing Spaniel coklatnya tadi, mereka masih berdiri di sana, menatapku dengan penuh tanya. Aku berjalan lebih cepat, mengejar belokan yang tinggal beberapa meter di depanku. Aku tak tahan diperhatikan dari belakang seperti ini. Rasanya seperti ribuan belati menancap pada punggungku.
“Sial, kenapa begitu sulit sih bertemu dia lagi,” umpatku pelan.
Aku memacu langkahku menuju belokan yang tinggal lima meter lagi dihadapanku. Setelah belokan ini aku bisa menjadi diriku kembali, bukan orang aneh yang baru saja kulakoni beberapa menit dibelakang. Sebelum berbelok, aku menoleh kebelakang untuk terakhir kalinya. Si bapak dan anjingnya sudah tidak ada. Aku bernafas lega karena kini aku benar-benar bisa menjadi diriku kembali.
Ternyata namanya Bejo, aku membatin. “Tidak terlalu buruk,” gumamku pelan. Aku tersenyum, entah mengapa. Rasanya begitu aneh, seperti ada kupu-kupu di dalam perutku; senang namun juga gelisah. Ah, setidaknya kini aku selangkah lebih dekat dengan mengetahui namanya. Aku tersenyum kembali, merasa puas dengan apa yang berhasil kulakukan hari ini. Seorang nenek yang berpapasan denganku terlihat takut melihatku tersenyum sendiri. Ah, aku tak perduli. Aku tidak pernah ambil pusing dengan apa yang ada disekitarku ketika aku berjalan. Sebentar lagi mereka semua akan menghilang. Sebentar lagi hanya akan ada aku dan duniaku.
Kita selalu bertemu dengan tiba-tiba, begitu cepat sehingga kita tak bisa menghindarinya. Takkan ada yang bisa memilih dengan siapa, atau kapan jalan kita akan bersimpangan dengan orang-orang masa depan kita. Semuanya terjadi serba tiba-tiba, serba mengejutkan. Kita tak akan pernah siap, tapi begitulah sebuah pertemuan, dan begitulah seharusnya kita menerimanya.
Pertemuan bukanlah sesuatu yang dapat dipilih. Dia tidak membiarkan kita memilih karena dia tahu, kita tidak akan mampu membuat pilihan untuk memulai. Kita hanya manusia yang tak pernah bisa benar-benar yakin akan apapun. Memulai mungkin terlalu berat sehingga bagian kita hanya menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Dan mungkin, begitulah cara Tuhan mengasihani kita.
***
“Air putih, khan,” katanya sambil tersenyum ketika aku mulai duduk di sofa hijau mbladus disudut ruang kerjanya. Sebenarnya ruang kerja disini bukan dalam artian yang sesungguhnya, hanya sebuah garasi tak terpakai yang disulap menjadi kamar dengan sebuah meja kerja, dua sofa butut, dan sebuah piano tua pada sudutnya. Tapi sepertinya untuk seorang tukang kebun, ruang kerja ini lebih dari cukup.
“Tau aja, pak,” kataku sambil menatap punggungnya.
“Mau nyari Pak Bejo lagi ya,” di sodorkannya aku segelas besar air putih dingin.
“Ada ngga, Pak?”
“Wah, baru setengah jam yang lalu dia berangkat. Katanya sih ada latihan untuk konser bulan depan.” Dia menyodorkan sebuah brosur tentang konser yang baru saja disebutkannya tadi. “Tertarik?” Ditatapnya aku tajam dari balik kacamatanya.
“Wah, kayanya sih menarik. Aduh, tapi mahal sekali tiketnya,” aku hampir tersedak ketika membaca harga tiket yang tertera di brosur itu.
“Ya, menabung aja dulu. Masih sebulan ini,” dia tersenyum melihat ekspresi kagetku.
“Ya, tetap saja masih terlalu mahal bagi saya, Pak. Emang bakal ada yang nonton gitu, khan mahal sekali ini.” Aku membolak-balik brosur kecil tadi, berharap menemukan tulisan yang mencantumkan harga tiket yang lebih terjangkau.
“Tak ada yang terlalu mahal untuk sebuah seni,” dia mengulum senyum penuh arti.
“Ah, ngomong sih enak, Pak. Nyari duitnya tetep aja setengah mampus,” aku menertawakan diriku sendiri. “Eh, si Arnaud kemana Pak?” Aku mencari-cari anjing Spaniel coklat yang biasa dibawa-bawanya itu.
