“Saya jadi pengen liat konsernya Pak Bejo nih. Kalo tukang kebunnya aja sehebat ini, apalagi tuannya. Tapi...,” aku tak melanjutkan kalimatku karena yakin dia sudah tahu kelanjutannya.
Dia tiba-tiba bangkit dari bangku pianonya dan berjalan menuju meja kerjanya. Dia mengambil amplop putih dari sana dan menyerahkannya padaku. “Ini, untuk kamu saja,” katanya.
“Apa ini Pak,” kataku sambil buru-buru membuka amplopnya. Dan detik berikutnya aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku begitu melihat dua lembar tiket VVIP untuk konser bulan depan bersarang di dalamnya.
“Pak Bejo emang suka ngasi saya tiket pertunjukannya. Tapi saya kayaknya engga akan bisa datang buat yang satu ini. Saya ada keperluan lain diluar kota,” dia kembali duduk dibangku pianonya, menghadap aku. “Sayang khan kalo tiketnya sia-sia. Lebih baik saya kasi kamu aja. Nanti kamu bisa ajak satu teman juga. Yah, hitung-hitung promosi gratis buat Pak Bejo gitu.” Dia tersenyum tulus kepadaku.
“Waduh Pak, saya sampai engga tahu harus ngomong apa, ini sangat berlebihan bagi saya,” aku berkata sambil membayangkan duit satu gepok yang seharusnya aku bayar untuk menebus dua lembar kertas di dalam amplop ini.
“Sudahlah, terima saja. Saya sudah senang kamu mau denger saya tadi main piano. Sudah lama tidak ada yang memainkan piano ini lagi,” katanya sambil mengelus tuts piano tua itu.
“Bagaimana saya harus berterimakasih,” tanyaku.
“Kamu terimakasinya nanti ke Pak Bejo aja langsung, kan dia yang ngasi tiket ini. Yah, itung-itung biar kamu bener-bener datang ke konsernya dan bisa ketemu dia. Cita-cita kamu kan itu. Minta tanda tangannya sekalian biar afdol.” Dia terbahak panjang. Aku kembali memerah malu.
***
Lampu ruangan telah dipadamkan, pertanda bahwa konser akan segera dimulai. Aku duduk dengan tegang dikursi VVIP ku yang empuk. Aku tidak percaya kalau malam ini aku bisa duduk disini, diantara ratusan orang yang berpakaian rapi dan beraroma wangi ini; orang-orang dari kalangan yang jauh diatasku. Ah, membayangkan apa yang mereka pakai saja cukup untuk membuatku berhenti bernafas. Aku bukan siapa-siapa, tapi berkat kebaikan hati seorang tukang kebun aku bisa berada disini. Betapa anehnya hidup, fikirku dalam hati.
Pembawa acara tampil ke atas panggung dan menyapa kami semua. Dia mulai membaca program untuk pertunjukkan paruh pertama malam ini. Suaranya terdengar semakin pelan ditelingaku, mungkin karena aku tak mengerti satupun kata yang diucapkannya. Namun begitu, aku mencoba terlihat seperti orang-orang dari kalangan atas ini, tenang dan pintar. Dan akhirnya dia memperkenalkan satu persatu anggota orkestra yang akan menjadi pengiring konser malam ini. Aku mulai menanti dengan tegang sampai nama idolaku itu disebut. Tapi entah kenapa, nama itu tak muncul sampai seluruh anggota orchestra naik ke panggung. Panggung menjadi penuh, dan orang-orang mulai larut seiring lagu pertama yang mereka mainkan. Aku bertepuk tangan setiap kali mereka bertepuk tangan, dan diam setiap kali mereka diam. Aku sebenarnya merasa lucu dengan tingkahku ini, namun aku tak punya pilihan lain. Aku terlalu malu untuk terlihat berbeda.