“Sayang sekali ya, kamu udah beberapa kali kesini, tapi tak bisa bertemu Pak Bejo. Ngga jodoh kayaknya kamu sama dia.” Dia terkekeh pelan mencoba mengalihkan pembicaraan tanpa menggubris pertanyaanku. “Kenapa sih kamu tertarik sekali bertemu dengan dia? Kamu kan ga kenal dia sebelumnya,” dia menyilangkan kakinya dan menyandarkan kedua tangannya pada bahu sofa tempat dia duduk.
“Udah ah Pak, cukup sekali saya nyeritainnya, saya malu kalo harus ngomong itu lagi. Saya merasa bodoh banget kalo inget kejadian malam itu,” aku ingin tertawa sebenarnya, tapi entah mengapa, menertawakan diri sendiri memang selalu menyakitkan.
“Ya engga apa-apa, cuma buat lucu-lucuan aja,” dia tertawa kecil melihat wajahku yang memerah tiba-tiba. “Tapi untung dia yang buka pintu, ya. Kalau saya, saya ga pake ribut-ribut langsung saya pukul pake pentungan.” Dia terbahak tertahan, mungkin sedang membayangkan bagaimana rupaku jika terkena pentungannya. “Oh iya, pin bross kamu itu ga ada lho. Padahal sudah saya cariin kemana-mana.” Dia terbahak lebih keras. Aku merasa bodoh sekali mengingat kejadian pagi itu, ketika aku harus berbohong waktu dia memergokiku mematung di depan rumah ini.
“Bapak udah berapa lama sih kerja sama Pak Bejo,” tanyaku untuk menyudahi ejekannya.
“Wah, sudah lama sekali. Dari Pak Bejo belum apa-apa, sampai dia seperti sekarang ini.”
“Kayaknya Pak Bejo itu agak nyeremin ya Pak,” ujarku pelan-pelan seakan takut menyakiti hati yang mendengar.
Dia hampir tersedak ketika mendengar komentarku itu. “Oya? Nyeremin bagaimana?” Dia tersenyum sambil menaikkan kacamatanya yang sedikit melorot.
“Ya, gitu deh. Orangnya kayaknya pelit ngomong. Udah gitu mukanya sangar. Itu sih dari yang terlihat waktu malam itu saya ketemu dia.”
“Tapi kamu belum pernah benar-benar ketemu dia khan?”
“Ya, belum sih. Habis dia juga ga pernah ada dirumah sih,” gerutuku sedikit sebal.
“Sabar aja, akan ada waktu untuk ketemua dia kelak.”
“Kirain dia bukan orang sibuk,” kataku ingin mengakhiri pembicaraan tentang pemilik rumah nomor enam ini.
“Wah, dia sih orangnya sibuk banget. Tidurnya aja cuma tiga jam setiap hari.”
“Bapak bisa main piano juga?” Aku menunjuk sebuah piano tua di pojok lain ruang kantornya ini.
“Yah, ikut Pak Bejo bertahun-tahun membuat saya sedikit-sedikit bisa bermain piano. Tapi ga sejago idolamu itu tentunya,” dia terkekeh sekali lagi menyaksikan wajahku yang kembali memerah.
“Main donk, Pak.”
“Waduh, jangan ah. Pak Bejo ga suka ada keributan dirumahnya. Saya mainnya jelek.” Dia menolak sambil berlalu dan berpura-pura hendak melakukan sesuatu yang lain.
“Lha, si bapak khan lagi ga dirumah. Siapa yang bakal ngomel? Dinding??”
“Engga ah, nanti kamu ketawa lagi liat saya mainnya jelek.”
“Engga bakal. Saya khan bukan kritikus musik. Bagi saya yang penting enak aja kedengarannya, udah cukup.”
“Aduh, sudahlah, saya masih ada kerjaan lain ini, masih harus menyusun partitur-partitur di ruang kerjanya Pak Bejo. Nanti kalau dia pulang dan liat pertitur-partiturnya masih berantakan, saya bisa dimarahin.”
“Dia khan masi malem pulangnya. Emang berapa lama sih beresin partitur, ga sampe sejam khan? Nanti saya bantuin deh biar cepet. Sekarang bapak mainin aja dulu satu lagu buat saya.” Dengan gigih aku merayunya.
“Yaudah, tapi satu lagu aja ya.” Dia beranjak menuju piano tua itu. “Mau lagu apa nih,” tanyanya padaku.
“Bapak bisa main Moonlight Sonata?”
“Yah, bisa sih sedikit-sedikit. Tapi saya ga jago.” Dia kembali merendah, bahkan hampir terkesan tak percaya diri.
“Ya udah, main itu aja pak. Saya suka banget lagu itu.”
“Kamu penggemar Beethoven?” Dia dengan sengaja berbalik badan untuk menagih jawaban dariku.
“Engga juga sih. Tapi saya suka lagu itu dari sejak pertama saya dengernya. Kalau ngga salah ada tiga bagian khan ya, Pak. Yang sering saya dengar yang bagian pertamanya. Yang bagian kedua dan ketiganya cuma pernah dengar dua kali. Sekali dari Wikipedia, dan sekali pas malam itu dimainkan sama Pak Bejo.”
“Kamu kayaknya ngefans banget ya sama Pak Bejo,” ujarnya sambil berbalik badan dan memunggungiku, bersiap-siap memainkan pianonya.
“Ayo Pak, dimulai,” aku meneriakinya tak sabar.
Hening sesaat sebelum dia menekan tuts pertama pada pianonya. Detik berikutnya keajaiban seakan terjadi ketika dia mulai memainkan Moonlight Sonata bagian pertama yang begitu tenang dan indah. Aku terkesima mendengar nada-nada itu dilepaskan kedalam sebuah lagu dengan sempurna olehnya. Aku merasa tenggelam perlahan, dengan tenang, dengan rela, tanpa ingin untuk mengerti kenapa. Ada perasaan yang aneh yang menyapuku tiba-tiba. Aku seperti kembali ke malam itu, malam dimana aku tersedot keluar dari pusaranku dan masuk kedalam medan gravitasi sebuah dunia yang asing; dunia seorang pria tua yang bahkan belum pernah aku temui secara langsung.
“Bagian pertama ini dinamakan Adagio Sustenuto.” Dia berucap tanpa mengalihkan perhatiannya dari piano dihadapannya itu. “Mendengarnya saja mungkin akan membuatmu seperti berada di dalam sebuah mimpi, mimpi tentang dunia yang damai dan bahagia.” Dia terus memainkannya dengan tenang. Dari punggungnya aku tahu bahwa dia tak sedang berbicara padaku, tapi entah pada siapa.
“Judul aslinya adalah Piano Sonata no.14 dalam C minor, namun Beethoven sendiri menamainya ‘Quasi Una Fantasia’, ‘Hampir Seperti Fantasi’,” lanjutnya, tetap acuh. “Hampir seperti ratapan, namun tetap ada keindahan dan harapan di dalamnya. Perpaduan antara C minor dan B minor menciptakan sebuah sensasi rasa baru. Keduanya padahal bukan kunci yang biasa dimainkan bersama. It’s really a free form symphony.” Dia berhenti dan berbalik badan kearahku. “Sudah ya,” katanya sambil bersiap-siap bangkit dari bangkunya.
“Wah, nanggung banget. Selesein donk pak.” Aku bangkit dari sofaku dan menahannya untuk tetap duduk dibangku piano itu. “Ayolah, Pak, sampe movement ketiga baru udahan. Please,” aku memohon. Aku secepatnya mengambil bangku plastik di samping meja kerjanya dan langsung duduk di dekatnya.
“Kamu ini emang orang yang keras kepala ya.” Tapi kemudian dia tertawa pelan, mungkin lucu melihat tingkahku yang kolokan.
“Kenapa kamu suka sama Moonlight Sonata sih?” Dia bertanya sambil sibuk mencari-cari partitur Moonlight Sonata yang lengkap diantara tumpukan kertas-kertas di atas piano itu.
“Uhm…janji engga akan ketawa ya,” aku menagih kesungguhan pada matanya.
“Emang kenapa harus pake janji segala,” katanya sementara tangannya masih sibuk mencari partitur.
“Agak malu-maluin soalnya.”
“Lha, bukannya kamu emang malu-maluin ya?” Dia tertawa kerasa. Aku malu setengah mati.
“Ya udah deh, ga jadi aja ceritanya.”
“Ngambek…,” cibirnya.
“Ya engga gitu juga, cuma emang ga penting aja. Masalah pribadi.”
“Mantan pacar?”
“Ada deh,” aku menunduk.
“Kamu tau ngga, kalo Moonlight Sonata itu adalah hadiah Beethoven untuk kekasihnya yang sekaligus muridnya?” Dia yang tadinya sudah bersiap untuk bermain kembali tiba-tiba memutar badannya menghadapku.
“Tau sih kalo cerita itu. Kalau ngga salah dia cinta mati sama cewe itu sampe-sampe dia menulis surat cinta yang terus disimpannya sampai dia mati. Sayang, tak pernah benar-benar dikirimnya.”
“Unsterbliche Geliebte, atau kekasih abadi, begitu dia memanggil wanita itu. Sebuah nama yang sangat ironis, mengingat Beetoven bukan seorang pria romantis. Dan, yah, wanita itu menyakiti hatinya begitu dalam. Dia meninggalkan Beethoven untuk seorang musisi amatir, namun kaya. Katanya sih, sebenarnya wanita itu juga mencintai Beethoven, namun sayang ayahnya tak setuju. Beethoven yang jauh lebih tua, tanpa status sosial, miskin, dan berkepribadian buruk membuat hubungan mereka menjadi tidak mungkin. Katanya sih, beberapa tahun kemudian wanita itu pernah mencoba kembali pada Beethoven. Tapi tempramen Beethoven yang buruk membuat mereka tak bisa berhubungan baik seperti dulu.”
“Tak heran, bagian ketiga dari Moonlight Sonata menjadi begitu ganas, ya,” kataku sambil mengurut dada, ekspresi tak percaya.
“Kalau kamu mendengar Moonlight Sonata versi lengkap tanpa jeda, kamu akan mengerti apa yang dirasakan Beethoven terhadap wanita ini. Dari segi musik, free-form sonata memang pas disematkan pada lagu ini. Selain karena perpaduan kunci-kuncinya yang tak biasa dan pola progressnya yang tak lazim, proporsi tiap bagiannya juga terkesan seenak jidadnya si Beethoven itu,” dia terbahak sebentar, “tapi free-form sonata ini sebenarnya lebih mewakili sisi emosinya. Bagian pertama dari sonata ini begitu tenang, dan terkesan seperti tangisan, sedangkan bagian keduanya begitu riang dan cantik. Kayak ga nyambung khan? Dimana-mana, orang ceria-ceria dulu baru sedih-sedih. Trus penutupnya itu lho, seperti halilintar banget, durasinya lama lagi. Ngga biasa banget! Sepertinya dia menggubah lagu ini seperti mengeluarkan isi hatinya bulat-bulat, mengalir begitu saja tanpa banyak koreksi disana sini.”
“Wow, mengalir begitu saja?” Aku hampir tak bisa menyembunyikan ketidakpercayaanku, apalagi setelah melirik partitur yang penuh not dan ornamen-ornamennya itu. Membaca mungkin bisa dipelajari siapa saja, tapi menulis dan menggubah itu benar-benar perkara yang berbeda.
“Simfoni ini begitu cantik namun sedikit gelap di awal, mungkin menggambarkan perasaan campur aduk si Beethoven yang bahagia namun sekaligus tak percaya bahwa ada wanita, seperti seorang Giulietta Guicciardi, yang bisa tertarik padanya. Dia yang hanya musisi urakan, tempramental, tanpa status sosial, dan miskin pula. Sedangkan wanita ini seorang bangsawan, muda, lagi cantik. Kalau saya jadi Beethoven mungkin saya akan berfikiran sama.”
“Tapi Adagio Sustenuto ini memang benar-benar cantik ya Pak, seperti cantiknya cahaya bulan purnama di atas riak danau yang tenang. Saya bahkan pernah menangis terharu waktu dengerinnya di salah satu pertunjukkan gitu. Eh, kalau engga salah, nama Moonlight Sonata emang didapet karena alasan tadi khan ya Pak?”
“Wah, kamu selain keras kepala ternyata cengeng juga ya,” dia terbahak kembali. Aku meninju lengannya pelan.
“Kamu benar. Nama Moonlight Sonata diberikan karena bagian pertama sonata ini memang cantik sekali, secantik sinar bulan purnama. Dan karena bagian pertama ini yang paling banyak direkam dan diedarkan, jadi nama Moonlight Sonata mewakili ketiganya secara defacto. Oya, lanjut ke bagian kedua, atau disebut juga Allegreto. Bagian ini merupakan bagian tersingkat dari ketiganya. Memang nuansanya begitu ringan dan riang, namun terkesan hanya diulang-ulang dan sangat singkat. Bagian pertama bisa berdurasi hingga enam menit lebih, sedang bagian kedua ini hanya dua menit lebih sedikit. Tau ngga alasannya?” Dia menatapku dari balik kacamatanya yang melorot. Aku menggelengkan kepala cepat.
“Itu karena dia sadar kalau kebahagiaan tidak pernah berlangsung lama. Good things never last,” dia menjelaskan singkat lalu menatapku dingin. Aku merasakan suasana yang aneh yang menyergap kami tiba-tiba. Kemudian dia tersenyum cepat, “Duh, kamu emang cengeng ya anaknya. Gitu aja pake mau nangis.”
“Yee, siapa juga yang mau nangis,” aku menangkis cepat.
“Udah, engga usah pake malu. Cengen itu normal kok bagi cewe,” dia tertawa kembali melihat wajahku yang memerah malu.
“Dan terakhir, bagian ketiga atau yang disebut juga Presto Agitato, merupakan bagian penutup yang penuh kemarahan. Banyak yang bilang bahwa Presto Agitato ini merupakan ekspresi kemarahan si Beethoven pada aturan sosial kala itu yang menghalangi cintanya pada wanita pujaannya. Bagian ini durasinya paling panjang kalau dibanding dua bagian pertama. Mungkin karena naturnya si Beethoven yang tempramental, jadi bagian marah-marahnya dipanjangin sama dia,” dia tertawa geli sambil mengakhiri penjelasannya.
“Aneh ya, mendengar penjelasan Bapak membuat saya melihat simfoni ini tidak lagi sebatas music yang enak ditelinga, tapi juga seperti puisi yang mempunyai arti yang dalam.”
“Karenanya, tidak ada yang terlalu mahal untuk sebuah seni,” dia tersenyum penuh makna padaku. “So, jadi engga nonton konser Pak Bejo?”
“Waduh, kalau yang itu masih harus fikir-fikir Pak. Duitnya tetep ga kuat,” kami berdua lalu terbahak.
Dia menggeser badannya hingga menghadap piano. Dia menghela nafas pelan lalu mulai memainkan Moonlight Sonata kembali dari awal. Dalam sekejap ruang kerjanya kembali seperti negeri dongeng dengan ribuan mahluk khayalan, hasil perkawinan imajinasi kami dengan lantunan musik yang menari dalam udara yang kami hirup. Mungkin bagi sebagian orang kemampuan teknis seorang pianis adalah sebuah ukuran kesempurnaan sebuah karya. Tidak bisa dibilang salah juga, hanya saja aku bukan pianis dan aku tak tahu banyak tentang teknik bermain piano yang baik. Bagiku, kemampuan seorang pianis dalam mengintepretasikan lagu adalah yang paling penting. Layaknya sebuah puisi, seorang pianis harus mampu menerjemahkan tiap kata hingga titik-koma kedalam intonasi yang tepat sehingga jiwa dari puisi tersebut tersampaikan dengan baik. Sebuah lagu seharusnya terdengar mengalir, terdengar bernyanyi; ringan dan bebas layaknya bernafas. Jiwa keindahan yang merdeka, tak terkekang bahasa lidah manusia.
“Kita selalu bertemu secara tiba-tiba,” dia berkata sembari memainkan bagian akhir dari Adagio Sustenuto, “begitu cepat sehingga kita tak sempat menghindarinya. Takkan ada yang bisa memilih dengan siapa, atau kapan jalan kita akan bersimpangan dengan orang-orang masa depan kita. Semuanya terjadi serba tiba-tiba, serba mengejutkan. Kita tak akan pernah siap, tapi begitulah sebuah pertemuan, dan begitulah seharusnya kita menerimanya.” Dia menutup matanya ketika memainkan lima bar terakhir dari bagian pertama Moonlight Sonata. “Pertemuan adalah sebuah awalan. Tempat dimana banyak pertanyaan akan hari depan lahir. Senang, sedih, duka, dan suka hanyalah perasaan yang mentah. Hanya ramalan yang menunggu kenyataan datang menghampirinya.” Lalu dia mengakhiri bagian pertama. Kami berdua terdiam beberapa saat.
“Kebahagiaan seperti angin,” dia melanjutkan memainkan bagian kedua dari Moonlight Sonata, “Tak ada yang tahu pangkal dan ujung angin. Tak ada yang tahu kemana dia datang dan menuju. Angin, yang tak pernah berwujud namun sanggup mebuat dedaunan bernyanyi.” Dia menggoyangkan kepalanya keatas dan kebawah mengikuti irama Allegretto yang lincah. “Tapi angin tak pernah menetap. Dia tak pernah kembali ketika pergi. Kebahagiaan itu seperti angin, walau sempat ada, namun tak pernah lama. Kebahagiaan hanya sisipan yang singkat.” Seiring kalimat terakhirnya, dia menamatkan permainan bagian keduanya.
Aku begitu terhanyut dengan permainan piano dan penjelasan yang begitu puitis dari bapak ini sampai aku merasa seperti berhenti bernafas. Dia masih diam, sementara aku mulai pulih dari kekagumanku. Aku melihat ada ekspresi begitu terluka yang perlahan muncul diwajahnya. Aku hendak bertanya ‘ada apa’, ketika tiba-tiba dia menghentak dengan bagian awal dari Presto Agitato. Aku terkejut sekaligus kagum dengan cara dia mempresentasikan tiap bagian dari simfoni ini.
“Kita selalu bertemu tiba-tiba dan berpisah pelan-pelan,” dia berkata seperti marah. “Kita menghadapi pertemuan dengan terkejut, namun tak bisa menghindar.” Sambaran-sambaran nada penuh kemarahan yang dimainkannya menjadi jeda yang menggantungkan kalimatnya. “Dan kita menghadapi perpisahan dengan kemarahan. Karena kita juga tak bisa menghindarinya.” Dia melanjutkan kalimatnya sambil menutup matanya kembali, seperti enggan melihat luka yang tertulis pada tiap not dipartiturnya. Aku terpaku menyaksikan dia yang seperti berubah menjadi orang asing, orang yang sangat berbeda dari sekedar tukang kebun yang dua bulan ini sering aku temui. Dia memainkan tiga menit berikutnya dalam diam. Entah mengapa aku merasa ledakan kemarahan pada simfoni ini menjadi semakin lantang dalam diamnya.
“Ini adalah bagian yang paling menarik dari simfoni ini, coba dengarkan,” katanya. “Here it comes, triplet arpeggios. Naik-turun-naik-turun-naik-turun, Salieri’s style, menegangkan!” Dia tersenyum sendiri, seakan gila. “Melembut sedikit, lalu merayap menuju jeda: Adagio,” dia melanjutkan. Dia terdim kembali, tenggelam dalam penghayatannya sendiri. “Tempo I più tranquillo, piano. Lalu pedal point untuk enam bar, pianissimo.” Aku bisa mendengar dia bernafas semakin cepat, seperti memendam sesuatu. “Dan inilah klimaksnya,” dia tiba-tiba berteriak, “Presto! Forte! Sforzando! Lalu ledakan, dan ledakan! Fortissimo! Dan akhirnya senza Pedale.”
Akhir yang dramatis dari permainan pianonya membuat kami berdua terdiam. Sungguh mengagumkan, sampai-sampai aku tak tahu harus bertepuk tangan atau menangis. Dia sepertinya belum sepenuhnya kembali dari penghayatannya yang begitu dalam terhadap lagu ini. Matanya masih terpejam, mungkin mencoba melepas angan-angan yang sedari tadi merasuki dan membutakannya. Aku menghela nafas pelan, lalu dengan ragu-ragu aku bertepuk tangan tiga kali.
Dia membuka matanya dan memandang kosong ke arah partitur di hadapannya. “Perpisahan pasti akan terjadi, entah kau siap atau tidak.” Dia menyeret matanya ke langit-langit. Pandangannya seperti menembus bidang putih datar diatas kepala kami itu. “Seperti pertemuan, kau tak perlu mempertanyakan perpisahan, cukup menjalaninya saja. Entah kau marah atau terluka, jangan pernah lari. Biarkan semuanya menghantammu, menghancurkanmu. Biarkan sakitnya memuncak, hingga mati rasa. Dan kemudian, kau akan melihat, sebuah kekuatan baru yang mampu membuatmu lupa, membuatmu lepas. Melupakan memang sebuah penderitaan, namun menjadi lupa adalah sebuah kebahagiaan. Bisakah sesuatu yang tak lagi kau tahu menyiksamu? Menjadi lupa berarti menjadi orang yang merdeka. Kau tidak akan pernah sama lagi.”
“Wow,” aku berusaha mengekspresikan kekagumanku, namun hanya satu kata itu yang berhasil keluar dari mulutku.
Dia tiba-tiba menepuk tangannya dengan keras. Seketika itu juga aku melihat dia kembali menjadi tukang kebun bersahaja yang selama ini aku kenal. Betapa anehnya!
“Cukup ya,” katanya dengan senyum yang aneh.
“Lebih dari cukup malah,” sambungku cepat. “Katanya Bapak engga jago. Tapi kok tadi mainnya bagus sekali?”
“Kebetulan aja itu,” dia terkekeh namun tidak terlihat menolak pujianku.
“Bapak banyak tahu juga ya tentang musik. Hebat!”
“Yah, suka baca-baca aja sekali-sekali. Pak Bejo punya koleksi buku-buku musik yang bagus. Sambil bersih-bersih biasanya saya curi-curi baca. Iseng sih, hehe,” dia kembali terkekeh.
“Saya jadi pengen liat konsernya Pak Bejo nih. Kalo tukang kebunnya aja sehebat ini, apalagi tuannya. Tapi...,” aku tak melanjutkan kalimatku karena yakin dia sudah tahu kelanjutannya.
Dia tiba-tiba bangkit dari bangku pianonya dan berjalan menuju meja kerjanya. Dia mengambil amplop putih dari sana dan menyerahkannya padaku. “Ini, untuk kamu saja,” katanya.
“Apa ini Pak,” kataku sambil buru-buru membuka amplopnya. Dan detik berikutnya aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku begitu melihat dua lembar tiket VVIP untuk konser bulan depan bersarang di dalamnya.
“Pak Bejo emang suka ngasi saya tiket pertunjukannya. Tapi saya kayaknya engga akan bisa datang buat yang satu ini. Saya ada keperluan lain diluar kota,” dia kembali duduk dibangku pianonya, menghadap aku. “Sayang khan kalo tiketnya sia-sia. Lebih baik saya kasi kamu aja. Nanti kamu bisa ajak satu teman juga. Yah, hitung-hitung promosi gratis buat Pak Bejo gitu.” Dia tersenyum tulus kepadaku.
“Waduh Pak, saya sampai engga tahu harus ngomong apa, ini sangat berlebihan bagi saya,” aku berkata sambil membayangkan duit satu gepok yang seharusnya aku bayar untuk menebus dua lembar kertas di dalam amplop ini.
“Sudahlah, terima saja. Saya sudah senang kamu mau denger saya tadi main piano. Sudah lama tidak ada yang memainkan piano ini lagi,” katanya sambil mengelus tuts piano tua itu.
“Bagaimana saya harus berterimakasih,” tanyaku.
“Kamu terimakasinya nanti ke Pak Bejo aja langsung, kan dia yang ngasi tiket ini. Yah, itung-itung biar kamu bener-bener datang ke konsernya dan bisa ketemu dia. Cita-cita kamu kan itu. Minta tanda tangannya sekalian biar afdol.” Dia terbahak panjang. Aku kembali memerah malu.
***
Lampu ruangan telah dipadamkan, pertanda bahwa konser akan segera dimulai. Aku duduk dengan tegang dikursi VVIP ku yang empuk. Aku tidak percaya kalau malam ini aku bisa duduk disini, diantara ratusan orang yang berpakaian rapi dan beraroma wangi ini; orang-orang dari kalangan yang jauh diatasku. Ah, membayangkan apa yang mereka pakai saja cukup untuk membuatku berhenti bernafas. Aku bukan siapa-siapa, tapi berkat kebaikan hati seorang tukang kebun aku bisa berada disini. Betapa anehnya hidup, fikirku dalam hati.
Pembawa acara tampil ke atas panggung dan menyapa kami semua. Dia mulai membaca program untuk pertunjukkan paruh pertama malam ini. Suaranya terdengar semakin pelan ditelingaku, mungkin karena aku tak mengerti satupun kata yang diucapkannya. Namun begitu, aku mencoba terlihat seperti orang-orang dari kalangan atas ini, tenang dan pintar. Dan akhirnya dia memperkenalkan satu persatu anggota orkestra yang akan menjadi pengiring konser malam ini. Aku mulai menanti dengan tegang sampai nama idolaku itu disebut. Tapi entah kenapa, nama itu tak muncul sampai seluruh anggota orchestra naik ke panggung. Panggung menjadi penuh, dan orang-orang mulai larut seiring lagu pertama yang mereka mainkan. Aku bertepuk tangan setiap kali mereka bertepuk tangan, dan diam setiap kali mereka diam. Aku sebenarnya merasa lucu dengan tingkahku ini, namun aku tak punya pilihan lain. Aku terlalu malu untuk terlihat berbeda.
Setelah beberapa lagu pembuka, pembawa acara kemudian memanggil pianis utama untuk naik ke atas panggung. Dengan jelas aku mendengarnya memanggil nama orang yang selama ini aku kagumi itu. Dan entah kenapa, seketika aku merasa seperti ada kupu-kupu di dalam perutku. Setelah sekian lama aku menunggu, akhirnya aku bisa melihatnya lagi. Semua orang sontak bertepuk tangan dengan gemuruh. Aku pun tak ketinggalan, kutepukkan kedua tanganku sekeras yang aku bisa.
Seorang pria bertuksedo rapi keluar dari belakang panggung. Dia berjalang ketengah panggung dan menghormat kesegala arah. Aku yang hanya berada beberapa meter dari panggung tak bisa menyembunyikan keterkejutanku ketika melihat bahwa ternyata pria itu adalah tukang kebun yang selam ini aku temui. Aku merasakan perutku tiba-tiba kram, kakiku lemas, dan kepalaku sakit luar biasa. Aku merasa begitu bodoh dan begitu tertipu. Selama ini ternyata aku sudah bertemu dengan yang namanya Pak Bejo itu. Bodohnya aku!
Pujian-pujian yang selama ini kuutarakan, ketololanku pada malam pertama aku bertemu dia, ah setan, bahkan masalah-masalah sepele seperti mantan-mantan pacarku, semuanya pernah kuceritakan padanya. Aku merasa malu, marah, sedih, juga senang, semuanya bercampur begitu aneh sehingga membuatku seperti gila.
Tak heran dia tahu banyak tentang musik. Tak heran permainan pianonya begitu bagus. Tak heran dia selalu ada setiap aku berkunjung. Ah, setan, tak heran dia begitu senang ketika aku memujinya. Aku terduduk lemas pada kursi VVIP ku yang empuk. Belum pernah aku merasa sebodoh ini!
“Lagu berikut ini ingin saya persembahkan untuk semua pencinta Beethoven, dan untuk lagu-lagu indah yang tak pudar walau telah berusia duaratus tahun lebih.” Dia berkata dengan tenang dari atas panggung, yang disambut tepukan gemuruh seluruh audiens yang datang malam itu. “Juga untuk sebuah pertemuan tiga bulan yang lalu,” dia melanjutkan, “semoga tak berakhir pada perpisahan yang menyakitkan,” pungkasnya. Audiens kembali bertepuk tangan dengan gemuruh. Lalu dia melangkah ke pianonya. Dengan tenang dia duduk dan mengambil waktu untuk penghayatannya. Detik berikutnya, Moonlight Sonata mengalun indah dari jemarinya.
Apakah pertemuan, apakah perpisahan? Semuanya hanya jeda dari sebuah perjalan panjang kita menuju pulang. Hanya ada rumah di ujung jalan ini. Hanya ada kebenaran di ujung setiap apa yang kita putuskan untuk kita percayai hari ini. Mungkin kita tak melihat kebenaran hari ini, tapi suatu hari nanti, pasti. Kita mungkin salah hari ini, tapi kita tak bisa menunda untuk mempercayai sesuatu. Kita hanya harus terus berjalan, menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Kita hanya manusia yang tak pernah bisa benar-benar yakin akan apapun, karenanya kita harus salah untuk tahu apa yang benar itu.
tulisan kolaborasi, bersama Yessica-Elizabeth Hatsumoto
baca juga tulisannya disini
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI